Sugeng rawuh ing "Sinau Jawa". Blog menika minangka salah satunggalipun pambudidaya nguri-uri kabudayan Jawa, tilaranipun linuhung Jawa. Nyuwun Pangapunten awit kathah kekiranganipun. Matur nuwun.

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sunday, 23 May 2010

Tanggap Wacana Upacara Mitoni -Sesorah (pidato bhs Jawa)-



Ing ngisor iki tuladha teks pidato utawa tanggap wacana acara adat “Mitoni”. Coba gatekna bab isi lan urut-urutane tanggap wacana.

Mahardhikeng tyas ring kamardhikan

Nuwun
Dhumateng para sesepuh saha pinisepuh ingkang dahat kinurmatan,
Dhumateng pamangku gati ingkang kula urmati,
Dhumateng para tamu undangan ingkang minulya.

Langkung rumiyin sumangga kula lan penjenengan sedaya ngaturaken raos syukur dhumateng ngarsanipun Gusti Ingkang Murbeng Dumadi ingkang sampun maringi kasarasan sarta kalodhangan, saengga kita saged anjenengi acara ing wekdal menika inggih acara tingkepan utawi mitoni garwanipun bapak Zainul Ma’arif kanthi boten wonten alangan menapa-menapa. Mugi-mugi kemawon ing dalem kekempalan kita dinten samenika wonten manfaatipun. Amin.

Para rawuh ingkang kula urmati.
Panjenengan sedaya kaaturan rawuh ing wekdal menika, inggih boten sanes amargi raos syukuripun bapak Zainul Ma’arif dhumateng ngarsanipun Gusti, amargi sadangu mangun bale wisma sampun ngajeng-ajeng momongan utawi putra ing dalem kulawarganipun.
Samenika pangajeng-ajeng menika sampun kalampah kanthi tetenger mbobotipun garwanipun ingkang sampun ngancik pitung sasi. Pramila saking menika Bapak Zainul Ma’arif sakulawarga nyuwun donga pangestunipun saking para rawuh, supados jabang bayi ingkang taksih wonten madaran menika pinaringan selamet, semanten ugi ibunipun. Lan mugi-mugi anggenipun lair dipunparingi gancar, lancar, sarta selamet kekalihipun.

Para rawuh ingkang kinurmatan,
Mugia kita sedaya dados tiyang ingkang estu-estu ngabekti dhumateng tiyang sepuh kalih. Semanten ugi, mugi-mugi Bapak Zainul Ma’arif sakulawarga benjang dipunparingi putra ingkang tansah ngabekti marang tiyang sepuhipun, migunani tumrap nusa, bangsa sarta agami. Amin.
Cekap semanten saking kawula, minangka panutuping atur,

Nuwun

(Nana Diana; 23 Mei 2010)
Share:

Saturday, 15 May 2010

Dialek Bahasa Jawa


Dialek adalah bahasa sekelompok masyarakat yang tingal di suatu daerah tertentu. Perbedaan dialek di dalam sebuah bahasa maka ditentukan oleh letak geografis atau region kelompok pemakainya. Karena itu dialek disebut dialek geografis atau dialek regional. Batas-batas alam seperti sungai, gunung, laut, hutan, dan semacamnya membatasi dialek yang satu dengan dialek yang lain.

Karena paham dialek di sini adalah “bagian” dari suatu bahasa, timbul paham lanjutan yang mengatakan, pemakai suatu dialek bisa mengerti dialek lain. Dengan kata lain ciri penting suatu dialek ialah adanya kesalingmengertian (mutual intelligible).
Masalah yang timbul sekarang, dengan adanya keadaan berikut: apa yang disebut oleh orang awam dialek tertentu ternyata tidak dipahami oleh pemakai dialek yang lain. Sebaliknya ada keadaan: dua kelompok masyarakat yang berbeda bahasa ternyata bisa saling mengerti meskipun mereka menggunakan bahasa sendiri-sendiri (Sumarsono :21-23).

Ciri yang cukup masuk akal adalah ciri sejarah, dalam arti misalnya apakah X dan Y itu dua dialek atau dua bahasa, sedikit banyak bergantung pada hubungan sejarah keduanya. Ciri lain dapat disebut homogenitas, yaitu adanya kesamaan unsure-unsur bahasa tertentu. Para ahli dialektologi misalnya, percaya apakah X dan Y itu dua bahasa, dua dialek, atau dua sub dialek, atuakah hanya sekedar dua variasi saja, dapat ditentukan dengan mencari kesamaan kosakatanya. Jika persamaannya hanya 20% atau kurang, keduanya adalah dua bahasa. Tetapi kalau bisa mencapai 40% - 60%, keduanya dua dialek; dan kalau mencapai 90% misalnya, jelas keduanya hanyalah dua variasi saja dari sebuah bahasa. (Sumarsosno :24-25).

Macam-macam Dialek Bahasa Jawa

Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan penduduk suku bangsa Jawa terutama di beberapa bagian Banten terutama kota Serang, kabupaten Serang, kota Cilegon dan kabupaten Tangerang, Jawa Barat khususnya kawasan pantai utara terbentang dari pesisir utara Karawang, Subang, Indramayu, kota Cirebon dan kabupaten Cirebon, Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur di Indonesia. Penyebaran bahasa Jawa juga sampai ke mancanegara diantaranya seperti Malaysia dan Suriname.

Karena bahasa-bahasa ini terbentuk dari gradasi-gradasi yang sangat berbeda dengan bahasa Indonesia maupun Melayu, meskipun tergolong rumpun Austronesia. Sedangkan dialek daaerah ini didasarkan pada wilayah, karakter, dan budaya setempat. Perbedaan antara dialek satu dengan dialek lainnya bisa 0-70%. Untuk klasifikasi berdasarkan dialek daerah, pengelompokannya mengacu kepada pendapat E.M Uhlenbeck, 1964, di dalam bukunya: “A Critical Survey of Studies on the Languages of Java and Madura”, The Hague: Martinus Nijhoff. (Sumber: Wikipedia bahasa Indonesia).

a.Kelompok bahasa Jawa bagian barat:
Dialek Banten
Dialek Cirebon
Dialek Tegal
Dialek Banyumasan
Dialek Bumiayu (peralihan Tegal dan Banyumas)
Kelompok pertama di atas sering disebut bahasa Jawa ngapak-ngapak.


b.Kelompok bahasa Jawa bagian Tengah:
Dialek Pekalongan
Dialek Kedu
Dialek Bagelen
Dialek Semarang
Dialek Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati)
Dialek Blora
Dialek Surakarta
Dialek Yogyakarta
Dialek Madiun
Kelompok kedua di atas sering disebut bahasa Jawa standar, khususnya dialek Surakarta dan Yogyakarta.


c.Kelompok bahasa Jawa bagian timur:
Dialek Pantura Jawa Timur ( Tuban, Bojonegoro)
Dialek Surabaya
Dialek Malang
Dialek Jombang
Dialek Tengger
Dialek Banyuwangi
Kelompok ketiga di atas sering disebut bahasa Jawa Timuran.
Share:

Tingkat Tutur Bahasa Jawa


Tingkat tutur bahasa Jawa (Unggah-ungguhing basa)pada dasarnya ada dua macam, yaitu ragam ngoko dan ragam krama. Ragam ngoko meliputi ngoko lugu dan ngoko alus (Hardyanto dan Esti SU 2001:47).

Poedjasoedarma berpendapat bahawa tingkat tutur ngoko mencerminkan rasa tak berjarak antara 01 terhadap 02 dan tingkat tutur ini dipakai jika seseorang ingin menyatakan keakrabannya terhadap mitra wicara (02); tingkat tutur madya diartikan sebagai tingkat tutur menengah antara krama dan ngoko; tetapi tetap menunjukkan perasaan sopan meskipun kadar kesopanannya hanya sedang-sedang saja; tingkat tutur krama diartikan sebagai tingkat tutur yang memancarkan arti penuh sopan santun dan tingkat tutur ini menandakan adanya perasaan segan 01 terhadap 02 (Sasangka 2004:14).

Bahasa Jawa berdasarkan Undha-usuk atau unggah-ungguhnya ialah seperti disebutkan di bawah ini (Suliyanto 2008:15):
No.
Undha-Usuk Basa
Endahing Raos Adining Suraos
1.
Ngoko (lugu)
Raket-supekat
2.
Ngoko (alus)
Raket-supekat, nanging tetep urmat
3.
Krama (lugu)
Urmat, nanging kirang raket-supeket
4.
Krama (alus)
Urmat sanget, nanging kirang raket supeket

Selanjutnya tingkat tutur bahasa Jawa di atas akan dijelaskan sebagai berikut.
1 Tingkat Tutur Ngoko (Ragam Ngoko)
Yang dimaksud dengna ragam ngoko adalah bentuk unggah-ungguh bahasa jawa yang berintikan leksikon ngoko, atau yang menjadi unsur inti di dalam ragam ngoko adalah leksikon ngoko bukan leksikon yang lain. Afiks yang muncul dalam ragam ini pun semuanya berbentuk ngoko (misalnya, afiks di-, -e, dan –ake). Ragam ngoko dapat digunakan oleh mereka yang sudah akrab dan oleh mereka yang merasa dirinya lebih tinggi status sosialnya daripada lawan bicara (mitra wicara). Ragam ngoko mempunyai dua bentuk varian, yaitu ngoko lugu dan ngoko alus (Sasangka 2004:95).

a. Ngoko Lugu
Yang dimaksud dengan ngoko lugu adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang semua kosakatanya berbentuk ngoko dan netral (leksikon ngoko dan netral) tanpa terselip leksikon krama, krama inggil, atau krama andhap, baik untuk persona pertama (01), persona kedua, persona kedua (02), maupun kedua (02), maupun untuk persona ketiga (03).
1)yen mung kaya ngono wae, aku mesthi ya bisa!
“Jika Cuma seperti itu saja, saya pasti juga bisa!”
2)Yen mung kaya ngono wae, kowe mesthi ya bisa!
“Jika Cuma seperti itu saja, kamu pasti juga bisa!”
3)Yen mung kaya mengono wae, dheweke ya bisa!
“Jika Cuma seperti itu saja, dia pasti juga bisa!”

