Sugeng rawuh ing "Sinau Jawa". Blog menika minangka salah satunggalipun pambudidaya nguri-uri kabudayan Jawa, tilaranipun linuhung Jawa. Nyuwun Pangapunten awit kathah kekiranganipun. Matur nuwun.

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Tuesday, 31 March 2015

Purwakanthi

Purwakanthi

Purwakanthi yaiku tetembungan kang padha swarane utawa kang padha aksarane,. Purwakanthi kaperang dadi telu yaiku purwakanthi guru swara, purwakanthi guru sastra, lan purwakanthi guru basa (lumaksita).

A. Purwakanthi guru swara yaiku tetembungan sing nunggal swara, kayata:
     Ana awan ana pangan ( aksara An )
     Bungah susah iku lumrah ( aksara Ah)

  • Adigang, adigung, adiguna
  • Ana awan, ana pangan
  • Ana bungah, ana susah iku wis lumrah
  • Becik ketitik, ala ketara
  • Ciri wanci, lela ginawa mati
  • Desa mawa cara, negara mawa tata
  • Giri lungsi, jalma tan kena ingina
  • Inggah-inggih ora kepanggih
  • Ngalah, nanging oleh
  • Sing gelem ngalah bakal luhur wekasane
  • Sing salah kudu seleh
  • Sing weweh bakal pitoleh
  • Witing tresna jalaran saka kulina
  • Yen krasa enak aja njur lali anak, lali bojo, lali tangga, lali kanca
  • Yen menang aja banjur sewenang-wenang


B. Purwakanthi guru sastra yaiku tetembungan sing nuggal sastra (aksara), kayata :
     Adigang, Adigung, Adiguna ( aksara Ad )
     Katula-tula katali ( aksara K,t )


  • Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
  • Kala kula kelas kalih, kula kilak kulo kalih kuli-kuli kula, kalo kulo keli kali kelih kulo, kalo kula kumpul-kumpul, kula kelap-kelipm kala-kala kelang-kelang.
  • Ruruh, rereh, ririh ing wewarihipun, wrih reseping para wiyarsi.
  • Sluman slumun slamet, selamun nyemplung kali plung, slulup, slelep-lelep, oleh slepi isi klobet, njubut bal klambine teles bes.
  • Taberi ngastiti lan ngati-ati, mesti bakal dadi.
  • Tarti tata-tata, ate metu turut ratan, diutus tuku tahu tempe, dhuwite kerta telungatus.
  • Tata titi tutug tatug, tanggung jawab.
  • Tindak, tanduk lan tutur kang kalantur, ramtu katula-tula aktali, bakal kacatur, katuruh, kapatuh lan dadi awon.
  • Wong jejodhohan kudu ngelingi babat, bibibit, bobot, bebet.


C. Purwakanthi guru basa yaiku tetembungan sing nunggal basa utawa tembung, kayata:
1.    Kolik priya, priyagung anjani putra. ( priya,priyagung )
2.    Witing klapa, kalapa kangmaksih mudha. ( klapa,kalapa )
Share:

Thursday, 15 January 2015

Kurikulum Mata Pelajaran Muatan Lokal Bahasa Jawa (adhedhasar Keputusan Gubernur Jateng Nomor:423.5/5/2010)

Kurikulum Mata Pelajaran Muatan Lokal Bahasa Jawa untuk Jenjang SD/SDLB/MI dan SMP/SMPLB/MTs Negeri dan Swasta Provinsi Jawa Tengah, berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Tengah, Nomor:423.5/5/2010

Sumangga ingkang ngersakaken, klik mawon link ing ngandhap punika:
http://www.pdkjateng.go.id/downloads/file_berita/MULOK/311011/SMP/smp.pdf

Share:

Saturday, 6 December 2014

Kematian Kresna

Kisah kematian Kresna di gambarkan permulaannya di Santiparwa, bagian ke 12 dan Mosala parwa bagian 16 MahaBharata:

Santiparwa
  Usai perang Bharatayuda, ketika dilangsungkan upacara pembakaran mayat para kurawa yang telah tewas, semua anak menantu Gandari (Ibu para Kurawa) telah menjadi janda dan menangis sedih di hadapan mayat-mayat suami yang telah tewas. Gandari juga ada di tempat itu. Para Pandawa dengan ditemani oleh Kunti dan Sri Krisna juga hadir di iringi oleh rakyat yang merasa sangat sedih karena kehilangan sanak saudara mereka. krisna menghibur Gandari, dan berkara, ‘ Mengapa Ibunda menangis? Inilah dunia Ibupun pada suatu ketika akan meninggalkan dunia ini. lalu mengapa menangis?’. Gandari menjawab, ‘Kalau saja anda tidak merencanakan hal ini maka semua anak-anak-ku akan hidup, tidak terbunuh seperti ini. Krisna menjawab, ‘Perang untuk menegakan Dharma tidak dapat dicegah. Apa yang dapat kuperbuat, aku hanya suatu alat’. Lalu Gandari berkata, ‘Paduka ini Taraka Brahma. Apabila paduka menghendaki, paduka bisa mengubah pikiran mereka tanpa perlu melakukan pertempuran’.

Biarlah seluruh dunia melihat dan menarik pelajaran.

Selanjutnya Gandari mengucapkan sumpah, ‘Seperti halnya anggauta keluargaku mengalami kehancuran dihadapan mataku sendiri demikianlah hendaknya anggauta keluarga paduka mengalami kehancuran dihadapan mata paduka sendiri’

Krisna tersenyum dan menjawab, ‘Semoga demikian’. Krisna menerima sumpah itu. Ia ingin menunjukkan bahwa kekuatan moral itu mempunyai nilai dalam kehidupan dan kekuatan itu harus diakui adanya


Mosalaparwa

Mosalaparwa atau Mausalaparwa adalah buku keenam belas dari seri kitab MahaBharata. Adapun ceritanya mengisahkan musnahnya para Wresni, Andhaka dan Yadawa, sebuah kaum di Mathura-Dwaraka (Dwarawati) tempat Sang Kresna memerintah. Kisah ini juga menceritakan wafatnya Raja Kresna dan saudaranya, Raja Baladewa.

