Main Menu

Pages

Sunday, 23 May 2010

Tanggap Wacana Upacara Mitoni -Sesorah (pidato bhs Jawa)-



Ing ngisor iki tuladha teks pidato utawa tanggap wacana acara adat “Mitoni”. Coba gatekna bab isi lan urut-urutane tanggap wacana.

Mahardhikeng tyas ring kamardhikan

Nuwun
Dhumateng para sesepuh saha pinisepuh ingkang dahat kinurmatan,
Dhumateng pamangku gati ingkang kula urmati,
Dhumateng para tamu undangan ingkang minulya.

Langkung rumiyin sumangga kula lan penjenengan sedaya ngaturaken raos syukur dhumateng ngarsanipun Gusti Ingkang Murbeng Dumadi ingkang sampun maringi kasarasan sarta kalodhangan, saengga kita saged anjenengi acara ing wekdal menika inggih acara tingkepan utawi mitoni garwanipun bapak Zainul Ma’arif kanthi boten wonten alangan menapa-menapa. Mugi-mugi kemawon ing dalem kekempalan kita dinten samenika wonten manfaatipun. Amin.

Para rawuh ingkang kula urmati.
Panjenengan sedaya kaaturan rawuh ing wekdal menika, inggih boten sanes amargi raos syukuripun bapak Zainul Ma’arif dhumateng ngarsanipun Gusti, amargi sadangu mangun bale wisma sampun ngajeng-ajeng momongan utawi putra ing dalem kulawarganipun.
Samenika pangajeng-ajeng menika sampun kalampah kanthi tetenger mbobotipun garwanipun ingkang sampun ngancik pitung sasi. Pramila saking menika Bapak Zainul Ma’arif sakulawarga nyuwun donga pangestunipun saking para rawuh, supados jabang bayi ingkang taksih wonten madaran menika pinaringan selamet, semanten ugi ibunipun. Lan mugi-mugi anggenipun lair dipunparingi gancar, lancar, sarta selamet kekalihipun.

Para rawuh ingkang kinurmatan,
Mugia kita sedaya dados tiyang ingkang estu-estu ngabekti dhumateng tiyang sepuh kalih. Semanten ugi, mugi-mugi Bapak Zainul Ma’arif sakulawarga benjang dipunparingi putra ingkang tansah ngabekti marang tiyang sepuhipun, migunani tumrap nusa, bangsa sarta agami. Amin.
Cekap semanten saking kawula, minangka panutuping atur,

Nuwun

(Nana Diana; 23 Mei 2010)

Saturday, 15 May 2010

Dialek Bahasa Jawa


Dialek adalah bahasa sekelompok masyarakat yang tingal di suatu daerah tertentu. Perbedaan dialek di dalam sebuah bahasa maka ditentukan oleh letak geografis atau region kelompok pemakainya. Karena itu dialek disebut dialek geografis atau dialek regional. Batas-batas alam seperti sungai, gunung, laut, hutan, dan semacamnya membatasi dialek yang satu dengan dialek yang lain.

Karena paham dialek di sini adalah “bagian” dari suatu bahasa, timbul paham lanjutan yang mengatakan, pemakai suatu dialek bisa mengerti dialek lain. Dengan kata lain ciri penting suatu dialek ialah adanya kesalingmengertian (mutual intelligible).
Masalah yang timbul sekarang, dengan adanya keadaan berikut: apa yang disebut oleh orang awam dialek tertentu ternyata tidak dipahami oleh pemakai dialek yang lain. Sebaliknya ada keadaan: dua kelompok masyarakat yang berbeda bahasa ternyata bisa saling mengerti meskipun mereka menggunakan bahasa sendiri-sendiri (Sumarsono :21-23).

Ciri yang cukup masuk akal adalah ciri sejarah, dalam arti misalnya apakah X dan Y itu dua dialek atau dua bahasa, sedikit banyak bergantung pada hubungan sejarah keduanya. Ciri lain dapat disebut homogenitas, yaitu adanya kesamaan unsure-unsur bahasa tertentu. Para ahli dialektologi misalnya, percaya apakah X dan Y itu dua bahasa, dua dialek, atau dua sub dialek, atuakah hanya sekedar dua variasi saja, dapat ditentukan dengan mencari kesamaan kosakatanya. Jika persamaannya hanya 20% atau kurang, keduanya adalah dua bahasa. Tetapi kalau bisa mencapai 40% - 60%, keduanya dua dialek; dan kalau mencapai 90% misalnya, jelas keduanya hanyalah dua variasi saja dari sebuah bahasa. (Sumarsosno :24-25).