Contoh: Bojoku nukokake klambi bocah-bocah (Sudaryanto 1991:152).
‘Isteri saya membelikan anak-anak baju’
Mas Totok nggawekake Dik Darno layangan (Sasangka 2001:152).
‘Mas Totok membuatkan Dik Darno layangan’
Tampak sufiks –ake pada nukokake ‘membelikan’ dan nggawekake ‘membuatkan’ merupakan afiks penanda leksikon ngoko (Sasangka 2004:98).

b. Ngoko Alus
Yang dimaksud dengan ngoko alus adalah bentuk unggah-ungguh yang di dalamnya bukan hanya terdiri atas leksikon ngoko dan netral saja, melainkan juga terdiri atas leksikon krama inggil, krama andhap, atau leksikon krama yang muncul di dalam ragam ini sebenarnya hanya digunakan untuk menghormati mitra wicara (02 atau 03)(Sasangka 2004:99-100).
Contoh: Wingenane simbah tindak mrene (Sudaryanto 1991:153).
‘Kemarin dulu nenek ke sini’
Pak guru basa Jawa sing anyar iku asmane sapa? (Sasangka 2001:183).
‘Pak guru bahasa Jawa yang baru itu namanya siapa?’
Tampak bahwa pada butir tindak ‘pergi/berangkat’ dan asmane ‘namanya’ merupakan leksikon krama inggil yang berfungsi untuk menghormati mitra tutur (Sasangka 2004:100).

2 Tingkat Tutur Krama(Ragam Krama)
Yang dimaksud dengan ragam krama adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang berintikan leksikon krama, atau yang menjadi unsur inti di dalam ragam krama adalah leksikon krama bukan leksikon yang lain. Afiks yang muncul dalam ragam ini pun semuanya berbentuk krama (misalnya, afiks dipun-, -ipun, dan –aken). Ragam krama digunakan oleh mereka yang belum akrab dan oleh mereka yang merasa dirinya lebih rendah status sosialnya daripada lawan bicara. Ragam krama mempunyai dua bentuk varian, yaitu krama lugu dan krama alus (Sasangka 2004:104).

a.Krama Lugu
Secara semantis ragam krama lugu dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk ragam krama yang kadar kehalusannya rendah. Meskipun begitu, jika dibandingkan dengan ngoko alus, ragam krama lugu tetap menunjukkan kadar kehalusan (Sasangka 2004:105).
Contoh: Niki bathike sing pundi sing ajeng diijolake?
‘Batik ini yang mana yang akan ditukarkan?’
Mbak, njenengan wau dipadosi bapak.
‘Mbak, Anda tadi dicari bapak’
Tampak afiks di- pada diijolake ‘ditukarkan’ dan dipadosi “dicari’ merupakan afiks ngoko yang lebih sering muncul dalm unggah-ungguh ini darpada afiks dipun-, -ipun, dan –aken. Contoh kalimat di atas bertujuan untuk menurunkan derajat kehalusan (Sasangka 2004:108-109)

b.Krama Alus
Yang dimaksud dengan krama alus adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang semua kosakatanya terdiri atas leksikon krama dan dapat ditambah dengan leksikon krama inggil atau krama andhap. Meskopun begitu, yang menjadi leksikon inti dalam ragam ini hanyalah leksikon yang berbentuk krama. Leksikon madya dan leksikon ngoko tidak pernah muncul di dalam tingkat tutur ini. Selain itu, leksikon krama inggil atau krama andhap –secara konsisten- selalu digunakan untuk penghormatan terhadap mitra wicara.

Secara semantis ragam krama alus dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk ragam krama yang kadar kehalusannya tinggi (Sasangka 2004:111).
Contoh: Arta punika kedah dipunlintokaken wonten bank ingkang dumunung ing kitha.
‘uang ini harus ditukarkan di bank yang berada di kota’
Tampak bahwa afiks dipun- ‘di’ seperti pada dipunlintokaken ‘ditukarkan’ merupakan afiks penanda leksikon krama (Sasangka 2004:113).
Share:

Friday, 14 May 2010

Wangsalan Nama-nama Buah di Jawa





Wangsalan merupakan salah satu bagian kebudayaan masyarakat Jawa. Wangsalan adalah kata-kata yang jawabannya sudah ada pada sukukata kata–kata nya. Wangsalan ada yang mudah adapula yang sulit dalam memahaminya.
Pada saat sekarang wangsalan sudah banyak yang tidak mengetahuinya. Salah satu wangsalan adalah wangsalan nama-nama buah. Oleh karena itu penyusun tertarik untuk mencoba meneliti masalah ini. Dalam makalah ini akan dibahas bentuk-bentuk wangsalan nama-nama buah di Jawa. Adapun kebanyakan resensi kajian dari penyusunan makalah sederhana ini adalah berasal dari Serat Centhini jilid V karya Sunan Paku Buwana V (penyunting: Marsono).


Bentuk Wangsalan
(1). Buah gedhang “pisang” dari wangsalan pangebanging basa “janji dalam bahasa”: di-gadhang “direncana/diharap-harapkan”.
(2). Buah duren “durian” dari wangsalan kang aso ing margi “beristirahat di jalan”: ngaso/leren “beristirahat”.
(3). Buah pakel “mangga muda” dari wangsalan kang ambekicik “yang dalam bertengkar tidak mau mengalah”: ngengkel atau ngeyel.
(4). Buah kuweni “kweni” dari wangsalan tinantang purun “ditantang berani”: wani.
(5). Buah rambutan dari wangsalan sobrah sirah “akar/tetumbuhan kepala”: rambut.
(6). Buah kepundhung dari wangsalan kang tumpang tindhih “yang bertumpang tindih”: tumpuk udhung.
(7). Buah manggis dari wangsalan kang luntur ing siti “jatuh di tanah”: tlutuh.
(8). Buah nangka dari wangsalan kang turangga buntal “kuda berwarna-warni”: plangka.
(9). Buah balimbing dari wangsalan wangsul ing margi “kembali di jalan”: bali.
(10). Buah jirak dari wangsalan saranging mangsi “tinta yang kering”: ngerak.
(11). Buah sawo dari wangsalan tansah kebrawuk “selalu diaku padahal milik orang lain”: digabro.
(12). Buah kokosan dari wangsalan tanpa basa “tanpa bahasa hormat”: ngoko/koko.
(13). Buah dhuku dari wangsalan kang trapsila ajrih “sopan santun takut/hormat”: ndheku.
(14). Buah kecapi dari wangsalan ciri pratandha nawala “tanda surat sah”: cap.
(15). Buah srikaya dari wangsalan asung pekah “memberi nafkah”: kaya.
(16). Buah jeruk dari wangsalan dedalaning bayi “jalan lahir bayi”: turuk.
(17). Buah waresah dari wangsalan nora tata “yang tidak berkata/teratur”: rusuh/resah.
(18). Buah kepel dari wangsalan pamuluking bukti “menyuap makan”: makan dengan tangan kepel.
(19). Buah nanas dari wangsalan rasaning geni “rasa api”: panas.
(20). Buah dalima “delima” dari wangsalan paroning puluh “paroan sepuluh”: lima.
(21). Buah malowa dari wangsalan tegal bangka “ladang tiada terurus/tiada tanaman”: mluwa. Buah jambu dari wangsalan kang munggeng peragi/pragen “yang berda pada tempat peragi”: jambu/bambu.
(22). Buah dhuwet dari wangsalan jalma busana rikatan “orang berdandan cepat-cepat”: uwat-uwet.
(23). Buah gayam dari wangsalan kang ingancam-ancam “yang diancam-ancam”: ngayam.
(24). Buah kelayu dari wangsalan rare nututi “anak ingin ikut pergi”: klayu.
(25). Buah pijetan dari wangsalan padha gininda “saling memijat”: pijetan.
(26). Buah pelem dari wangslan wismane priyayi “rumah priyayi (bangsawan)”: dalem.
(27). Buah malinjo dari wangsalan anggung tilik “selalu bertandang”: tinjo.
(28). Buah cereme dari wangsalan penganten wus atut “pengantin telah rukun”: carem.
(29). Buah galembak dari wangsalan siti andhap “tanah rendah”: lebak.
(30). Buah salak dari wangsalan kang kasusu aglis “yang tergesa-gesa cepet”: selak.
(31). Buah mundhu dari wangsalan tomboking janma totohan “uang taruhan dari seseorang”: undhu.
(32). Buah keluwih dari wangsalan punjul wilangan “berlebih hitungan/bilangannya”: luwih.
(33). Buah sukun dari wangsalan kang wis kaki-kaki “yang telah (menjadi) kakek-kakek”: pikun.
(34). Buah sentul dari wangsalan walesan pikat “pegangan/tempat bertengger yang membingkas/memantul untuk bertengger burung sebagai umpan”: mentul.
(35). Buah elo dari wangsalan ingkang pendhok warni “logam sarung keris berwarna (merah)”: kemalo.
(36). Buah maja dari wangasalan jalma pepenging “orang melarang”: (dengan kata) aja.
(37). Buah bulu dari wangsalan sandhang manuk “pakaian burung”: wulu.
(38). Buah kawista dari wangsalan aken luwar “menyuruh keluar”: wis ta.
(39). Buah gowok dari wangsalan erong munggeng kitri “lubang di/berada di pohon”: gowok.
(40). Buah wuni dari wangsalan panatape ing gamelan “membunyikan gamelan”: uni.
(41). Buah jagung dari wangsalan rare ugungan “anak manja”: ugungan.
(42). Buah semangka dari wangsalan munggah ngardi “mendaki di gunung”: sumengka.
(43). Buah timun dari wangsalan menawa andulu “kalau melihat”: lamun andulu.
(44). Buah krai dari wangsalan kepala ngarsa “kepala bagian depan”: rai.
(45). Buah waluh dari wangsalan toyaning tangis “air tangi”: eluh “air mata”.
(46). Buah bestru dari wangsalan anggung dadya memungsuhan “selalu menjadi bermusuhan”: satru “musuh”.
(47). Buah otek dari wangsalan telasing pemanagan “habis makannya”: entek.
(48). Buah pare dari wangsalan pamudharing weni “mengurai rambut”: ngore “mengurai”.
(49). Buah lombok dari wangsalan bojoning bapa “istri bapak/ayah”: simbok/embok.
(50). Buah terong dari wangsalan talang kendhi “talang kendhi”: torong.
(51). Buah cipir dari wangsalan nimpang ningali “menyimpang melihat”: sumingkir, mlipir.
(52). Buah kara dari wangsalan wewinih padu “benih pertengkaran”: perkara.
(53). Buah gedhe dari wangsalan pengepe raga “berjemur diri”: dhedhe.
(54). Buah kumangi/kemangi dari wangsalan kumudu amrik “sangat ingi harum mewangi”: wangi.
(55). Buah ranti deri wangsalan ingkang praptane nora barengan “yang kedatangannya tidak bersama-sama”: sarenti.
(56). Buah kimpul dari wangsalan ingkang kelumpukan “yang berkumpul”: kumpul.
(57). Buah ketela dari wangsalan cetha ing uni “jelas pada ucapan/bunyi”: tela.
(58). Buah kenthang dari wangsalan kasuwen memeyan “jemuran terlalu lama”: diklanthang.
(59). Buah uwi berasa dari wangsalan bangsa krama adi “bahasa krama/hormat bagus”: awi “silakan, mari”.
(60). Buah gadhung dari wangsalan kekemben wilis “kemban/penutup dada wanita berwarna hijau”: kemben gadhung.
(61). Buah gembili dari wangsalan gring pipi lemu “sakit pipi gemuk”: gembil.
(62). Buah walur dari wangsalan pangudhal benang “mengurai/ulur benang”: ngulur.
(63). Buah seweg dari wangsalan basa lagi-lagi “bahasa/kata sedang”: saweg.
(64). Buah besusu dari wangsalan parang jaja ing wanudya “karang dada wanita”: susu.
(65). Buah kacang dari wangsalan panguger turangga “mengikat kuda”: nyancang.
(66). Buah kedhele dari wangsalan sindheting tali “ikatan tali”: sindhet.
(67). Buah wijen dari wangsalan maju pring priyangga “maju hanya seorang diri”: ijen.
(68). Buah pete dari wangsalan marga binuntu “jalan buntu”: bumpet.
(69). Buah jengkol dari wangsalan sinjang kepelag “kain bagus (meski meliuk coraknya)”: mengko.
(70). Buah kemlandhingan dari wangsalan kembar jurit “dilawan dalam perang”: ditandhingi.
(71). Buah kaluwak dari wangsalan trenggalung kang tanpa boga “sebangsa binatang rase tanpa makan”: luwak.
(72). Buah kemiri dari wangsalan pangembet karya “menyangkut pekerjaan”: meri.
(73). Buah pucung dari wangsalan selaning marga “menuju berjalanke...”: mucung.
(74). Buah pace dari wangsalan poyok ngisin-isin “mengolok-olok membuat malu”: ngece.
Share:

