Kisah kematian Kresna di gambarkan permulaannya di Santiparwa, bagian ke 12 dan Mosala parwa bagian 16 MahaBharata:
Santiparwa
Usai perang Bharatayuda, ketika
dilangsungkan upacara pembakaran mayat para kurawa yang telah tewas,
semua anak menantu Gandari (Ibu para Kurawa) telah menjadi janda dan
menangis sedih di hadapan mayat-mayat suami yang telah tewas. Gandari
juga ada di tempat itu. Para Pandawa dengan ditemani oleh Kunti dan Sri
Krisna juga hadir di iringi oleh rakyat yang merasa sangat sedih karena
kehilangan sanak saudara mereka. krisna menghibur Gandari, dan berkara, ‘
Mengapa Ibunda menangis? Inilah dunia Ibupun pada suatu ketika akan
meninggalkan dunia ini. lalu mengapa menangis?’. Gandari menjawab,
‘Kalau saja anda tidak merencanakan hal ini maka semua anak-anak-ku akan
hidup, tidak terbunuh seperti ini. Krisna menjawab, ‘Perang untuk
menegakan Dharma tidak dapat dicegah. Apa yang dapat kuperbuat, aku
hanya suatu alat’. Lalu Gandari berkata, ‘Paduka ini Taraka Brahma.
Apabila paduka menghendaki, paduka bisa mengubah pikiran mereka tanpa
perlu melakukan pertempuran’.
Biarlah seluruh dunia melihat dan menarik pelajaran.
Selanjutnya Gandari mengucapkan sumpah, ‘Seperti halnya anggauta
keluargaku mengalami kehancuran dihadapan mataku sendiri demikianlah
hendaknya anggauta keluarga paduka mengalami kehancuran dihadapan mata
paduka sendiri’
Krisna tersenyum dan menjawab, ‘Semoga demikian’. Krisna menerima
sumpah itu. Ia ingin menunjukkan bahwa kekuatan moral itu mempunyai
nilai dalam kehidupan dan kekuatan itu harus diakui adanya
Mosalaparwa
Mosalaparwa atau Mausalaparwa adalah buku keenam belas dari seri
kitab MahaBharata. Adapun ceritanya mengisahkan musnahnya para Wresni,
Andhaka dan Yadawa, sebuah kaum di Mathura-Dwaraka (Dwarawati) tempat
Sang Kresna memerintah. Kisah ini juga menceritakan wafatnya Raja Kresna
dan saudaranya, Raja Baladewa.
Diceritakan bahwa pada saat Yudistira naik tahta, dunia telah
memasuki zaman Kali Yuga atau zaman kegelapan. Beliau telah melihat
tanda-tanda alam yang mengerikan, yang seolah-olah memberitahu bahwa
sesuatu yang mengenaskan akan terjadi. Hal yang sama dirasakan oleh
Kresna. Ia merasa bahwa kejayaan bangsanya akan berakhir, sebab ia
melihat bahwa banyak pemuda Wresni, Yadawa, dan Andhaka yang telah
menjadi sombong, takabur, dan senang minum minuman keras sampai mabuk.
Pada suatu hari, Narada beserta beberapa resi berkunjung ke Dwaraka.
Beberapa pemuda yang jahil merencanakan sesuatu untuk mempermainkan para
resi. Mereka mendandani Samba (putera Kresna dan Jembawati) dengan
busana wanita dan diarak keliling kota lalu dihadapkan kepada para resi
yang mengunjungi Dwaraka. Kemudian salah satu dari mereka berkata,
"Orang ini adalah permaisuri Sang Babhru yang terkenal dengan
kesaktiannya. Kalian adalah para resi yang pintar dan memiliki
pengetahuan tinggi. Dapatkah kalian mengetahui, apa yang akan
dilahirkannya? Bayi laki-laki atau perempuan?". Para resi yang tahu
sedang dipermainkan menjadi marah dan berkata, "Orang ini adalah Sang
Samba, keturunan Basudewa. Ia tidak akan melahirkan bayi laki-laki
ataupun perempuan, melainkan senjata mosala yang akan memusnahkan kamu
semua!" (mosala = gada)
Kutukan tersebut menjadi kenyataan. Sang Samba melahirkan gada besi
dari dalam perutnya. Atas perintah Raja Ugrasena, senjata itu kemudian
dihancurkan sampai menjadi serbuk. Beberapa bagian dari senjata tersebut
sulit dihancurkan sehingga menyisakan sepotong besi kecil. Setelah
senjata tersebut dihancurkan, serbuk dan serpihannya dibuang ke laut.