Diceritakan bahwa pada saat Yudistira naik tahta, dunia telah memasuki zaman Kali Yuga atau zaman kegelapan. Beliau telah melihat tanda-tanda alam yang mengerikan, yang seolah-olah memberitahu bahwa sesuatu yang mengenaskan akan terjadi. Hal yang sama dirasakan oleh Kresna. Ia merasa bahwa kejayaan bangsanya akan berakhir, sebab ia melihat bahwa banyak pemuda Wresni, Yadawa, dan Andhaka yang telah menjadi sombong, takabur, dan senang minum minuman keras sampai mabuk.

Pada suatu hari, Narada beserta beberapa resi berkunjung ke Dwaraka. Beberapa pemuda yang jahil merencanakan sesuatu untuk mempermainkan para resi. Mereka mendandani Samba (putera Kresna dan Jembawati) dengan busana wanita dan diarak keliling kota lalu dihadapkan kepada para resi yang mengunjungi Dwaraka. Kemudian salah satu dari mereka berkata, "Orang ini adalah permaisuri Sang Babhru yang terkenal dengan kesaktiannya. Kalian adalah para resi yang pintar dan memiliki pengetahuan tinggi. Dapatkah kalian mengetahui, apa yang akan dilahirkannya? Bayi laki-laki atau perempuan?". Para resi yang tahu sedang dipermainkan menjadi marah dan berkata, "Orang ini adalah Sang Samba, keturunan Basudewa. Ia tidak akan melahirkan bayi laki-laki ataupun perempuan, melainkan senjata mosala yang akan memusnahkan kamu semua!" (mosala = gada)

Kutukan tersebut menjadi kenyataan. Sang Samba melahirkan gada besi dari dalam perutnya. Atas perintah Raja Ugrasena, senjata itu kemudian dihancurkan sampai menjadi serbuk. Beberapa bagian dari senjata tersebut sulit dihancurkan sehingga menyisakan sepotong besi kecil. Setelah senjata tersebut dihancurkan, serbuk dan serpihannya dibuang ke laut. Lalu Sang Baladewa dan Sang Kresna melarang orang minum arak. Legenda mengatakan bahwa serbuk-serbuk tersebut kembali ke pantai, dan dari serbuk tersebut tumbuhlah tanaman seperti rumput namun memiliki daun yang amat tajam bagaikan pedang. Potongan kecil yang sukar dihancurkan akhirnya ditelan oleh seekor ikan. Ikan tersebut ditangkap oleh nelayan lalu dijual kepada seorang pemburu. Pemburu yang membeli ikan itu menemukan potongan besi kecil dari dalam perut ikan yang dibelinya. Potongan besi itu lalu ditempa menjadi anak panah.

Setelah senjata yang dilahirkan oleh Sang Samba dihancurkan, datanglah Batara Kala, Dewa Maut, dan ini adalah pertanda buruk. Atas saran Kresna, para Wresni, Yadawa dan Andhaka melakukan perjalanan suci menuju Prabhastirtha, dan mereka melangsungkan upacara di pinggir pantai. Di pantai, para Wresni, Andhaka dan Yadawa tidak bisa menghilangkan kebiasaan buruk mereka, yaitu minum arak sampai mabuk. Dalam keadaan mabuk, Satyaki berkata, "Kertawarma, kesatria macam apa kau ini? Dalam Bharatayuddha dahulu, engkau telah membunuh para putera Dropadi, termasuk Drestadyumna dan Srikandi dalam keadaan tidur. Perbuatan macam apa yang kau lakukan?". Ucapan tersebut disambut oleh tepuk tangan dari Pradyumna, yang artinya bahwa ia mendukung pendapat Satyaki. Kertawarma marah dan berkata, "Kau juga kejam, membunuh Burisrawa yang tak bersenjata, yang sedang meninggalkan medan laga untuk memulihkan tenaga".

Setelah saling melontarkan ejekan, mereka bertengkar ramai. Satyaki mengambil pedang lalu memenggal kepala Kertawarma di hadapan Kresna. Melihat hal itu, para Wresni marah lalu menyerang Satyaki. Putera Rukmini menjadi garang, kemudian membantu Satyaki. Setelah beberapa lama, kedua kesatria perkasa tersebut tewas di hadapan Kresna. Kemudian setiap orang berkelahi satu sama lain, dengan menggunakan apapun sebagai senjata, termasuk tanaman eruka yang tumbuh di sekitar tempat tersebut. Ketika dicabut, daun tanaman tersebut berubah menjadi senjata setajam pedang. Dengan memakai senjata tersebut, para keturunan Wresni, Andhaka, dan Yadu saling membunuh sesama. Tidak peduli kawan atau lawan, bahkan ayah dan anak saling bunuh. Anehnya, tak seorang pun yang berniat untuk meninggalkan tempat itu. Dengan mata kepalanya sendiri, Kresna memperhatikan dan menyaksikan rakyatnya digerakkan oleh takdir kehancuran mereka. Dengan menahan kepedihan, ia mencabut segenggam rumput eraka dan mengubahnya menjadi senjata yang dapat meledak kapan saja. Setelah putera dan kerabat-kerabatnya tewas, ia melemparkan senjata di tangannya ke arah para Wresni dan Yadawa yang sedang berkelahi. Senjata tersebut meledak dan mengakhiri riwayat mereka semua.