Saturday, 26 December 2009

CERITA SINGKAT PETILASAN MAKAM JOKO BUDUG / R. HARYO BANGSAL

Joko Budug nama lengkapnya adalah Raden Haryo Bangsal Putra Raja Majapahit.
Pada suatu ketika Joko Budug / R. Haryo Bangsal pergi dari rumah sampailah di desa Bayem Taman Daerah Sine Ngawi mampir ke rumah Mbok Rondo Dadapan sampai beberapa waktu.

Di dekat desa Bayem Taman ada Kerajaan yang namanya Kerajaan POHAN. Raja POHAN mempunyai Pohon Pisang Pupus Cinde Mas, di Gunung Liliran, Pada musim kemarau pohon pisang Pupus Cinde Mas layu. Raja Pohan mengadakan Sayembara “ Barang Siapa yang bisa mengalirkan air ke pohon pisang Pupus Cinde Mas, Kalau laki-laki akan dijodohkan dengan putrinya, kalau wanita akan dijadikan Sedulur Sinorowati / anak angkat “.

Joko Budug mendengar bahwa Raja Pohan mengadakan sayembara, Beliau pamit akan mohon do’a restu pada Mbak Rondo Dadapan, Mbok Rondo Dadapan merestui akhirnya Joko Budug mengikuti Sayembara tersebut. Dengan kesaktiannya Joko Budug berhasil membuat terowongan dengan tangan kosong, sehingga air mengalir ke tanaman pohon pisang Pupus Cinde Mas. Akhirnya Joko Budug akan dikawinkan dengan Putri Raja Pohan. Berhubung Joko Budug badannya rata penyakit kulit/gudig. Raja Pohan memerintahkan Patih untuk memandikan/mbilasi Joko Budug di Sendang Gampingan sekarang dukuh Gamping. Sang Patih melaksanakan perintah Raja. Sang Patih agak kurang pendengarannya/tuli Perintah Sang Raja untuk mbilasidi dengar sang patih untuk Nelasi. Sampai disekat Sendang Gampingan Joko Budug dihabisi/dibunuh.

Setelah itu dibuatkan lubang kubur sepanjang orang biasa, setelah dimasukkan ternyata tidak muat, jasadnya tidak bisa masuk lubang kubur dan penjangnya ditambah lagi mencapai 11 (sebelas) meter. namun tidak cukup juga.
Pada waktu itu sesepuh Kerajaan Pohan mendapat wangsit agar Joko Budug dimakamkan bersama Calon Istrinya (anak Raja Pohan) di gunung Liliran. Akhirnya Joko Budug di makamkan digunung liliran bersama calon istrinya.
Akhirnya Sang Raja Majapahit mendengar kematian Putranya (Joko Budug ) jasad keduanya di bawa ke Majapahit.

Demikian cerita singkat Makam Joko Budug alias R. Haryo Bangsal yang terletak di Gampingan yang sekarang di sebut dukuh Gamping dan di gunung liliran tinggal petilasan makam.

Sampai sekarang Petilasan Makam Joko Budug ( R. Haryo Bangsal ) yang berada di Gamping maupun di Gunung Liliran banyak pengunjung yang ziarah terutama pada malam Jum’at Legi bulan Suro .

(Penelitian Folklor lisan eks solo r4 pbsj unnes 08';Sumber:Mbah Karyo Wirono alias Simin.
Share:

Putri Lundini dan Jaka Sampurna

“ PUTRI LUHDINI DAN JAKA SAMPURNA
( MAKAM BAWANG )
DESA POLENG – KECAMATAN GESI KAB. SRAGEN.

Konon di ceritakan ketika Sultan Hadiwijaya penguasa keratin Pajang sedang berburu di hutan tepatnya di kawasan hutan Poleng, ia berjumpa dengan seorang gadis, putrid seorang penduduk tersebut. Dalam kisahnya Jaka Tingkir terkenal sosok yang gagah dan tampan apalagi saat itu ia adalah seorang Sultan di Kraton Pajang tentunya hal itu mempengaruhi kewibawaanya serta menjadi impian setiap wanita untuk bersanding dengannya, lebig-lebih Jaka Tingkir mempunyai karakter/hobi play boy.
Pertemuannya dengan Luhdini gadis desa tersebut nampaknya ada benih-benih cinta yang terpendam dihati Sultan Hadiwijaya, dan rasa cinta Sultan hadiwijaya tersebut ternya dapat meluluhkan hati putri Luhdini, sehingga hatinya terlambat dan berlabuh dihati sultan Hadiwijaya.
Kisah perjalanan asmara kedua insane yang tengah dimabuk kepayang tersebut, berlanjut sampai putrid Luhdini mengandung, namun berhubung Sultan Hadiwijaya telah lama meninggalkan kraton, maka ia bersama prajurit pengawalna kembali ke kraton Pajang, sementara putri Luhdini di tinggal bersama orang tuanya di tempat tersebut
Haripun berganti sang waktupun berlalu mengikuti irama kehidupan, dalam suasana sedih dan rindu yang terpendam dalam hati putri Luhdini.
Apalagi saat itu putri Luhdini tengah mengandung putranya yang sangat dicintai kelak menjadi harapan masa depan putri Luhdini.
Kandungan putri Luhdini kian hari kian membesar, akhirnya tiba saatnya masa memancarkan cahaya di aura wajah anak tersebut, katakanlah anak tersebut lahir sempurna, maka oleh Ibunya diberi nama “ JAKA SAMPURNA “.
Ketika Jaka Sampurna menginjak dewasa ia tentunya paham bahwa seorang anak itu hadir didunia logikanya lantaran seorang Ayah dan Ibu, namun dalam benak Jaka Sampurna sampai saat ini ia selalu bertanya siapa yang mengukir jiwa raganya tersebut, sedang sang ibu selalu merahasiakan ayah Jaka Sampurna sesungguhnya hal itu dilakukan putrid Luhdini khawatir jika putranya nanti disia-siakan karena tidak diakui oleh ayahnya seorang penguasa di keratin pajang.
Jaka sampurna :” Maafkan saya Ibu…….lama saya merenung dan bertanya-tanya siapakah
orangtuaku yang mengukir jiwa dan ragaku sebenarnya Ibu……?
Putri Luhdini :” Putraku Jaka Sampurna sudahlah jangan kau tanyakan hal itu,hati ibu sedih jika kau tanyakan masalah itu padaku anakku, percayalah aku orang tuamu…..”
Jaka Sampurna :” Ibu, sebuah kelahiran itu ada proses yang tidak boleh lepas dari kodratnya
Bahwa seorang anak manusia lahir kedunia itu harus melalui perantara yaiu seorang Ayah dansesorang, Bu, apakah Jaka Sampurna diukir dari sebongkah batu ?!
Putri Luhdini :” Oh…Jaka Sampurna anaku…….tidak…….kau adalah Putraku sebenarnya…namun jika kemauanmu keras untuk mengetahui orang tuamu laki-laki,baiklah dia adalah seorang penguasa di keratin Pajang bernama Sultan Hadiwijaya…….raja Pajang.
Ketika disebut bahwa orang yang mengukir jiwa raganya adalah Sultan Hadiwijaya di Pajang, betapa kaget hati jaka Sampurna ia tidak menyangka kalau ayahnya adalah seorang darah biru alias seorang raja.
Namun dalam hatinya timbul pertanyaan mengapa ibunya hidup sendirian di tengah hutan,betapa teganya Sultan Hadiwijaya meninggalkan Ibu dan dirinya dengan penuh penderitaan.
Akhirnya Jaka Sampurna berpamitan dengan ibunya untuk mencari ayahnya ke Keraton Pajang, wlaupun sebetulnya hal itu di larang oleh ibunya.
Tetapi kemauan Jaka Sampurna yang sangat keras akhirnya ia diijinkan juga untuk menemui ayahnya di Keraton Pajang.
Dengan tekad yang bulat Jaka Sampurna melakukan perjalanan menuju ke keratin pajang, ia sangat ingin tahu seperti apa orang yang telah mengukir jiwa dan raganya hingga sampai sekarang masih merupakan misteri bagi dirinya.
Sesampai keratin Pajang Sampurna berhasil menhghadap Sultan Hadiwijaya, ketika Jaka Sampurna menghadap ayahnya/Sultan Hadiwijaya.
Dalam hati sultan agak bergetar secara naluri dia merasakan ada hubungan batin antara dia dengan Jaka Sampurna, namun hatinya ragu siapakah sebenarnya pemuda yang dihadapannya.
Sultan Hadiwijaya : “ Wahai anak muda….aku lihat kau bukan orang Pajang dan namaknya kau baru saja menempuh perjalanan jauh, siapakah kau sebenarnya…..?!
Jaka Sampurna : “ Hamba mohon maaf sebelumnya…..kalau kedatangan hamba sangat merisaukan paduka, hamba berma,a Jaka Sampurna dari hutan
Poleng “.
Sultan Hadiwijaya : “ Apa maksud kedatanganmu ke kraton Pajang Jaka Sampurna……?!
Jaka Sampurna : “ Hamba ingin bertemu dengan orang tua kami yaitu Sultan Hadiwijaya
Sultan Hadiwijaya : “ Oh……..kamu Jaka Sampurna dari hutan poleng, dan siapa nama ibumu anak muda…?!
Jaka sampurna : “ Nama Ibu hamba adalah Luhdini…
Namun hal itu tidak langsung membuat Sultan Hadiwijaya percaya begitu saja.
Kendatipun dalam hati kecilnya ia percaya bahwa anak muda tersebut adalah putranya, sultan sangat kagum atas kegagahan dan ketampanan serta keberanian anak muda tersebut.
Sultan Hadiwijaya : “ Baiklah …….anak muda perkenalkan akulah Sultan Hadiwijaya raja pajang, namun aku masih sangsi apa betul kamu adalah putraku, begini….kembalilah ke Poleng jika kau benar-benar darah dagingku, kalau ibumu dapat membawa buah “ BAWANG” yang besarnya sebesar tempayan (Genthong).
Betapa kaget hati Jaka Sampurna begitu mendengar titah Sultan Hadiwijaya, namun untuk membuktikan kesetiaan dan sifat kesatrianya diapun menyanggupi untuk memnuhi permintaan ayahnya (Sultan Hadiwijaya) Jaka Sampurna segera memohon pamit untuk kembali ke Poleng.
Setelah sampai didepan Ibunya tercinta Jaka Sampurna menceritakan tentang peristiwa di keratin Pajang saat menghadap Sultan Hadiwijaya, putrid Luhdini sangat prihatin dan sedih ketika mendengar cerita putranya tersebut.
Namun untuk memnuhi dan menjawab permintaan raja pajang tersebut putrid Luhdini melakukan semedi guna memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar terwujud harapannya, nampaknya permohonan putrid Luhdini yang tulus suci itu dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dihadapannya ada tanaman buah Bawang Putih yang besarnya sebesar tempayan (Genthong).