Lalu Sang Baladewa dan Sang Kresna melarang orang minum arak. Legenda
mengatakan bahwa serbuk-serbuk tersebut kembali ke pantai, dan dari
serbuk tersebut tumbuhlah tanaman seperti rumput namun memiliki daun
yang amat tajam bagaikan pedang. Potongan kecil yang sukar dihancurkan
akhirnya ditelan oleh seekor ikan. Ikan tersebut ditangkap oleh nelayan
lalu dijual kepada seorang pemburu. Pemburu yang membeli ikan itu
menemukan potongan besi kecil dari dalam perut ikan yang dibelinya.
Potongan besi itu lalu ditempa menjadi anak panah.
Setelah senjata yang dilahirkan oleh Sang Samba dihancurkan,
datanglah Batara Kala, Dewa Maut, dan ini adalah pertanda buruk. Atas
saran Kresna, para Wresni, Yadawa dan Andhaka melakukan perjalanan suci
menuju Prabhastirtha, dan mereka melangsungkan upacara di pinggir
pantai. Di pantai, para Wresni, Andhaka dan Yadawa tidak bisa
menghilangkan kebiasaan buruk mereka, yaitu minum arak sampai mabuk.
Dalam keadaan mabuk, Satyaki berkata, "Kertawarma, kesatria macam apa
kau ini? Dalam Bharatayuddha dahulu, engkau telah membunuh para putera
Dropadi, termasuk Drestadyumna dan Srikandi dalam keadaan tidur.
Perbuatan macam apa yang kau lakukan?". Ucapan tersebut disambut oleh
tepuk tangan dari Pradyumna, yang artinya bahwa ia mendukung pendapat
Satyaki. Kertawarma marah dan berkata, "Kau juga kejam, membunuh
Burisrawa yang tak bersenjata, yang sedang meninggalkan medan laga untuk
memulihkan tenaga".
Setelah saling melontarkan ejekan, mereka bertengkar ramai. Satyaki
mengambil pedang lalu memenggal kepala Kertawarma di hadapan Kresna.
Melihat hal itu, para Wresni marah lalu menyerang Satyaki. Putera
Rukmini menjadi garang, kemudian membantu Satyaki. Setelah beberapa
lama, kedua kesatria perkasa tersebut tewas di hadapan Kresna. Kemudian
setiap orang berkelahi satu sama lain, dengan menggunakan apapun sebagai
senjata, termasuk tanaman eruka yang tumbuh di sekitar tempat tersebut.
Ketika dicabut, daun tanaman tersebut berubah menjadi senjata setajam
pedang. Dengan memakai senjata tersebut, para keturunan Wresni, Andhaka,
dan Yadu saling membunuh sesama. Tidak peduli kawan atau lawan, bahkan
ayah dan anak saling bunuh. Anehnya, tak seorang pun yang berniat untuk
meninggalkan tempat itu. Dengan mata kepalanya sendiri, Kresna
memperhatikan dan menyaksikan rakyatnya digerakkan oleh takdir
kehancuran mereka. Dengan menahan kepedihan, ia mencabut segenggam
rumput eraka dan mengubahnya menjadi senjata yang dapat meledak kapan
saja. Setelah putera dan kerabat-kerabatnya tewas, ia melemparkan
senjata di tangannya ke arah para Wresni dan Yadawa yang sedang
berkelahi. Senjata tersebut meledak dan mengakhiri riwayat mereka semua.