Akhirnya para keturunan Wresni, Andhaka dan Yadu tewas semua di Prabhasatirtha, dan disaksikan oleh Kresna. Hanya para wanita dan beberapa kesatria yang masih hidup, seperti misalnya Babhru dan Bajra. Kresna mampu menyingkirkan kutukan brahmana yang mengakibatkan bangsanya hancur, namun ia tidak mau mengubah kutukan Gandari, Ia mengetahui bahwa tidak ada yang mampu mengalahkan bangsa Wresni, Yadawa dan Andhaka kecuali diri mereka sendiri. Bangsa itu mulai senang bermabuk-mabukan sehingga berpotensi besar mengacaukan Bharatavarsa yang sudah berdiri kokoh. Setelah menyaksikan kehancuran bangsa Wresni, Yadawa, dan Andhaka dengan mata kepalanya sendiri. Kemudian Balarama pergi ke hutan, sedangkan Kresna mengirim utusan ke kota para Kuru, untuk menempatkan wanita dan kota Dwaraka di bawah perlindungan Pandawa; Babhru disuruh untuk melindungi para wanita yang masih hidup sedangkan Daruka disuruh untuk memberi tahu para keturunan Kuru bahwa Wangsa Wresni, Andhaka, dan Yadawa telah hancur. ke hadapan Raja Yudistira di Hastinapura.



Sri Krisna kemudian pergi ke hutan tempat dimana Balarama menunggunya. Kresna menemukan kakaknya duduk di bawah pohon besar di tepi hutan; ia duduk seperti seorang yogi. Kemudian ia melihat seekor ular besar keluar dari mulut kakaknya, yaitu naga berkepala seribu bernama Ananta, dan melayang menuju lautan yang di mana naga dan para Dewa datang berkumpul untuk bertemu dengannya.

Dalam Bhagawatapurana dikisahkan setelah Baladewa ambil bagian dalam pertempuran yang menyebabkan kehancuran Dinasti Yadu Setelah itu Ia duduk bermeditasi di bawah pohon dan meninggalkan dunia dengan mengeluarkan ular putih besar dari mulutnya, kemudian diangkut oleh ular tersebut, yaitu Sesa.

Setelah menyaksikan kepergian kakaknya, Kresna kemudian duduk disebuah batu dibawah pohon di Prabhasa Tirta, mengenang segala peristiwa Ia tahu bahwa sudah saatnya ia ‘kembali’. Kemudian ia memulai menutup panca indrianya melakukan yoga dengan sikap Lalita Mudra. Bagian dibawah kakinya berwarna kemerah-merahan.

Saat itu ada seorang Vyadha (pemburu) bernama Jara, setelah seharian tidak mendapat buruan, melihat sesuatu berwarna kerah-merahan, Ia pikir, ‘Ah, akhirnya kutemukan juga buruanku’, Ia memanahnya dengan panah yang berasal dari sepotong besi yang berasal dari senjata mosala yang telah dihancurkan kemudian panah itu diberi racun. Ia memanah dan panah itu tepat mengenai benda kemerah-merahan itu. Jara, sang Pemburu segera berlari ketempat itu untuk menangkap mangsanya dan dilihatnya Shri Krisna yang berjubah kuning sedang melakukan Yoga namun dengan tubuh kebiru-biruan akibat menyebarnya racun panah itu. Jara kemudian meminta ma'af atas kesalahannya itu. Sri Kresna tersenyum dan berkata,

‘Kesalahan-kesalahan sedemikian ini jamak dilakukan manusia. Seandainya aku adalah engkau tentu akupun melakukan kesalahan itu. Kamu tidak dengan sengaja melakukannya. Jangan di pikir. Kamu tidak tahu sebelumnya aku berada di tempat ini. Kamu tidak dapat dihukum secara hukum maupun moral, Aku mengampunimu. Aku sudah menyelesaikan hidupku’.

Ketika Daruka tiba di Hastinapura, ia segera memberitahu para keturunan Kuru bahwa keturunan Yadu di Kerajaan Dwaraka telah binasa karena perang saudara. Beberapa di antaranya masih bertahan hidup. Setelah mendengar kabar sedih tersebut, Arjuna mohon pamit demi menjenguk Basudewa (Sri Krisna). Dengan diantar oleh Daruka, ia pergi menuju Dwaraka.

Setibanya di Dwaraka, Arjuna mengamati bahwa kota tersebut telah sepi. Ia juga berjumpa dengan Orang-orang tua, anak-anak, janda-janda yang ditinggalkan mati oleh para suaminya di dalam peperangan, Arjuna bersama para ksatria yang tersisa kemudian membawa pergi para Brahmana, Ksatria, waisya, sudra, wanita dan anak-anak Wangsa Wresni, untuk menyebarkannya di sekitar Kurukshetra.

Kemudian Arjuna bertemu dengan Basudewa yang sedang lunglai. Setelah menceritakan beberapa pesan kepada Arjuna, Basudewa mangkat.

Sesuai dengan amanat yang diberikan kepadanya, Arjuna mengajak para wanita dan beberapa kesatria untuk mengungsi ke Kurukshetra. Sebab menurut pesan terakhir dari Sri Kresna, kota Dwaraka akan disapu oleh gelombang samudra, tujuh hari setelah ia wafat.
Dalam perjalanan menuju Kurukshetra, rombongan Arjuna dihadang oleh sekawanan perampok. Anehnya, kekuatan Arjuna seoleh-oleh lenyap ketika berhadapan dengan perampok tersebut. Ia sadar bahwa takdir kemusnahan sedang bergerak. Akhirnya beberapa orang berhasil diselamatkan namun banyak harta dan wanita yang hilang. Di Kurukshetra, para Yadawa dipimpin oleh Bajra.
Setelah menyesali peristiwa yang menimpa dirinya, Arjuna menemui kakeknya, yaitu Resi Byasa. Atas nasihat beliau, para Pandawa serta Dropadi memutuskan untuk melakukan perjelanan suci untuk meninggalkan kehidupan duniawi.