(Penilitian folklor lisan eks solo: Sumber:SUMARNO, S. Pd.
Penilik PLS Kec. Gesi.)
Share:

Legenda Pengging (Cerita Prosa Rakyat; Boyolali)


Pengging adalah sebuah desa yang terletak di Kelurahan Dukuh, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, tapi sekarang Pengging lebih dikenal oleh masyarakat mencakup 3 Kelurahan yaitu Bendan, Dukuh dan Jembungan. Dengan peninggalan yang tersisa adalah Pemandian Umbul Pengging ,Umbul Sungsang dan Makam Pujangga Yosodipuro.
Pengging juga mempunyai ritual sebaran apem untuk memperingati bulan Sapar, tradisi ini sudah ada sejak jaman R. Ng Yosodipuro. Hal ini dimulai karena pengaruh R. Ng Yosodipura yang berjasa dalam membawa rakyat Pengging dalam meningkatkan hasil pertanian dan mengusir hama. Acara ini sering bertepatan dengan acara Pengging Fair yaitu pesta rakyat dan budaza Pengging yang dilaksanakan mendekati bulan Agustus. Acara ini berlangsung selama seminggu dengan puncak acaranya adalah hari terakhir perayaan ini. Namun beberapa hari sebelumnya di sepanjang jalan Pengging sudah ramai dengan pedagang-pedagang, mulai penjual makanan sampai pakaian tidak hanya pedagang lokal tapi juga dari luar daerah. Acara tersebut tidak hanya diikuti oleh masyarakat Pengging dan sekitarnya tapi juga dikunjungi oleh masyarakat luar Pengging misalnya dari Boyolali, Surakarta, Klaten bahkan luar karisidenan Surakarta.

Pesta rakyat dan budaya Pengging merupakan acara memperingati HUT Kemerdekaan Republik Indonesia namun karena suatu hal maka sering dilaksanakan sebagai pesta budaya sekaligus memperingati jasa R Ng Yosodipuro dalam bentuk ritual atau upacara tradisi apeman, acara ini mulai diselenggarakan tahun 1967 dan diadakan secara rutin setiap tahun. Pada awalnya dilangsungkan dengan sederhana dan hanya menampilkan satu panggung hiburan. Seiring bertambahnya waktu acara tradisi ini berjalan semakin maju dan semarak dengan berbagai jenis kegiatan dan hiburan. Dengan demikian pengunjung yang datang semakin bertambah banyak dan Pegging menjadi terkenal dengan Obyek Wisata Pemandian Umbul Pengging dan Makam Pujangga Yosodipuro saja namun juga dengan kegiatan tradisi tahunan tersebut.

R. Ng Yosodipuro ádalah seorang Pujangga sekaligus ulama yang menyebarkan agama Islam hidup pada masa pemerintahan Pakubuwono II dikenal sangat dekat dengan kaum petani, karena kearifannya seringkali rakyat Pengging memohon petunjuk termasuk pada saat petani meminta bantuannya untuk mengatasi serangan hama keong mas. Atas petunjuk R. Ng Yosodipuro para petani mengambil keong mas tersebut kemudian dimasak dengan cara dikukus. Sebelumnya keong tersebut dibalut dengan janus yang dibentuk seperti keong mas. Setiap kali panen padi janur bekas balutan keong mas tersbut digunakan untuk membuat apem kukus. Apem kukus itu kemudian dibagi-bagikan pada petani sebagi wujud syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang diberikan dan juga berkurangnya hama keong. Tradisi bagi-bagi apem akhirnya terus berkembang hingga berjalan sampai sekarang. Bagi masyarakat yang percaya jika berhasil mendapatkan apem maka diyakini akan mendatangkan berkat.

Berebut kue apem kukus keong mas dalam acara Saparan di Pengging, kecamata Banyudono, Boyolali sudah merupakan tradisi yang tak mudah untuk ditinggalkan oleh masyarakatnya. Masing-masing RT mengirimkan apem sebanyak 200 buah kemudian dikumpulkan di kantor kecamatan. Acra Saparan dilaksanakan tepat di perempatan depan Masjid Cipto Mulyo, kompleks wisata Umbul Pengging. Malam sebelumnya diadakan prosesi melakukan doa dan tahlil di Masjid Cipto Mulyo dan dilanjutkan ziarah di makam R. Ng Yosodipuro kemudian dilanjutkan dengan upacar kenduri serta Sanggaran.
Selanjutnya ritual diawali dengan kirab budaya dan arak-arakan dua buah gunungan apem serta berbagi macam kesenian daerah setempat. Dimulai di depan kantor kecamatan Banyudono menuju halaman Masjid Cipto Mulyo. Acara ini dihadari oleh pejabat daerah setempat, trah dari R. Ng Yosodipuro serta kerabat Keraton Surakarta Hadiningrat.

Acara-acara untuk memeriahkan tradisi ini antara lain:
Pentas seni dan budaya
Diadakan disepanjang Jalan Pasar Pengging, acara dimulai dengan pemotongan pita oleh Bupati Boyolali. Kemudian acara karnaval oleh murid TK dan SD , drum band, Reog dan Barongsai. Iring-iringan ini dimulai dari kantor kecamatan Banyudono sampai di depan Obyek Wisata Umbul Pengging. Malamnya dilanjutkan dengan hiburan kesenian, terdapat lima panggung kesenian yaitu: panggung band rock, anak-anak, orkes melayu (dangdut), campursari, dan Wayang kulit dengan lokasi yang sudah dipersiapkan.

Suasana meriah dan ramai dirasakan sejak sore hari, berlanjut hingga tengah malam apalagi pertunjukan wayang kulit yang berlangsung semalam suntuk. Dapat terlihat disini semua jenis kesenian baik modern maupun tradisional dapat berjalan bersama. Sehingga secara tidak langsung acara ini juga dijadikan sebagai sarana promosi dan melestarikan kebudayaan daerah.

Pertunjukan wayang kulit dimainkan oleh dalang dari Pengging sendiri karena Pengging mempunyai banyak dalang misalnya : Ki Wardono, Ki Gondo Sawi, Ki Gondo Tomo, Ki Gondo Wajiran, Ki Sabdo Carito, dalang muda Ki Nyoman dan kadang kadang mengundang dalang terkenal seperti Ki Anom Suroto dan Warseno Slank diiringi waranggana lokal misalnya Nyimut, Suparsih, Wayan, Suji diselingi lawak Gogon yang asli Pengging dan bahkan pelawak Srimulat turut serta menyemarakkan acara ini.

Hal ini mendorong lahirnya seniman - seniman muda dari Pengging selain itu sanggar karawitan dan tari tradisioanal dibuka di Pengging.
Diharapkan dengan diadakannya acara ini mendorong semangat generasi muda untuk mencintai dan melestarikan kebudayaan serta memajukan daerahnya tidak hanya melalui kekayaan alam namun juga dengan kesenian, kebudayan dan peninggalan sejarah.

(PF lisan R4 Pbsj Unnes angk.08'; dr brbgai smbr).
Share:

Legenda nama Wonogiri (Cerita Prosa Rakyat)

Cerita ini berawal ketika Sunan Giri mengadaka perjalanan mencari kayu jati untuk membuat tiang masjid Demak. Dalam perjalanan itu Beliau menemukan kayu Jati yang tumbuh di atas pegunungan-pegunungan dan berada di dalam hutan belantara. Setelah menemukan siapa pemiliknya itu, akhirnya kayu itu dihanyutkan di sebuah sungai yang bernama sungai Keduwang. Saat ingin menghanyutkannya Beliau member nama daerah itu dengan sebutan Wono yang berarti hutan dan giri yang berarti gunung.
Cerita itu memberikan pelajaran kepada kita bahwa kejujuran itu akan membawa keuntungan. Dengan begitu Tuhan akan memberikan kemudahan untuk kita agar bisa menjalankan kewajiban dengan baik.

(PF R.4 Pbsj Unnes angk.08';dr brbgai smber).
Share:

Pangeran Samber Nyawa (Cerita Prosa Rakyat: Wonogiri)

Mite ini menceritakan sejarah berdirinya pemerintahan di Wonogiri juga diramu dengan cerita-cerita kesaktian seseorang. Juru rakit yang menyeberangkan Raden Mas Said serta perjuangan dan kehebatan Raden Mas Said atau pangeran sambernyowo dalam menghadapi musuh merupakan bukti.
Cerita ini mengajarkan bahwa kita harus menegakkan keadilan dan menumpas tindak kesewenang-wenangan. Selain itu, juga mengajarkan tentang pentingnya persatuan dan kesatuan. Tanpa adanya persatuan dan kesatuan mustahil suatu perjuangan akan tercapai.