Akhirnya para keturunan Wresni, Andhaka dan Yadu tewas semua di
Prabhasatirtha, dan disaksikan oleh Kresna. Hanya para wanita dan
beberapa kesatria yang masih hidup, seperti misalnya Babhru dan Bajra.
Kresna mampu menyingkirkan kutukan brahmana yang mengakibatkan bangsanya
hancur, namun ia tidak mau mengubah kutukan Gandari, Ia mengetahui
bahwa tidak ada yang mampu mengalahkan bangsa Wresni, Yadawa dan Andhaka
kecuali diri mereka sendiri. Bangsa itu mulai senang bermabuk-mabukan
sehingga berpotensi besar mengacaukan Bharatavarsa yang sudah berdiri
kokoh. Setelah menyaksikan kehancuran bangsa Wresni, Yadawa, dan Andhaka
dengan mata kepalanya sendiri. Kemudian Balarama pergi ke hutan,
sedangkan Kresna mengirim utusan ke kota para Kuru, untuk menempatkan
wanita dan kota Dwaraka di bawah perlindungan Pandawa; Babhru disuruh
untuk melindungi para wanita yang masih hidup sedangkan Daruka disuruh
untuk memberi tahu para keturunan Kuru bahwa Wangsa Wresni, Andhaka, dan
Yadawa telah hancur. ke hadapan Raja Yudistira di Hastinapura.
Sri Krisna kemudian pergi ke hutan tempat dimana Balarama
menunggunya. Kresna menemukan kakaknya duduk di bawah pohon besar di
tepi hutan; ia duduk seperti seorang yogi. Kemudian ia melihat seekor
ular besar keluar dari mulut kakaknya, yaitu naga berkepala seribu
bernama Ananta, dan melayang menuju lautan yang di mana naga dan para
Dewa datang berkumpul untuk bertemu dengannya.
Dalam Bhagawatapurana dikisahkan setelah Baladewa ambil bagian dalam
pertempuran yang menyebabkan kehancuran Dinasti Yadu Setelah itu Ia
duduk bermeditasi di bawah pohon dan meninggalkan dunia dengan
mengeluarkan ular putih besar dari mulutnya, kemudian diangkut oleh ular
tersebut, yaitu Sesa.
Setelah menyaksikan kepergian kakaknya, Kresna kemudian duduk
disebuah batu dibawah pohon di Prabhasa Tirta, mengenang segala
peristiwa Ia tahu bahwa sudah saatnya ia ‘kembali’. Kemudian ia memulai
menutup panca indrianya melakukan yoga dengan sikap Lalita Mudra. Bagian
dibawah kakinya berwarna kemerah-merahan.
Saat itu ada seorang Vyadha (pemburu) bernama Jara, setelah seharian
tidak mendapat buruan, melihat sesuatu berwarna kerah-merahan, Ia pikir,
‘Ah, akhirnya kutemukan juga buruanku’, Ia memanahnya dengan panah yang
berasal dari sepotong besi yang berasal dari senjata mosala yang telah
dihancurkan kemudian panah itu diberi racun. Ia memanah dan panah itu
tepat mengenai benda kemerah-merahan itu. Jara, sang Pemburu segera
berlari ketempat itu untuk menangkap mangsanya dan dilihatnya Shri
Krisna yang berjubah kuning sedang melakukan Yoga namun dengan tubuh
kebiru-biruan akibat menyebarnya racun panah itu. Jara kemudian meminta
ma'af atas kesalahannya itu. Sri Kresna tersenyum dan berkata,
‘Kesalahan-kesalahan sedemikian ini jamak dilakukan manusia.
Seandainya aku adalah engkau tentu akupun melakukan kesalahan itu. Kamu
tidak dengan sengaja melakukannya. Jangan di pikir. Kamu tidak tahu
sebelumnya aku berada di tempat ini. Kamu tidak dapat dihukum secara
hukum maupun moral, Aku mengampunimu. Aku sudah menyelesaikan hidupku’.
Ketika Daruka tiba di Hastinapura, ia segera memberitahu para
keturunan Kuru bahwa keturunan Yadu di Kerajaan Dwaraka telah binasa
karena perang saudara. Beberapa di antaranya masih bertahan hidup.