Yang menarik dari catatan kematian Krisna adalah:
  • Bangsa Yadawa terkenal tidak terkalahkan sehingga menjadi sombong, arogan kasar dan gemar mabuk2an di menjelang akhir kehidupan sehingga cukup aneh bila ada pemburu yang tidak terusik dan santai di sekitar tempat pertemuan bangsa Yadawa tersebut
  • Disekitar hutan tersebut, saat itu justru sendang terjadi perang dashyat yang berujung musnahnya bangsa Yadawa, maka bagaimana mungkin ada seorang Pemburu yang begitu santainya berburu?
  • Sebagai seorang pemburu rusa, tentunya ia mengerti prilaku rusa yang sangat waspada dan gampang terkejut, jadi bagaimana mungkin ada rusa disekitar perang besar bangsa Yadawa tersebut.
  • Satu kebetulan menarik lainnya adalah arti nama Jara adalah Usia Tua, Sehingga ada pendapat bahwa kematian Krisna di panah Pemburu bernama Jara, merupakan sebuah metaphora? yaitu wafat dikarenakan usia tua [125 tahun]
Dengan catatan di atas, maka terdapat dua pesan terakhir Krishna yaitu:
  • Kematian Krisna adalah benar karena usia tua, sehingga percakapan antara Krishna dan Jara merupakan tambahan dan bukan yang sebenarnya, maka pesan terakhir dari Krisna hanyalah kepada Arjuna untuk menyelamatkan sisa-sisa penduduk bangsa Yadawa yang tidak mati akibat perang saudara dan tenggelamnya Drawaka
  • Apabila Pemburu itu ada maka pesan terakhir krisna ada dua yaitu menenangkan Jara dari perasaan bersalah dan kepada Arjuna untuk menyelamatkan sisa2 penduduk Yadawa yang tidak mati akibat perang saudara dan tenggelamnya Drawaka. (Sumber: https://www.facebook.com/note.php?note_id=448808221831638 facebook cerita wayang).
Share:

Monday, 1 September 2014

UPACARA TINGKEBAN




Kathah ritual utawi pengetan ingkang dipuntindakaken  tiyang Jawi wiwit kuna makuna. Sedaya menika nggambaraken agenging kapitadosanipun tiyang  Jawi dhumateng Gusti Ingkang  Akarya Jagad. Saengga menapa kemawon nugraha ingkang dipuntampi dipuntengeri mawi upacara ingkang  mengku pandonga saha panuwun  dhumateng Gusti Ingkang Maha Mirah.
Acara tingkeban utawi kawastanan mitoni inggih menika satunggaling upacara ingkang dipuntindakaken  tiyang Jawi kangge mengeti jabang bayi umur 7 wulan wonten kandhutanipun ibu. Miturut para winasis, tembung mitoni asalipun saking tembung pitu, saged dipuntegesi pitutur, pituduh tumuju kasaenan lan kaluhuran. Wondene sacara medis, jabang bayi ngancik umur 7 wulan sampun nggadhahi wewujudan minangka manungsa kanthi wetah, pramila lajeng dipunpengeti kanthi ngawontenaken syukuran. Lampahipun upacara tingkeban dipunwiwiti kanthi sungkeman. Calon bapak lan ibunipun si jabang bayi sungkem dhumateng tiyang sepuh kalih-kalihipun ( saking pihak bapak rumiyin, kalajengaken dhumateng pihak ibu ). Salajengipun  acara siraman. Calon bapak nyebaraken sekar mlathi salebetipun genthong, calon ibu ngagem nyamping lan kemben  lenggah wonten panggenan ingkang sampun cumawis. Kanthi dipunampingi garwanipun, ibu ingkang ngandheg wau wiwit dipunsirami dening para sesepuh kakung putrid cacahipun pitung pasang. Ingkang  sepisan nyirami tiyang sepuh saking pihak kakung. Ibu marasepuh nyiramaken toya sekar ing pamidhangan kanan kering lajeng mustakanipun, makaten ngantos sedaya sesepuh rampung nyirami.
            Acara mecah tigan dipuntindakaken calon bapak, kaliyan ngendika : “ Lanang gelem, wadon gelem, waton slamet !  Tigan dipuntempelaken urut saking panglarapan, mandhap dumugi kandhutan, lajeng dipunpecah. Ukara ing nginggil nedahaken bilih kita kedah narima ing pandum punapa paringipun Gusti, putra kakung menapa putri sarta nyenyuwun supados bayi lair kanthi gangsar. Wekdal nggarisaken tigan wau badanipun calon ibu dipuntutup ngangge kain pethak ingkang nglambangaken suci.
            Purna mecah tigan dipunlajengaken upacara patut-patut. Ing acara menika calon ibu gantos busana kaping pitu. Busana wau mujudaken pilihanipun para sesepuh. Busana ingkang dipunagem pungkasan limrah dipunpilihaken nyamping “truntun” kaliyan kemben “ bangun tulak “ ingkang mengku teges lan panyuwunan supados pasangan ingkang badhe nampi momongan menika tansah rukun turun temurun saha tebih saking rubeda.
            Sasampunipun menika kalajengaken acara procotan cengkir ingkang ginambaran Kamajaya lan Kamaratih . Calon bapak milih salah satunggaling cengkir kanthi cara mungkur. Menawi ingkang kapendhet cengkir gambar Kamajaya, manut kapitadosan  bayinipun kakung. Suwalikipun bilih ingkang  kapendhet Kamaratih ateges bayinipun estri. Cengkir ingkang kapilih wau lajeng dipunemban ibu marasepuh sarta dipuntembangi kadosdene ngemban bayi. Salajengipun dipunpapras mawi bendho. Bilih toya ingkang  medal saking cengkir muncrat dipunpitadosi bayinipun kakung, nanging menawi tleser-tleser bayinipun estri.
            Acara salajengipun inggih menika syukuran ngiris tumpeng kalih. Pucukipun tumpeng ingkang setunggal dipunaturaken tiyang sepuh saking pihak bapak, dene setunggalipun malih kagem tiyang sepuh saking pihak ibu. Minangka acara pungkasan inggig menika  sadeyan rujak lan dhawet dening calon bapak ibunipun si jabang bayi. Punika nglambangaken supados bayi ing tembe nampi rejeki ingkang kathah salebeting nglampahi gesangipun.
Share:

Wednesday, 20 August 2014

Satleraman Bab Unggah Ungguh basa

Ginane tembung krama kangge jumbuhaken etika utawi sopan santun/tatakrama/subasita ing bebrayan agung, liripun kangge caos pakurmatan dhateng tiyang sanes.