(Oleh:PF R4 PBSJ Unnes angk 08', dr brbgai smbr)
Share:

Pertapaan Kahyangan Dlepih (Cerita Prosa Rakyat ( Kab.Wonogiri))

Pertapaan kahyangan Dlepih :
Mite ini sangat dipercayai oleh masyarakat wonogiri terutama Tirtomoyo tentang kesaktian seseorang yang mampu berhubungan dengan bangsa jin. Konon yang bertapa di Kahyangan Dlepih bukan hanya Sunan Kalijaga dan Panembahan senopatisaja, tetapi juga Raden mas Rangsang dan Pangeran Mangkubumi. Oleh karena itu Kraton mataram selalu mengadakan upacara labuhan di tempat tersebut.
Lokasi : Dlepih, Kec. Tirtomoyo
Waktu Tempuh : ± 1 jam 30 menit dari pusat kota Wonogiri.

Potensi :
- Tempat ritual
- Panorama alam yang indah
- Event tahunan sedekah bumi

Wisata ritual Kahyangan adalah tempat petilasan pertapaan Raja-raja tanah Jawa. Ditempat inilah Danang Suto Wijoyo mendapatkan wahyu Raja dan kemudian setelah menjadi Raja bergelar Panembahan Senopati. Di tempat ini pulalah Danang Suto Wijoyo mengadakan perjanjian dengan Kanjeng Ratu Kidul untuk bersama-sama membangun Pemerintahan di Jawa ( Mataram).

Obyek wisata ini tepatnya terletak di desa Dlepih Kecamatan Titromoyo, berjarak 50 km arah tenggara dari Kota Wonogiri. Sampai sekarang tempat ini dikeramatkan oleh Kasultanan Yogyakarta, terbukti setiap 8 tahun (sewindu) sekali di adakan upacara Labuhan Ageng.

Begitu pula pada malam Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon setiap bulan Suro, Pemkab Wonogiri mengadakan upacara Sedekah Bumi, di lanjutkan pagelaran Wayang Kulit semalam suntuk. Upacara tersebut adalah sebagai wujud terima kasih dan doa rakyat Wonogiri kepada Tuhan Yang Maha Esa agar selalu diberi keselamatan dan ketenteraman.

Obyek wisata ini selalu dipadati pengunjung yang akan melakukan meditasi, menyatu dengan kekuasaan Ilahi, agar terkabul permohonannya. Kegiatan ini berjalan setiap hari, dan mencapai puncaknya pada malam Selasa Kliwon dan malam Jumat Kliwon.(Sumber: http://www.pariwisata.wonogirikab.go.id/home.php?mode=content&id=236).


Cerita ini mengajarkan bagi kita untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada daya dan upaya kecuali atas ridha-Nya. Kahyangan Dlepih itu hanya merupakan tempat saja, sedangkan permintaan atau permohonan itu tetap kepada Tuhan Yang Maha Esa.

(penelitian Folklor lisan daerah eks solo; R. 4 Pbsj Unnes 2008')
Share:

UNGKAPAN TRADISIONAL / PERIBAHASA JAWA



1. Petani dan peternak
Adhang-adhang tetesing embun : njagakake barang mung saolehe bae
Aji godhong garing : barang kang ora duwe aji babar blas
Ancik-ancik pucuking eri : wong kang tansah sumelang yen kaluputan
Angon mangsa : golek wektu sing prayoga
Arep jamure emoh watange : gelem kepenake ora gelem rekasane
Bebek mungsuh mliwis : wong pinter mungsuh wong pinter
Belo melu seton : mung melu melu bae
Dadia suket suthik nyenggut : emoh aruh
Digarokake dilukokake : dikon nyambut gawe abot
Emprit abuntut bedhug : prakar sepele dadi gedhe
Golek banyu bening : golek pitutur sing becik
Jati ketlusuban ruyung : golongane wong becik kelebon wong ala
Kacang mangsa ninggala lanjaran : kelakuwane anak akeh-akehe niru wong tuwane
Kaya wedhus dimbar neng kacangan : kesenengan amarga nemoni apa sing dibutuhake
Kebo ilang tombok kandhang : wis kelangan isih tombok maneh
Kebo kabotan sungu : wong tuwa sing rekasa amarga kakehan anak
Kebo mulih menyang kandhange : wong lunga bali maneh menyang asale
Kebo nusu gudel : wong tuwa njaluk wuruk marang wong enom
Kemladeyan ngajak sempal : wong nunut marakake rusak
Krokot ing galeng : wong sing mlarat banget
Kutuk nggendhong kemiri : nyandhang sarwa aji ngliwati papan sing gawat
Milih-milih tebu boleng : kakehan pilihan wusanane oleh sing ora becik
Opor bebek mentas awak dhewek : mentas saka rekadayane dewe
Ora ana banyu mili mendhuwur : watake anak mesthi niru wong tuwane
Ora ngerti kenthang kimpule : ora ngerti jalarane perkara
Pager mangan tanduran : dipercaya malah ngrusak
Pandengan karo srengenge : mungsuhan karo wong kuwasa
Pitik trondhol diumbar ing pedharingan : wong ala diprasrahi tunggu barang aji
Sandhing kebo gupak : sandhing wong ala bisa ktut ala
Sembur-sembur adas siram-siram bayem : bisa kaleksanan marga dongane wong akeh
Tebu tuwuh socane : prekara wis becik dadi bubrah merga dirusuhi
Timun mungsuh duren : wong ringkih mungsuh wong kuwat

2. Masyarakat pengadilan
Adigang adigung adiguna : wong sing ngendelake kekuatan kaluhuran lan kepinterane
Ana catar mungkur : ora gelem ngrungokake rerasan sing ora becik
Ana daulate ora ana begjane : wis arep nemu kabegjan Nanking ora sida
Desa mawa cara Negara mawa tata : saben panggonan duwe cara dewe-dewe
Emban cindhe emban silaban : siji lan sijine ora padha pangrengkuhe (ora adil)
Jer basuki mawa beya : kabeh gegayuhan mbutuhake wragat
Njajah desa milang kori : lelungan menyang ngendi-ngendi
Ngalasake negara : ora manut pranatan negara
Rukun agawe santosa crah agawe bubrah : kerukunan ndadekake santosa congkrah ndadekake karusakan
Sapa salah saleh : sapa sing salah bakal cala
Sluman slumun slamet : sanajan kurang ati-ati ewadene diparingi slamet
Yitna yuwana lena kena : sing ngati-ati slamet sing sembrana bakal cilaka

3. Pedagang
Beras wutah orang mulih marang takere : barang kang wis owah arang bisa pulih maneh
Buntel kadhut ora nginang ora udud : wong nyambut gawe borongan ora oleh mangan
lan rokok
Criwis cawis : akeh alesan nanging gelem nindakake
Dudu berase ditempurake : nyambungi guneme liyan nanging ora gathuk
Enggon welut didoli udhet : panggonane wong pinter dipameri kepinteran
Esuk dhele sore tempe : ora teteg atine
Katon cempaka sewakul : disenengi wong akeh
Mikul dhuwur mendhem jero : njunjung drajade wong tuwa
Timun wungkuk jaga imbuh : Mung kanggo jagan yen ana kurange
Tumbu oleh tutup : wong kekancan sing cocok banget
Tuna sathak bathi sanak : rugi bandha nanging bathi sedulur

4. Pemburu
Cedhak celeng boloten : cedhakan karo wong ala njalari katut ala
Gajah tumbuk kancil mati tengah : wong gedhe padu karo wng gedhe wong cilik
sing sangsara
Gajah ngidak rapah : wong sing nrajang wewalere dhewe
Kekudhung walulang macan : ngapusi wong sarana njaluk
tulung marang wong kang dipracaya dening wong kang diapusi mau
Kethek seranggon : wong ala sagrombolan
Kutuk marani sunduk : njarak marang bebaya
Matang tuna numbak luput : tansah luput kekarepane
Menthung koja kena sembagine : karepe ngapusi malah kapusan
Ngaturake kidang lumayu : nuduhake gegayuhan sing angel kecekel
Nguthik-uthik macan dhedhe : gawe nesune wong
Rampek-rampek kethek : nyedhak-nyedhak mung arep gawe kapitunan
Trenggiling api mati : sejatine ngrungokake nanging ethok-ethok ora ngerti
Ula marani gepuk : njarak marani bebaya

5. Penangkap ikan
Buru uceng kelangan dheleg : mburu barang sepele kelangan barang sing aji
Iwak klebu ing wuwu : kena apus sarana gampang banget
Kenaa iwake aja buthek banyune : sing dikarep bisa kelakon nanging aja nganti gawe rame
Kebanjiran segara madu : nemu kabegjan kang gedhe banget
Nguyahi segara : tandang gawe sing muspra

6. Lain-lain (keluarga dan masyarakat)
Ana catur mungkur : ora gelem ngrungokake rerasan sing ora becik
Anak polah bapa kepradah : wong tuwa nemu reribed amarga saka polahing anak
Asu marani gepuk : njarag marang bebaya
Car-cor kaya kurang janganan : guneman waton metu tanpa dipikir dhisik
Dahwen ati open : nacad nanging arep dimelik dhewe
Dudu sanak dudu kadang mati melu kelangan : sanajan wong liya yen ora kepenak melu ngrasakake
Kadang konang : ngakoni sadulur mung karo sing sugih-sugih
Kaya banyu karo lenga : pasaduluran kang ora bisa rukun
Kumenthus ora pecus : doyan umuk ora sembada
Nabok nyilih tangan : nindakake panggawean ala sarana kongkonan
Opor bebek mentas awak dhewek : mentas saka rekadayane dhewe
Ora mambu enthong irus : dudu sana dudu kadang
Ora tembung ora luwung : njupuk tanpa nembung dhisik
Sabaya pati sabaya mukti : rukun nganti tekan ing pati
Satru mungging cangklakan : mungsuh kang isih sanak sedulur
Sepi ing pamrih rame ing gawe : tumandang gawe tanpa duwe kamelikan apa-apa
Sumur lumaku tinimba : njaluk diangsu kawruhe nawakake ngelmune
Tulung menthung : katone tetulung nanging malah nyusahake
Tunggal banyu : tunggal ngelmu, tunggal guru
Welas tanpa alis : welas marang wong kang ndadekake sangsarane
Kuda linapakan (kuda didandani), artinya orangnya mudah diatur

(Oleh: Kelompok 1 penelitian Folklor lisan eks Surakarta; Rombel 4 Pbsj Unnes 2008' (Ita M dkk)diposting:cia).
Share:

Dialek Eks-Surakarta




Dialek bahasa Jawa yang ada atau digunakan di Surakarta adalah dialek Surakarta atau lebih dikenal dengan sebutan dialek Solo dianggap sebagai dialek bahasa Jawa yang halus jika dibandingakan dengan dialek bahasa Jawa yang lain. Dialek Solo dianggap sebagai bahasa Jawa yang baku, digunakan pada pembelajaran di sekolah-sekolah, bahkan dianggap sebagai bahasa nasional orang Jawa. Di keraton dipakai sebagai bahasa resmi dalam kedinasan dan adat tata cara keraton.
Istilah2 khas daerah sekitar eks-Solo, dantaranya adalah sbb:
-witekna artinya lha bagaimana
-semua akhir kalimatnya ditambah ‘no’
-jiglok artinya steples
-‘horok’ : lho
-naknu/saknu : kalau begitu
-oglangan : mati lampu
-Bangsul= wangsul
-Sedhiluk= sebentar
-Gek, kepeze, njongok (lungguh), nggogok (lungguh), njobo, tek, dll.