Setelah mendengar kabar sedih tersebut, Arjuna mohon pamit demi
menjenguk Basudewa (Sri Krisna). Dengan diantar oleh Daruka, ia pergi
menuju Dwaraka.
Setibanya di Dwaraka, Arjuna mengamati bahwa kota tersebut telah
sepi. Ia juga berjumpa dengan Orang-orang tua, anak-anak, janda-janda
yang ditinggalkan mati oleh para suaminya di dalam peperangan, Arjuna
bersama para ksatria yang tersisa kemudian membawa pergi para Brahmana,
Ksatria, waisya, sudra, wanita dan anak-anak Wangsa Wresni, untuk
menyebarkannya di sekitar Kurukshetra.
Kemudian Arjuna bertemu dengan Basudewa yang sedang lunglai. Setelah
menceritakan beberapa pesan kepada Arjuna, Basudewa mangkat.
Sesuai dengan amanat yang diberikan kepadanya, Arjuna mengajak para
wanita dan beberapa kesatria untuk mengungsi ke Kurukshetra. Sebab
menurut pesan terakhir dari Sri Kresna, kota Dwaraka akan disapu oleh
gelombang samudra, tujuh hari setelah ia wafat.
Dalam perjalanan menuju Kurukshetra, rombongan Arjuna dihadang oleh
sekawanan perampok. Anehnya, kekuatan Arjuna seoleh-oleh lenyap ketika
berhadapan dengan perampok tersebut. Ia sadar bahwa takdir kemusnahan
sedang bergerak. Akhirnya beberapa orang berhasil diselamatkan namun
banyak harta dan wanita yang hilang. Di Kurukshetra, para Yadawa
dipimpin oleh Bajra.
Setelah menyesali peristiwa yang menimpa dirinya, Arjuna menemui
kakeknya, yaitu Resi Byasa. Atas nasihat beliau, para Pandawa serta
Dropadi memutuskan untuk melakukan perjelanan suci untuk meninggalkan
kehidupan duniawi.
Yang menarik dari catatan kematian Krisna adalah:
- Bangsa Yadawa terkenal tidak terkalahkan sehingga menjadi
sombong, arogan kasar dan gemar mabuk2an di menjelang akhir
kehidupan sehingga cukup aneh bila ada pemburu yang tidak terusik dan
santai di sekitar tempat pertemuan bangsa Yadawa tersebut
- Disekitar hutan tersebut, saat itu justru sendang terjadi
perang dashyat yang berujung musnahnya bangsa Yadawa, maka
bagaimana mungkin ada seorang Pemburu yang begitu santainya berburu?
- Sebagai seorang pemburu rusa, tentunya ia mengerti prilaku rusa
yang sangat waspada dan gampang terkejut, jadi bagaimana mungkin
ada rusa disekitar perang besar bangsa Yadawa tersebut.
- Satu kebetulan menarik lainnya adalah arti nama Jara adalah
Usia Tua, Sehingga ada pendapat bahwa kematian Krisna di panah
Pemburu bernama Jara, merupakan sebuah metaphora? yaitu wafat
dikarenakan usia tua [125 tahun]
Dengan catatan di atas, maka terdapat dua pesan terakhir Krishna yaitu:
- Kematian Krisna adalah benar karena usia tua, sehingga
percakapan antara Krishna dan Jara merupakan tambahan dan bukan yang
sebenarnya, maka pesan terakhir dari Krisna hanyalah kepada Arjuna
untuk menyelamatkan sisa-sisa penduduk bangsa Yadawa yang tidak
mati akibat perang saudara dan tenggelamnya Drawaka
- Apabila Pemburu itu ada maka pesan terakhir krisna ada dua
yaitu menenangkan Jara dari perasaan bersalah dan kepada Arjuna untuk
menyelamatkan sisa2 penduduk Yadawa yang tidak mati akibat perang
saudara dan tenggelamnya Drawaka. (Sumber: https://www.facebook.com/note.php?note_id=448808221831638 facebook cerita wayang).