Tataran tembung ing undha usuking basa namung wonten kalih; 

a] tembung ngoko lan b] tembung krama. 
Tembung ngoko [ ngoko lugu lan ngoko alus]..tembung krama [ krama lan krama alus] 
Share:

Friday, 25 April 2014

Dongeng: Kelangan Simbok

Kelangan Simbok
Ana manuk nusuh ing pang dhuwur, karepe supaya ora gampang diganggu dening sapa bae. Manuk loro lanang karo wadon kang nusuh iku sajake lagi padha seneng-seneng atine, momong anak-anake sing lagi bae mentas netes. Dhasar anak manuk sing isih cilik-cilik iku katon lucu-lucu, awake lemu nanging durung metu wulune. Saben-saben manuk cilik iku mangap-mangap karepe jaluk loloh utawa geguyon karo wong tuwane. Bareng anak-anake wis rada gedhe lan nduweni wulu, sok-sok ditinggal lunga bareng dening bapak lan emboke perlu holek pangan. Sakdurunge mangkat, bapak lan embokne tansah weling wanti-wanti supaya anak-anake padha sing ngati-ati lan aja padha tukaran.
Manuk iku pakanane uler sing dadi ama (hama) tetandure menungsa. Saben oleh pangan uler, kejaba dipangan dhewe ana ing ngenggon kono, liyane mesthi digawa mulih kanggo dipakakake marang anak-anake. Ana ing omah susuh, manuk cilik-cilik mau mesthi ngarep-arep tekane wong tuwane sing nggawa pangan, saking ora kantine banjur padha ngandhang ngiras dolan. Wah, kaya ngapa bungahe yen wong tuwane katon mulih nggondhol panganan kabeh padha cirak-cirak jogetan merga seneng atine. 

Adhuh, yen wis tiba apes nuju golek pangan kaya adat saben, manuk loro lagi enak-enak nucuki uler sing ngrubung tandurane menungsa, ora nyana babar pisan manuk wadon ditrepil bocah kena endhase.
Mesthi bae si manuk wadon niba megap-megap arep mati, dene sing lanang kaget terus mlayu mabur banget golek slamet.

Sadurunge mati, kanthi megap-megap manuk wadon iku sambat lan eling marang anak-anake kang ditresnani, upama bisa ngucap: “Adhuh ngger, simbok tekane pati, wis ngger ...... simbok ninggal kowe”. Bubar mengkono manuk wadon banjur les ....... mati.

Anak-anak manuk sing ana ing susuh padha ngarep-arep wong tuwane nggawa panganan, nanging suwe banget kok ora teka-teka. Saking padha ora kuwat nahan luhe, anak manuk cilik nanging wulune sing rada dawa padha mabur perlu golek pangan dhewe-dhewe.

Manuk lanang bapakne, bareng tekan susuhe kaget banget amarga anake padha ora ana, mula banjur lunga nggoleki mrana-mrene nanging ora ketemu.
Share:

Friday, 25 October 2013

Wayang sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity


Pengakuan wayang di kancah dunia telah dikukuhkan UNESCO sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity.  Sebagai sebuah produk kebudayaan, wayang tidak saja menjadi produk seni visual atau pun produk yang dapat diindera saja, tetapi juga mempunya nilai-nilai adhiluhung yang menjadi latar belakang asal-usul dan keberadaannya.
Asal-usul wayang telah diteliti oleh berbagai ahli, bahkan keberadaan wayang telah berlangsung semenjak 1500 SM. Dr. G.A.J. Hazeu dalam desertasinya berpendapat bahwa pertunjukan bayang-bayang merupakan pertunjukan asli Jawa (Haryanto, 1988).
Dalam perkembangannya, wayang telah mengalami transformasi dari wujud maupun medianya. Dari waktu ke waktu wayang telah mengikuti perkembangan dari budaya tutur telah dikembangkan dengan didukung oleh berbagai macam keterampilan dan seni. Setidaknya ada tujuh unsur seni yang turut serta dalam pengembangan wayang antara lain: 1) Seni Drama; 2) Seni Lukis/Seni Rupa; 3) Seni Pahat/Kriya 4) Seni Sastra; 5) Seni Suara; 6) Seni Karawitan; 7) Seni Gaya (Haryanto, 1988).
Dilihat dari wujud wayangnya, wayang mengalami perubahan bentuk dari masa ke masa. Jenis-jenis wayang dilihat dari media dan ceritanya adalah wayang beber, wayang purwa, wayang madya, wayang gedhog, wayang klithik, wayang krucil, wayang golek, wayang suluk, wayang wong  (Mertosedono, 1986)
Pengaruh pemerintahan dan keagamaan juga sangat berperan dalam perkembangan wayang. Hal ini tidak dapat terpisahkan, karena wayang pada saat itu menjadi media yang digunakan untuk penyebaran ide dan legitimasi kekuasaan, Selain itu juga sebagai media penyebaran agama. David Irvine membagi sejarah perkembangan wayang antara lain asal-usul wayang purwa di Jawa, asal-usul wayang purwa di India, wayang purwa di bawah pengaruh Hindu-Budha, wayang purwa di bawah pengaruh Islam, perkembangan wayang selain wayang purwa dan wayang modern (Irvine, 1996). Sedangkan pengaruh pemerintahan (meski tidak langsung) terlihat pada berbagai macam gagrak (gaya). Gagrak wayang yang sekarang masih terlihat antara lain  gagrak Surakarta, gagrak Yogyakarta, gagrak Kedu, gagrak Jawa Timur, dan gagrak Cirebon. Sementara itu sebagai bentuk kriya yang dipengaruhi oleh interaksi masyarakat juga terdapat sub gagrak yang terdapat di antara daerah-daerah tersebut.
Keberadaan wayang juga tidak luput dari isi yang disampaikan dalam setiap pertunjukan. Tata nilai secara filosofis ini yang kemudian dimanifestasikan dalam berbagai karya cipta yang menaungi wayang. Dasar filosofis ini melatar belakangi bentuk wujud dan kriya, suara/antawencana, gerak (solah bawa) dan tari, suluk gending (musik pengiring), gubahan-gubahan cerita/sanggit, tata letak/layout pertunjukan dan peran masing-masing dalam pertunjukan