(Oleh: Kelompok penelitian folklor lisan eks-solo; kel 1; Rombel 4 PBSJ 08' Unnes (Ita Mustikaningrum dkk) Unnes)
Share:

Thursday, 24 December 2009

Sekilas Tentang Tarian Tradisional Jawa

-->
  1. Tarian Bedhaya Ketawang
Tari Bedhaya Ketawang merupakan tarian yang biasa digunakan atau ditarikan di dalam keraton, karena biasa dipertunjukkan untuk mengiringi upacara Tingalan Jumeneng Dalem (ulang tahun penobatan raja).
Tarian ini ditarikan oleh sembilan orang penari putri. Ke sembilan penari putri tadi dicarikan yang sama atau hampir mirip Wajahnya, besar tinggi badannya. Begitu juga dengan tata rias dan tata pakaiannya sama. Ada nama-nama tersendiri untuk ke sembilan penari tersebut yaitu Endel, Batak, Jangga, Dada, Bunthil, Apit Ngajeng, Apit Wingking, Endel Wedalan Ngajeng, dan Endel Wedalan Wingking.
Tarian Bedhaya Ketawang ini ditarikan oleh sembilan penari putri karena sembilan penari tersebut mencerminkan atau menyimbolkan sembilan lubang pada tubuh manusia. Penarinya juga harus masih perawan. Untuk latihan tarian ini tidak boleh di sembarang hari, ada hari khusus untuk latihan tarian ini yaitu hari Selasa Kliwon.
Tarian ini diiringi gendhing ketawang. Baik tari maupun gendhing pengiringnya merupakan sesuatu yang kramat, sehingga untuk menyajikannya harus didahului dengan suatu upacara tersendiri.
Tari Bedhaya Ketawang ini melukiskan kisah pertemuan antara panembahan Senapati seorang raja Mataram dengan Nyi Roro Kidul seorang ratu di lautan Indonesia.
Di Keraton Surakarta tari Bedhaya Ketawang pada mulanya hanya diperagakan oleh tujuh wanita saja. Namun, karena tari ini dianggap sebuah tarian khusus dan dipercaya sebagai tari uang amat sakral kemudian diperankan oleh sembilan prang penari.
Tarian ini muncul karena akibat bersemadinya panembahan Senapati di pantai selatan. Dalam semadinya panembaan Senapati bertemu dengan Ratu Kidul yang sedang menari. Ratu Kidul ini mengajarkan pada panembahan Senapati Mataram, yang disesuaikan dengan alunan sebuah gendhing yang di dengar.
  1. Tari Srimpi
Tarian ini ditarikan oleh empat orang penari putri dengan membawa Perlengkapan botol isi minuman dan gelas. Ke empat penari putri ini menggambarkan empat arah mata angin. Untuk tata rias dan pakaian sama, demikian juga ke empat penari itu dicarikan wajah dan besar serta tinggi tubuh yang sama atau hampir mirip. Tari ini diiringi dengan gendhing Sanyupati untuk upacara penyambutan tamu agung.
Di dalam tarian ini dapat ditemui saat-saat para penari menuangkan minuman ke dalam gelas untuk kemudian diminumnya. Bertepatan dengan adegan tersebut, para tamu berdiri dan bersama-sama meminum minuman yang telah disediakan di tempat masing-masing.
  1. Tari Kebo Kinul
Kebo Kinul merupakan orang-orangan di tengah sawah, di desa Genengsari biasa disebut Sawi (batang kayu yang ditutup jerami dan dibentuk mirip manusia) yang berfungsi untuk mengusir hama tanaman padi. Biasanya dipertunjukkan saat upacara bersih desa.
Tarian ini mengisahkan legenda desa Genengsari yang menceritakan tentang Kebo Kinul yang merasa tidak dihargai keberadaannya menjadi marah dan menyerang warga desa serta menyebarnya penyakit ke seluruh desa Genengsari. Namun semua itu teratasi atas seorang kyai yang mampu menyelesaikan persoalan tersebut, akhirnya Kebo Kinul dapat menjadi sahabat kembali.
Para penari dirias berbeda-beda sesuai dengan peran masing-masing, yaitu:
  1. Kebo Kinul
Wajah tanpa riasan, mulut ditutup mendhong, sebelumnya memakai kain dan celana hitam. Penutup tubuh dua bagian. Setiap tubuh diikat berbeda, yaitu lengan ditutup mendhong, diikat menjadi tiga (lengan atas, bawah, tengah), kepala diikat menjadi satu bagian (leher), dan diatas kepala diikat tiga bagian.

  1. Wadyabala
Wajah dirias menggunakan simit (pewarna tubuh). Untuk badan, tangan dan kaki menggunakan putih, merah dan hitam. Dari punggung ke bawah mengenakan kain kotak-kotak dan kepada diikat.

  1. Kyai Penthul
Mengenakan kaos hitam, celana panjang putih, baju panjang sampai bawah lutut berlengan panjang berwarna putih, kepala menggunakan sorban warna putih, dilengkapi dengan sabuk, epek timang dan keris.

  1. Pak Tani
Mengenakan celana sebatas lutut warna hitam, baju lengan panjang dan menggunakan caping.

  1. Mbok Tani
Rambut disanggul konde, mengenakn jarik wiron dan kebaya lengan panjang serta menggunakan caping.

  1. R. Panji Dikrama
Mengenakn celana selutut, jarik wiron, cantukan rompi dilengkapi dengan sabuk, epek timang, sampur dan blangkon.

  1. Gadung Mlati
Dirias cantik, menggunakan jarik wiron dan kemben serta sanggul konde.

  1. Pemesik
Menggunakan celana komprang hitam, baju hitam lengan panjang dan iket.

  1. Waranggana
Dirias cantik, menggunakan jarik wiron dan kebaya serta sanggul konde.
  1. Tari Kelana Topeng
Tari Kelana Topeng sebuah tarian yang menggambarkan seorang raja dalam cerita panji sedang jatuh cinta pada seorang putri dari kerajaan Kediri. Tari ini ditarikan oleh seorang penari dan pada susunan kostumnya menggunakan topeng.

  1. Tari Prawiraguna
Tari ini bertemakan heroic, menggambarkan seorang prajurit yang sedang berlatih perang dengan membawa senjata tameng dan pedang atau tongkat pendek.

  1. Tari Minak Jingga Dayun
Tarian ini diangkat dari epos cerita Damarwulan pada waktu kerajaan Majapahit diperintah oleh Ratu Kencana Wungu. Ketika itu Minak Jingga menjadi Adipati Blambangan dan merupakan seorang Adipati yang sakti. Dia begitu senang hatinya berada di bawah kekuasaan seorang raja wanita dan bahkan dia ingin mempersunting sebagai istri. Di saat-saat dirundung cinta kepada Ratu Ayu Kencana Wungu selalu diladeni oleh abdi setianya yang bernama Dayun.

  1. Tari Jaka Tarub Nawang Wulan
Tarian ini menggambarkan seorang jejaka yang bernama Jaka Tarub sedang memadu kasih dengan seorang bidadari yang bernama Nawang Wulan. Jaka Tarub yang sedang berburu dengan sumpitnya tiba-tiba sampai pada telaga yang sedang digunakan untuk mandi para bidadari. Dia berhasil mencari salah satu pakaian mereka, ternyata pakaian milik Nawang Wulan. Jaka Tarub berhasil membujuk Nawang Wulan untuk dijadikan istrinya dan kemudian ddibawanya serta ke desa Tarub.

  1. Tari Wireng Bandabaya
Wireng Bandabaya merupakan tarian yang menggambarkan dua orang prajurit yang sedang berlatih perang. Dalam latihan tersebut mereka membawa tameng dan senjata. Dalam tarian ini senjatanya berupa tongkat pendek. Kalau menggunakan senjata Bindi biasanya dinamakan Bandayuda sedang senjata tombak biasa disebut Prawira Watang. Biasanya Wireng ini ditarikan oleh empat orang penari dalam bentuk berpasangan.

  1. Tari Karna Tinandang
Tari ini menggambarkan perang tanding antara Arjuna melawan Prabu Karna. Kedua tokoh tersebut adalah dua orang Senapati besar dalam peperangan antara Pandawa melawan Kurawa yang disebut Baratayudha. Prabu Karna adalah Senapati perang dari pihak Kurawa sedang Arjuna adalah Senapati dari pihak Pandawa. Dalam tarian ini digunakan senjata debeng (semacam tameng) serta keris.

  1. Tari Srikandi Bisma
Tari ini merupakan petikan dari Baratayudha, merupakan peperangan antara Senapati Puri dari pihak Pandawa yang bersama Srikandi melawan Senapati dari pihak Kurawa yang bernama Resi Bisma.

  1. Tari Bambagan Cakil
Tarian ini menggambarkan peperangan antara lambang kebenaran dalam bentuk Bambangan melawan lambang kejahatan yang berbentuk raksasa cakil. Tokoh Bambangan ini dapat digambarkan dengan Arjuna, Abimanyu dan sebagainya. Kadangkala dalam tarian ini setelah raksasa cakil dapat dikalahkan disusul dengan perang melawan raksasa yang membela kawannya yang telah mati tadi.

  1. Tari Retna Pramudya
Tarian ini menggambarkan dua orang prajurit putri yang sedang berlatih perang. Senjata yang dipergunakan adalah jemparing atau periah.

  1. Tari Tayub
Tari Tayub merupakan tarian yang berkembang dikalangan masyarakat, dahuluy merupakan tarian untuk menghibur masyarakat yang telah menyelesaikan tugasnya dengan hasil gemilang. Dalam tari ini penari membawa selendang untuk pada suatu saat diserahkan kepada para penonton untuk diajak menari bersama-sama.

  1. Tari Bondan
Tari Bondan menggambarkan seorang gadis yang sedang merawat bayi dengan penuh kasih sayang. Pada tari ini digunakan pula sebuah kendi yang pada saat-saat tertentu penari naik diatasnya sambil menari, dan pada akhir tarinya kendi tersebut dipecah diatas pentas untuk menunjukkan bahwa kendi tersebut tidak berisi apa-apa di dalamnya.

  1. Tari Gambyong
Tari ini menggambarkan kegairahan seorang remaja putri dalam merawat dirinya. Meskipun tarian ini termasuk bentuk tarian tunggal tetapi kadangkala dapat ditarikan oleh beberapa petami dalam bentuk kelompok dengan permainan komposisi ruang.
Penari Gambyong pada mulany mengisi dending yang dibunyikan dengan gerak-gerak tari yang dimilikinya. Hal ini dapat menimbulkan saling menguji ketrampilan antara penari dan pengendangnya. Iringan yang digunakan adalah gending Ageng seperti misalnya gending Gambir Sawit Pancerana dan sebagainya.

  1. Tari Gambir Anom
Tari ini menggambarkan seorang raja yang sedang jatuh cinta pada seorang putri kerajaan Dwarawati yang bernama Dewi Tih Sari, Prabu Gambir Anom sebenarnya adalah salah seorang putra dari Arjuna yang bernama Irawan. Biasanya tari ini diiringi susunan iringan yang terdiri dari Lancaran Rena-rena, Ketawang Kinanti Sandung dan Srepengan.

  1. Tari Gatotkaca Gandrung
Tarian ini menggambarkan tingkah laku Gatotkaca tatkala berangan-angan ingin mempersunting putri itu menjadi istrinya. Kadangkala untuk lebih memberi hidup pada tarian ini ditunjukkan pula tokoh Pregiwa sebagai bayangan atau ilusi.

  1. Tari Jurit Sarupaten
Jurit Sarupaten adalah sebuah tarian yang memadukan gerak pahlawan Untung Suropati dalam melawan penjajah. Dipadu dengan musik gending Red yang tidak ada pada tari lain, tari ini semakin indah tatkala prajurit memainkannya naik kuda yang melambangkan kegagahan.
Para pengunjung baik wisatawan asing maupun dalam negeri, akan diiringi tarian ini ketika menelusuri tembok dan sanggar Tosan Aji.

  1. Tari Merak
Tarian merak ini merupakan tarian yang melambangkan gerakan-gerakan burung Merak. Merupakan tarian Solo, biasanya dilakukan oleh beberapa orang penari. Penari umumnya memakai selendang yang diikat dipinggang yang jika dibentangkan akan menyerupai sayap burung. Penari juga memakai mahkota berbentuk kepala burung Merak. Gerakan tangan yang gemulai dan iringan gamelan, merupakan salah satu karakteristik tarian ini.

  1. Tari Kukilo
Tarian ini menggambarkan beterbangan dan berkejar-kejaran di udara. Baik irama maupun ragam gerak yang dinamis dan lincah disusun untuk menggambarkan kegesitan sekawanan burung dalam meluncur, hinggap dan kembali terbang.

  1. Tari Jaranan
Tarian ini menggambarkan tingkah laku jaran. Tari Jaranan ini menceritakan tentang kemenangan warga desa dalam mengusir marabahaya atau keangkaramurkaan yang menyerang desanya. Biasnya para penari membawa jaranan dan pecut.

  1. Tari Karonsih dan Tari Lambangsih
Tarian Karonsih dan Lambangsih menggambarkan orang yang sedang bermadu kasih (antara laki-laki dan perempuan). Tarian iuni biasanya ditarikan pada acara resepsi pernikahan sebagai lambang cinta kasih kedua mempelai, bagaikan percintaannya antara Dyah Sekartaji dengan Panji Asmara Bangun.

  1. Tari Wira Pertiwi
Tari Wira Pertiwi ini sama halnya dengan tarian Retna Pramudya yang menggambarkan prajurit wanita yang sedang berlatih perang. Dalam tarian ini gerakannya dinamis yang menggambarkan prajurit wanita itu tegas, tangkas dan tangguh.

  1. Tari Dewi Sri
Tarian Dewi Sri ini berasal dari Karanganyar Solo, yang melambangkan kesuburan saat panen dan diiringi musik lesung.

  1. Tari Golek Manis
Tarian ini sama atau mirip dengan tari Gambyong yaitu mengisahkan kegairahan seorang putri yang menginjak remaja dengan menata diri atau berdandan. Tari Golek Manis ini tercipta dari wayang golek, wayang kurcil dan wayang yang lain yang kemudian diubah ke dalam bentuk tarian.

  1. Tari Eko Prawira dan Tari Bondhoyudho
Tari Eko Prawira dan Tari Bondhoyudho ini menggambarkan atau mengisahkan prajurit yang sedang perang. Biasanya para penarinya membawa tongkat.

  1. Tari Manipuri
Tari Manipuri menggambarkan seorang gadis yang harus mandi kemudian melakukan tata diri atau berdandan.

  1. Tari Srikandi Mustaka Weni
Tari Srikandi Mustaka Weni menggambarkan seorang prajurit wanita yang sedang perang.

  1. Tari Jatilan
Di daerah klaten dikenal adanya tari Jatilan. Jatilan adalah tari tradisional yang menggambarkan tentang keprajuritan, pada waktu perang perangan yang dilakukan beberapa orang dengan cara naik kuda kepang. Dalam tari Jatilan ini diperagakan dengan pakai kuda kepang atau kuda lumping yang dikendalikan oleh seorang pawang yang diawasi oleh Ki pentul dan Ki tembem.
Tarian ini biasanya diiringi dengan gamelan yang berupa : kendang, bende dan kecer. Dalam tari Jatilan ini dimasukan unsur magis yang melambangkan kekebalan dari pihak pemain mengenakan topeng atau kacamata hitam. Tari Jatilan di Kabupaten Klaten yang terkenal adalah Tari Jatilan dari Desa Bugisan Kecamatan Prambanan. Tari Jatilan ini dipentaskan tiap hari jumat di panggung terbuka di Desa Bugisan Kecamatan Prambanan untuk para turis asing maupun domestik.

  1. Tari Topeng
Tari topeng adalah yang biasa dimainkan di daerah klaten. Kesenian tradisional yang para pemainnya mengenakan topeng sesuai dengan peran atau dapukaannya. Timbulnya kesenian ini dari Kediri Jawa Timur, tari topeng dilaksanakan dengan percakapan atau dialog dan diiringi gamelan jawa selendro lengkap. Adapun tema ceritanya adalah cerita Panji.
Di Kabupaten Klaten untuk pertama kali dilaksanakan oleh para dalang wayang kulit dan perkumpulan tari topeng yang terkenal bernama Magodo di Desa Jogosetran Kecamatan Kalikotes.
Keistimewaan Tari Topeng pada saat itu yaitu tidak setiap orang bisa melakukannya kecuali para dalang, kesenian topeng ini dalam dialog ada yang melepaskan topeng dari gigitan, akan tetapi tetap dipegang untuk menutupi mukanya. Tarian ini khusus dipentaskan pada siang hari dan tidak dilaksanakan pada malam hari. Namun demikian pada saat sekarang tari topeng tersebut sudah dpat dilaksanakan oleh para remaja.
(diposting oleh cia pbsj 07' unnes)
(disusun oleh kelompok penelitian folklor setengah Lisan Chafid dkk) Dosen Bapa Sukadaryanto, PBSJ-BSJ-FBS-UNNES Universitas Negeri Semarang).

Share:

TEATER RAKYAT JAWA



Bentuk foklor teater atau drama rakyat yang ada di daerah sekitar eks karisidenan Surakarta diantaranya adalah wayang, ketoprak, reog dankesenian yang lainnya. Wayang sebagai hasil karya seni nenek moyang telah mengalami perubahan baik dari segi seni pertunjukan maupun kreasi terhadap bentuk para tokoh pewayangan. Wayang yang ada di karisidenan Surakarta diantaranya adalah:

1.Wayang Suket
Wayang suket merupakan bentuk tiruan dari berbagai wayang kulit yang terbuat dari rumput atau suket. Wayang suket biasanya dibuat sebagai alat permainan atau penyampaian cerita perwayangan pada anak-anak di desa-desa Jawa. Sebenarnya wayang Suket merupakan dolanan anak-anak yang ada di desa. Ketika kerbau, sapi atau kambing sibuk makan rumput, bocah angon (anak gembala) mencoba menirukan para dalang yang memainkan wayang. Jadilah, rumput-rumput di sekitarnya dimanfaatkan untuk dijadikan model wayang, layaknya seorang dalang.
Wayang ini dinamakan wayang suket karena wayang yang dimainkan terbuat dari rumput atau suket. Di sini rumput yang biasa digunakan untuk memebuat wayang suket ini adalah rumput teki, rumput gajah atau mendong, alang-alang yang biasa dianyam jadi tikar.

2.Wayang Madya
Wayang madya merupakan wayang kulit yang diciptakan oleh Mangkunegara IV sebagai penyambung cerita wayang purwa dan wayang gedog. Cerita wayang madya merupakan peralihan cerita wayang purwa kecerita panji. Salah satu cerita wayang madya yang terkenal adalah cerita angling dharma. Selain itu wayang madya juga menceritakan sejak wafatnya Prabu Yudayana sampai Prabu Jayalengkara naik tahta.

3.Wayang Purwa
Wayang Kulit Purwa merupakan jenis wayang yang paling populer di masyarakat sampai saat ini. Wayang Kulit Purwa mengambil cerita dari kisah Mahabarata dan Ramayana. Peraga wayang yang dimainkan oleh seorang dalang terbuat dari lembaran kulit kerbau (atau sapi) yang dipahat menurut bentuk tokoh wayang dan kemudian disungging dengan warna warni yang mencerminkan perlambang karakter dari sang tokoh.. agar lembaran wayang itu tidak lepas, maka digunakan kerangka penguat yang membuatnya menjadi kaku. Kerangka itu disebut ”cempurit” yang terbuat dari tanduk kerbau atau kulit penyu. Pagelaran wayang kulit purwa diiringi dengan seperangkat gamelan sedangkan penyanyi wanitanya disebut pesinden yang menyanyikan gending-gending tertentu disebut pesinden atau warangga.