Sumber: e-wayang
Share:

Gagrak dan Pakem


Pagelaran wayang dan/atau karawitan, di masa sekarang dikenal sebagai suatu pagelaran yang dimainkan menurut suatu ‘gagrak’ (pola, gaya, mahzab, atau corak) dan ‘pakem’ tertentu. Seperti pada lukisan, dikenal ada lukisan gaya naturalis, gaya super-naturalis, gaya abstrak, gaya modern dan sebagainya. Seperti itu pula permainan alat-alat gamelan yang lazim disebut ‘karawitan’. Bahkan kita pada masa sekarang, juga mengenal sejumlah seniman karawitan dan/atau wayang yang menonjol dalam suatu gagrak tertentu.

 

Sangat mungkin, persoalan ‘gagrak’ tidak terlampau dominan di masa lampau. Mungkin hal ini juga disebabkan sulitnya hubungan komunikasi antara daerah yang satu dengan daerah lainnya. Namun, sejalan dengan perkembangan budaya dan hubungan antar daerah (di masa lampau, biasanya merupakan hubungan antar kerajaan atau perdagangan), berkembang pula sifat-sifat kedaerahan yang diterapkan dalam permainan alat-alat gamelan (karawitan) dan juga pada berbagai permainan wayang. Dengan demikian, akhirnya kita mengenal adanya sejumlah bentuk ‘gagrak’ tertentu, sesuai sifat khas kedaerahan tertentu.



Penerapan gagrak tertentu, tidak saja dilakukan terhadap permainan alat-alat gamelan, tetapi juga terhadap garap, cara memainkan alat gamelan, aransemen, komposisi, pagelaran wayang, bentuk-rupa wayang, jenis wayang, cara berbicara (antawacana), cara menceritakan (janturan), sulukan (nyanyian dhalang), cara nembang (menyanyikan), atau senggakan (vokal pengisi). Bahkan, sampai ke persoalan pakaian adat atau pakaian tradisional yang digunakan, juga bisa sangat berbeda. Semua ini, merupakan kekayaan budaya Nusantara yang luar biasa dan tak ternilai harganya. Perkembangan seperti ini, jelas merupakan suatu perkembangan yang bernuansa positif dan patut dihargai, dan diapresiasi.

Pakem dipahami sebagai suatu ‘kesepatan bersama’ yang dirancang, dibuat, disepakati, dan dipatuhi oleh sekelompok orang (seniman) pendukungnya. Pakem, di masa lampau memang dikembangkan di pusat-pusat kekuasaan, seperti keraton atau pusat-pusat pemerintahan (kerajaan). Jadi bayangkanlah, pakem ini di masa sekarang kita kenal sebagai semacam ‘juklak’ (petunjuk pelaksanaan) atau ‘juknis’ (petunjuk teknis), yang digunakan untuk melaksanakan suatu pagelaran karawitan dan/atau wayang.




Pakem, bukanlah sesuatu yang bersifat mutlak, dogmatis, dan sama sekali tidak bisa berubah. Meskipun demikian, dukungan yang sangat kuat terhadap suatu pakem tertentu, nyatanya memang ada. Di masa lampau, dominasi pusat-pusat kekuasaan atau pusat-pusat pemerintahan (kerajaan), memang sangat nyata. Karenanya, di masa lalu terjadinya perubahan pakem boleh dikatakan sangat kecil kemungkinannya untuk terjadi. Namun, sejalan dengan terjadinya perkembangan budaya dan pergeseran pusat-pusat kekuasaan (pemerintahan), pakem bergeser dan menjadi sesuatu hal yang tidak lagi terlalu dipatuhi sebagai sesuatu yang bersifat dogmatis dan wajib diikuti.



Di sekitar tahun 1966, Ki Narto Sabdo, seorang dalang wayang kulit purwa yang berasal dari Kota Semarang, mulai ‘melanggar pakem’ dengan menerapkan dua gagrak yang berbeda, yaitu Surakarta dan Yogyakarta (Mataraman) dalam setiap pagelaran wayang kulit purwa yang dimainkannya. Bahkan, pada masa berikutnya, beliau juga menyisipkan gagrak Banyumasan dan bahkan mengkombinasikannya dengan permainan gaya Sunda. Pada awalnya, semua yang dilakukan Ki Narto Sabdo banyak ditentang orang, terutama mereka yang menjadi pendukung fanatik gagrak-gagrak tersebut. Ketidak-sukaan terhadap apa yang dilakukan Ki Narto Sabdo, bahkan sampai pada tindakan pelarangan mementaskan pagelaran di suatu wilayah tertentu.



Tetapi, fakta yang didapat ternyata berbeda. Kelompok-kelompok orang yang menentang Ki Narto Sabdo, berhadapan dengan masyarakat luas yang tidak mempersoalkan apa itu gagrak atau pakem tertentu. Bagi masyarakat pecintanya, pagelaran wayang kulit purwa yang dilakukan Ki Narto Sabdo bisa diterima khalayak penontonnya, serta ‘sangat memenuhi selera dan keinginan’ mereka. Bahkan pada sekitar tahun 1971, hasil polling yang dilaksanakan oleh RRI (Radio Republik Indonesia), menunjukkan bahwa Ki Narto Sabdo merupakan dhalang paling populer di Indonesia (saat itu).



Sejak peristiwa ini, sedikit demi sedikit, pagelaran wayang kulit purwa yang menerapkan beberapa gagrak sekaligus, mulai cair dan tidak lagi dimusuhi atau dipertentangkan. Bahkan, pada masa sekarang, kita bisa melihat permainan dua atau tiga gagrak yang digabungkan dalam satu pagelaran wayang kulit purwa, sudah merupakan kelaziman yang tidak lagi dipersoalkan.




Meskipun kondisi pada masa sekarang sudah sedemikian cair, tetapi pagelaran wayang (yang manapun), sebenarnya tetap berkiblat pada suatu gagrak dan/atau pakem tertentu. Tentu saja, seringkali dilengkapi dengan perubahan, penyesuaian, dan penggabungan dengan gagrak lainnya. Karenanya, pada masa sekarang kita sangatlah beruntung masih bisa menonton pagelaran-pagelaran wayang sesuai dengan gagrak dan/atau pakem tertentu.


Pagelaran gagrak Surakarta

Pagelaran karawitan dan/atau wayang gagrak Surakarta (Solo), umumnya sangat mengeksploitas permainan alat-alat gamelan yang eksotis, rumit, dan anggun.


Pagelaran gagrak Yogyakarta

Di kalangan masyarakat awam, gagrak Yogyakarta lebih dikenal sebagai gagrak Mataraman. Pagelaran karawitan dan/atau wayang gagrak Yogyakarta (Mataraman), umumnya sangat mengekspolitas permainan alat-alat gamelan yang bersifat ‘asli Mataram’, penuh kerakyatan, dan penuh kebebasan berkespresi.


Pagelaran gagrak Banyumasan

Pagelaran karawitan dan/atau wayang gagrak Banyumasan, lebih dikenal karena sangat dekat dengan gagrak Pesisiran. Umumnya menampilkan pagelaran yang bersifat gembira, penuh kelucuan, kerakyatan, banyak menerapkan ‘senggakan’, dan penuh sorak-sorai kegembiraan.


Pagelaran gagrak Semarangan

Pagelaran karawitan dan/atau wayang gagrak Semarangan, banyak mengeksploitasi gendhing-gendhing berbasis nada pelog. Gagrak Semarangan bisa dikatakan menerima dominasi yang kuat dari gagrak Surakarta. Meskipun demikian, permainan karawitannya yang banyak mengeksploitasi nada pelog, membuatnya sangat berbeda dan berkesan sangat gagah.


Pagelaran gagrak Pesisiran

Pagelaran karawitan dan/atau wayang gagrak Pesisiran, merupakan bentuk pagelaran yang paling banyak mengeksploitasi permainan gendhing-gendhing yang berbasis nada ‘slendro barang miring’ (bernada minor). Ini merupakan salah satu kekhasan yang umumnya tidak terdapat pada gagrak lainnya. Karenanya, permainan wayang, karawitan, dan vokalnya; cenderung menampilkan warna dan suasana yang sendu, romantis, dan juga sedih.


Pagelaran gagrak Jawa Timuran

Pagelaran karawitan dan/atau wayang gagrak Jawa Timuran, mempunyai gaya yang sangat khas dan berbeda dengan gagrak-gagrak lain yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Barat. Kesan kuat, merdeka, enerjik, dan garang; sangatlah terlihat tidak hanya pada permainan alat-alat gamelannya, tetapi juga pada bentuk-rupa wayangnya.


Pagelaran gagrak Bali

Pagelaran karawitan dan/atau wayang gagrak Bali, bisa dikatakan benar-benar bebda dengan yang ada di Pulau Jawa. Banyak orang yang tidak tahu, bahwa gamelan Bali yang dipakai sebagai kelengkapan karawitan wayang gagrak Bali, adalah gamelan berbasis tangga-nada slendro, dan memakai ricikan gamelan berupa gender. Karenanya, pagelaran karawitan dan/atau wayang gagrak Bali menjadi sangat eksotis dan sangat anggun. Ini akan merupakan pagelaran yang amat sangat berbeda dengan pagelaran tari Bali misalnya (yang sudah sangat terkenal).


Pagelaran gagrak Sunda

Pagelaran karawitan dan/atau wayang gagrak Sunda, berkembang sangat pesat sejak sekitar tahun 1970-an. Permainan karawitan gagrak Sunda, mulai menerima banyak perubahan sejak masa itu sampai sekarang. Gaya permainan wayang yang sangat mengeksploitasi tokoh-tokoh wayang tertentu, merupakan salah satu kekhasan pagelaran wayang gagrak Sunda masa sekarang.


Pagelaran gagrak Luar Jawa

Pagelaran karawitan dan/atau wayang gagrak Luar Jawa, seringkali sangat dipengaruhi kondisi geografis, bahasa, dan adat kebiasaan setempat. Karenanya, pada masa sekarang kita bisa melihat gagrak Luar Jawa ini berkembang di beberapa wilayah yang berbeda, dan menghasilkan bentuk pagelaran karawitan dan/atau wayang yang berbeda-beda pula. Misalnya, pagelaran wayang gaya Jambi, Palembang, Banjar-Masin, Lombok, atau lainnya.


Pagelaran gagrak Cirebonan

Pagelaran karawitan dan/atau wayang gagrak Cirebonan, bisa dikatakan merupakan gabungan beberapa gagrak yang berbeda. Umumnya, merupakan gabungan gagrak Sunda (yang sangat dominan), gagrak Banyumasan (Jawa), dan beberapa di antaranya juga dengan gagrak Betawi. Pengaruh agama Islam dan budaya Cina, terasa sangat lekat dengan berbagai pagelaran karawitan dan/atau wayang gagrak Cirebonan.


Pagelaran gagrak Betawi

Pagelaran karawitan dan/atau wayang gagrak Betawi, secara umum sangat dipengaruhi oleh gagrak Sunda dan budaya Cina.