4.Wayang Gedog
Wayang Gedog atau Wayang Panji adalah wayang yang memakai cerita dari serat Panji. Wayang ini mungkin telah ada sejak zaman Majapahit. Bentuk wayangnya hampir sama dengan wayang purwa. Tokoh-tokoh kesatria selalu memakai tekes dan rapekan. Tokoh-tokoh rajanya memakai garuda mungkur dan gelung keling. Dalam cerita Panji tidak ada tokoh raksasa dan kera. Sebagai gantinya, terdapat tokoh Prabu Klana dari Makassar yang memiliki tentara orang-orang Bugis. Namun, tidak selamanya tokoh klana berasal dari Makassar, terdapat pula tokoh-tokoh dari Bantarangin (Ponorogo), seperti Klana Siwandana, kemudian dari Ternate seperti prabu Geniyara dan Daeng Purbayunus, dari Siam seperti Prabu Maesadura, dan dari negara Bali.
Dalam pementasannya, wayang gedog memakai gamelan berlaras pelog dan memakai punakawan Bancak dan Doyok untuk tokoh Panji tua , Ronggotono dan Ronggotani untuk Klana, dan Sebul-Palet untuk Panji muda. Seringkali dalam wayang gedog muncul figur wayang yang aneh, seperti gunungan sekaten, siter (kecapi), payung yang terkembang, perahu, dan lain-lain. wayang ini dinamakan wayang gedog karena kebanyakan tokoh dalam wayang ini memakai kuda sebagai kendaraannya.

5.Wayang Krucil
Wayang krucil tak jauh beda dengan wayang kulit, hanya bahan bakunya yang berbeda. Wayang kulit terbuat dari kulit binatang, sedangkan wayang krucil dari kayu. Namun sebenarnya wayang krucil dengan wayang kulit mempunyai banyak perbedaan, jika wayang kulit cerita yang diambil ramayana atau kisah mahabarata, namun untuk wayang krucil berisikan sejarah bangsa dan penyebaran agama Islam di Pulau Jawa. Pementasan wayang krucil sendiri dimulai dengan Tari Remong yang diiringi dengan tembang-tembang Jawa. Selesai Tari Remong giliran sang dalang untuk mengelar pentas. Sebelum memainkan wayang-wayang krucil terlebih dahulu sang dalang memainkan dua buah wayang golek yang bertindak sebagai waranggono dan sindennya.

6.Wayang Klitik
Wayang Klitik adalah wayang yang terbuat dari kayu. Berbeda dengan wayang golek yang mirip dengan boneka, wayang klitik berbentuk pipih seperti wayang kulit. Cerita wayang klitik juga berbeda dengan wayang kulit. Di mana cerita wayang kulit diambil dari wiracarita Ramayana dan Mahabharata, sedangkan cerita wayang klitik diambil dari siklus cerita Panji dan Damarwulan. Dalam adegan ini Damarwulan dan Anjasmara berhadapan dengan Raden Layang Seto dan Layang Kumitir. Ciri khas dari wayang ini adalah dalang kalau memerannkan adegan perang dengan tarikan,sulukan dengan tembang mocopat. Adapun dialog perakapan seprti wayang purwa.Timbulnya kesenian ini sejak kerajaan Singosari,

7.Wayang Wong
Wayang wong di Surakarta lahir pada jaman pemerintahan Mangkunegara I ( Pangeran Sambernyawa). Wayang wong dikalangan istana dan bermunculanlah perkumpulan-perkumpulan wayang orang yang mengadakan pertunjukan di pasar-pasar malam atau taman-taman hiburan lainnya. Di lingkungan istana wayang orang ini digelarkan di pendapa sedangkan di luar istana digelarkan di panggung prosencium dan bahkan telah pula mempergunakan sarana-sarana pentas yang lengkap pula. dialog yang digunakan adalah dialaog bentuk prosa dengan gaya yang mirip pecakapan sehari-hari.
Pada dasarnya, cerita atau peran yang ditampilkan dalam pertunjukan wayang orang tidak berbeda dengan wayang kulit. Biasanya lakon yang dibawakan adalah lakon dalam cerita epik seperti Mahabrata dan Ramayana. Bedanya jika dalam wayang kulit peran itu ditampilkan dalam sosok wayang, maka dalam wayang orang lakon atau peran semacam itu dibawakan oleh orang atau wong dalam bahasa jawa. Sedangkan tugas dalang wayang wong tidak jauh berbeda dengan dalang wayang kulit. Namun tugas dayang wong lebih ringan karena para pelakon melakukan percakapan sendiri. Dalang wayang wong hanya menyampaikan sedikit narasi baik ketika membuka pertunjukan, di tengah pertunjukan atau di akhir pertunjukan.
Wayang wong memiliki gerakan-gerakan tertentu yang harus dipatuhi oleh para penarinya. Untuk para penari laki-laki, beberapa gerakannya adalah alus, gagah, kambeng, bapang, kalang kinantang, kasar, gecul, kambeng dengklik, dan kalang kinantang dengklik. Sedangkan gerakan para penari perempuan sering disebut nggruda atau ngenceng encot. Ada 9 gerakan dasar atau joged pokok yang ditampilkan para penari wanita serta 12 joged gubahan atau gerakan tambahan serta joged wirogo yang memperindah tarian yang ditampilkan. Wayang wong ini diciptakan setelah wayang kulit oleh Raden Panji Asmarabangun, putra Lembu Amiluhur yaitu raja dari kerajaan Jenggala.

8.Teater Nini Towok
Teater ini diperagakan oleh dua orang pemain. Teater ini menggambarkan gerak-gerik para pemuda-pemuda pedesaan yang sedang bermain-main dengan sebuah boneka yang dibuat dari siwur (alat pengambil air yang terbuat dari tempurung kelapa). Menggambarkan gerakan-gerakan tadi karena tempurung tadi kemasukan roh halus. Dan sekarang ini yang sering disebut dengan jailangkung.

9.Wayang Kulit
Sesuai dengan namanya, wayang kulit terbuat dari kulit binatang (kerbau, lembu atau kambing). Wayang kulit dipakai untuk memperagakan lakon-lakon dari Babad Purwa yaitu Mahabarata dan Ramayana, oleh karena itu disebut juga Wayang Purwa. Sampai sekarang pertunjukan wayang kulit disamping merupakan sarana hiburan juga merupakan salah satu bagian dari upacara-upacara adat seperti: bersih desa, ngruwat dan lain-lain. Untuk mementaskan pertunjukan wayang kulit secara lengkap dibutuhkan kurang lebih sebanyak 18 orang pendukung. Satu orang sebagai dalang, 2 orang sebagai waranggana, dan 15 orang sebagai penabuh gamelan merangkap wiraswara. Rata-rata pertunjukan dalam satu malam adalah 7 sampai 8 jam, mulai dari jam 21.00 sampai jam 05.00 pagi. Bila dilakukan pada siang hari pertunjukan biasanya dimulai dari jam 09.00 sampai dengan jam 16.00. Tempat pertunjukan wayang ditata dengan menggunakan konsep pentas yang bersifat abstrak. Arena pentas terdiri dari layar berupa kain putih dan sebagai sarana tehnis di bawahnya ditaruh batang pisang untuk menancapkan wayang. Sebagai pedoman dalam menyajikan pertunjukan wayang kulit biasanya seorang dalang akan menggunakan pakem pedalangan berupa buku pedalangan.

10.Ketoprak
Ketoprak adalah kesenian rakyat yang berbentuk sandiwara atau drama, ketoprak ini timbulnya pada tahun kurang lebih 1922 pada masa Mangkunegaran. Sebagai ilustrasi diiringi Gamelan yang berupa lesung,alu,kendang dan seruling, karena cerita atau pantun-pantunnya merupakan sindirian kepada pemerintah atau kerajaan maka kesenian ketoprak ini lalu dilarang. Namun karena kesenian rakyat akhirnya tetap berkembang di daerah pedesaan atau pesisiran.Setelah sampai di Yogyakarta ketoprak ini disempurnakan dengan iringan gamelan jawa lengkap dan tema ceritanya mengambil babad sejarah, cerita rakyat atau kerajaan sendiri. Ketoprak ini dilakukan oleh beberapa orang menurut keperluan ceritanya. Adapun ciri khas dari ketoprak ini dilakukan dengan dialog bahasa jawa.

11.Wayang Sadat
Wayang sadat adalah suatu bentuk kesenian rakyat yang berupa wayang kulit, namun cerita wayang sadat ini bertemakan cerita cerita sejarah Islam dan ceritanya diambil dari cerita akhir kerajaan Majapahit sampai awal kerajaan Mataram.
Wayang sadat ini dapat dipentaskan siang hari amaupun malam hari, kesenian ini dimainkan oleh seorang dalang dengan diiringi gamelan lengkap slendor dan pelog. Keistimewaan:
Teknik pakeliran bersifat kontemporer menurut jalan ceritanya
Jajar pertama tidak harus atau mesti kraton
Untuk kayon atau gunungan sebelah kanan gunungan didampingi pohon beringin dan gunungan sebelah kirinya didampingi pohon kelapa
Warna kelir kuning, bingkai hijau dengan ukuran kurang lebih 3,5 meter lebar 2 meter dan lama pementasan menurut kebutuhan, dialog percakapan dengan bahasa jawa. Timbulnya kesenian ini sejak tahun 1970.

12.Wayang Babad
Wayang babad adalah suatu bentuk kesenian rakyat berupa wayang kulit yang ceritanya diambil dari cerita babad atau ketoprak. Wayang babad ini bisa dipentaskan siang hari maupun malam hari dengan diiringin gamelan lengkap slendro dan pelog. Kesenian ini dimainkan oleh seorang dalang, adapun cerita wayang babad ini bertemakan cerita-cerita yang mirip dengan ketoprak. Keistimewaannnya adalah bentuk dari wayang tidak seperti wayang purwa, melainkan seperti bentuk ketoprak. Lama pementasan menurut kebutuhannya, adapun timbulnya wayang babad ini setelah kemerdekaan dalam rangka penerangan kepada masyarakat sampai sekarangh klesebian ini masih terpelihara dengan baik di desa ceporan kecamatan gantiwarno.

(diposting oleh cia pbsj 07' unnes)
(disusun oleh kelompok penelitian folklor setengah lisan rombel 4 angkatan 2oo8 (Ita Mustikaningrum dkk) Dosen Bapa Sukadaryanto, PBSJ-BSJ-FBS-UNNES Universitas Negeri Semarang)
Share:

Main Menu