Bram Palgunadi

Share:

Wednesday, 16 October 2013

Geguritan: Layang

Layang
~ Turiyo Ragilputra ~
Layang abang sing daktampa ngepasi bedhug ndrandhang
dudu saka rohmayati, erna, zaenatul, utawa endang
layang sing daktampa nalika aku ngadeg ing ngarep lawang
kakirim kanthi kilat nggawa ati mlerah kebranang
“Endi janjimu, Riyo?” mangkono unine ukara pambuka
aku njegreg kamitenggengen kaya tugu sela
“ngaku panggurit ukarane kaya pisuhe buta alengka
apa ora mboktiteni silir resep sing digawa samirana?”
Layang abang layang saka kadang
rasane sumringah kaya jamu cabe lempuyang
swarane ngumandhang kaya cumengklinge bonang
“aja lali kekudanganku, anak lanang”
layang abang saiki sumimpen ing njero ati
kareben dadi bengawan sing banyune terus mili
Share:

Geguritan: Rembulan

Rembulan
~ Turiyo Ragilputra ~
Rembulan ing dhadha langit kae
rambute nglawer tekan dhadhaku
apa sliramu ngerti rembulan liyane
si tangan alus sing banget wasis ngracik jamu?
anggur, kencur, apadene bratawali
pupur, gincu, lan esem panjiret ati
apa kudu dituku ing lokalisasi
dipondhong cara putri dililing kaya bayi
kangmangka prauku isih sendhen ing dermagamu, sri?
upama kudu digadhe pira tebusane
yen dituku pira regane
bakal daksembadani waton dudu wujud bandha donya
rerangken lamaran ora nganggo raja brana
tumuruna, tumuruna
dimen rembulan kae gelem leledhang ing taman
selagine aku isih kongang nyipta guritan
rembulan kekalang ing njero dhadha
sunare nyipta esem sadawane mangsa
Share:

Geguritan: Aku Nglukis ing Sayuta Langit

Aku Nglukis ing Sayuta Langit
~ Turiyo Ragilputra ~
Delengen aku nglukis ing sayuta langit
kebak warna abang sing cinipta saka getih jaman luput ngandhut
banjur nindakake aborsi kanthi nguntal pil lintang
guguran getihe dakwadhahi genthong angen-angen kagelan
dene kuwase dakcipta nganggo rambut gunung njeblug
lan warna-warna endah liyane cinipta saka pecahan raga
nasib para glandhangan sing kasingkir merga impen
para pamuja patung adipura
O, Kadang-kadangku sing ora nate bosen nyawang lukisan
delengen lukisanku ing sayuta langit kae
kebak akrilik mata nangis, tangan nyadhong, lan sandhangan
Pating sranthil!
warna-warnane banget naturalis awit dumadi saka nyawa-nyawa
sing pecat tanpa dosa
Share:

Geguritan: Tangise Anak-anak Jaman

Tangise Anak-anak Jaman
- Turiyo Ragilputra -
Pirengna bareng lakune angin, swara gadhuh ngebaki langit
sawise mataun-taun kali kasatan banyu
lemah bengkah kasatan embun, lan jingglang purnama
kelangan gumyak bocah gojegan
O, ing kene wis maabad watu-watu gumlundhung sadawane wengin
nggawa geni kamurkan kesumat maut; paprangan!
Bumi tinindhih wit-witan ambruk
bleduge sumawur ngurugi swarga
Suprandene marang sapa kudu tetambuh
atas kepribaden sing ginadhe tangan mungsuh
Iki jaman tangise anak-anak piatu
jaman runtuhe eluh kacintakan kaum ibu
kembang luruh luntur lentrih
penyair bisu. Tangan kelu koncatan tasbih
musna regane muksa sukmane
Lan guritan kepayahan
ilang wujud
absurd!
Bosnia! Bosnia!
Ing endi papan kanggo ndhedher rasa asih
muji Allah kanthi ati wening pangucap fasih
sakliyane paprangan! Pirengna ing kalbumu
marang sapa bayi-bayi bakal necep banyu susu
marang sapa bocah-bocah takon kubure ibu
sadawane dalan, o, getih tumetes angganda wangi
tilase subur klanggo ndhedher tanduran mlathi
Pirengna, sepisan maneh, pirengna
sumiyut angin ing mangsa gugur
tintrime landhep samata pedhang
panglima perang sahabat Anshar
Ya, ya, Tsabit al Haq ing kene. Jiwane goncang
Labuh agama luput anggrayang
surban-surban putih kumampul ing kali Yordhan
binalang bathang kaum Israel!
Share:

Geguritan: Bu Nyai

Bu Nyai
- Turiyo Ragilputra -
Bu Nyai, rambutmu dipotong poni
kojahmu, beda biyen beda saiki
dhuh, apa kersa sampeyan
mbukani dina-dina nganggo cangkriman?
Senajan wis dadi ombyaking jaman
panggedhe kulina nampa bestelan
nanging apa mesthi kudu ngono, Bu Nyai?
Lho, coba sampeyan resepi ocehe kepodhang kae
“Jawa tanpa jiwa jawane jawa wisa
Jawa tanpa waja jawane jawa ula
Jawa tanpa jawa jawane jawa buta”
Mesthine, ngono ya ngono ning aja ngono
aja disengguh kawula isih kaya kebo
Bu Nyai, ujare bakul sinambi wara
jengandika duwe aji pamungkas aran lebur sekethi
ampuhe kagila-kagila sektine kepati-pati
Saiki coba sampeyan buktekna
galo kae, langit sandhuwure negara katon malengkung
cahya abang panjalmane dewa durangkara
kahanan peteng kapusus pedhut sandyakala
aja pijer mematut dhiri, mingar-minger sangarep kaca
banjur nglencer ing omahe tangga
Bu Nyai
tanduran pari ing karang padesan
gusis direncah gegremetan lan siluman
jrambah paseban ing punjering negara
dadi papan pesta para buta brekasakan
Kepiye Bu Nyai, apa wis pedhot iku kendhali
sing diulur nalika biyen ngripta sesanti?
Bu Nyai, kahanan wis kabesmi dahana
lha jengandika kok enak-enak ngepung ambeng negara!
gambar saking google.com
Share:

Main Menu