Macam-macam Dialek Bahasa Jawa

Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan penduduk suku bangsa Jawa terutama di beberapa bagian Banten terutama kota Serang, kabupaten Serang, kota Cilegon dan kabupaten Tangerang, Jawa Barat khususnya kawasan pantai utara terbentang dari pesisir utara Karawang, Subang, Indramayu, kota Cirebon dan kabupaten Cirebon, Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur di Indonesia. Penyebaran bahasa Jawa juga sampai ke mancanegara diantaranya seperti Malaysia dan Suriname.

Karena bahasa-bahasa ini terbentuk dari gradasi-gradasi yang sangat berbeda dengan bahasa Indonesia maupun Melayu, meskipun tergolong rumpun Austronesia. Sedangkan dialek daaerah ini didasarkan pada wilayah, karakter, dan budaya setempat. Perbedaan antara dialek satu dengan dialek lainnya bisa 0-70%. Untuk klasifikasi berdasarkan dialek daerah, pengelompokannya mengacu kepada pendapat E.M Uhlenbeck, 1964, di dalam bukunya: “A Critical Survey of Studies on the Languages of Java and Madura”, The Hague: Martinus Nijhoff. (Sumber: Wikipedia bahasa Indonesia).

a.Kelompok bahasa Jawa bagian barat:
Dialek Banten
Dialek Cirebon
Dialek Tegal
Dialek Banyumasan
Dialek Bumiayu (peralihan Tegal dan Banyumas)
Kelompok pertama di atas sering disebut bahasa Jawa ngapak-ngapak.


b.Kelompok bahasa Jawa bagian Tengah:
Dialek Pekalongan
Dialek Kedu
Dialek Bagelen
Dialek Semarang
Dialek Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati)
Dialek Blora
Dialek Surakarta
Dialek Yogyakarta
Dialek Madiun
Kelompok kedua di atas sering disebut bahasa Jawa standar, khususnya dialek Surakarta dan Yogyakarta.


c.Kelompok bahasa Jawa bagian timur:
Dialek Pantura Jawa Timur ( Tuban, Bojonegoro)
Dialek Surabaya
Dialek Malang
Dialek Jombang
Dialek Tengger
Dialek Banyuwangi
Kelompok ketiga di atas sering disebut bahasa Jawa Timuran.

Tingkat Tutur Bahasa Jawa


Tingkat tutur bahasa Jawa (Unggah-ungguhing basa)pada dasarnya ada dua macam, yaitu ragam ngoko dan ragam krama. Ragam ngoko meliputi ngoko lugu dan ngoko alus (Hardyanto dan Esti SU 2001:47).

Poedjasoedarma berpendapat bahawa tingkat tutur ngoko mencerminkan rasa tak berjarak antara 01 terhadap 02 dan tingkat tutur ini dipakai jika seseorang ingin menyatakan keakrabannya terhadap mitra wicara (02); tingkat tutur madya diartikan sebagai tingkat tutur menengah antara krama dan ngoko; tetapi tetap menunjukkan perasaan sopan meskipun kadar kesopanannya hanya sedang-sedang saja; tingkat tutur krama diartikan sebagai tingkat tutur yang memancarkan arti penuh sopan santun dan tingkat tutur ini menandakan adanya perasaan segan 01 terhadap 02 (Sasangka 2004:14).

Bahasa Jawa berdasarkan Undha-usuk atau unggah-ungguhnya ialah seperti disebutkan di bawah ini (Suliyanto 2008:15):
No.
Undha-Usuk Basa
Endahing Raos Adining Suraos
1.
Ngoko (lugu)
Raket-supekat
2.
Ngoko (alus)
Raket-supekat, nanging tetep urmat
3.
Krama (lugu)
Urmat, nanging kirang raket-supeket
4.
Krama (alus)
Urmat sanget, nanging kirang raket supeket

Selanjutnya tingkat tutur bahasa Jawa di atas akan dijelaskan sebagai berikut.
1 Tingkat Tutur Ngoko (Ragam Ngoko)
Yang dimaksud dengna ragam ngoko adalah bentuk unggah-ungguh bahasa jawa yang berintikan leksikon ngoko, atau yang menjadi unsur inti di dalam ragam ngoko adalah leksikon ngoko bukan leksikon yang lain. Afiks yang muncul dalam ragam ini pun semuanya berbentuk ngoko (misalnya, afiks di-, -e, dan –ake). Ragam ngoko dapat digunakan oleh mereka yang sudah akrab dan oleh mereka yang merasa dirinya lebih tinggi status sosialnya daripada lawan bicara (mitra wicara). Ragam ngoko mempunyai dua bentuk varian, yaitu ngoko lugu dan ngoko alus (Sasangka 2004:95).

a. Ngoko Lugu
Yang dimaksud dengan ngoko lugu adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang semua kosakatanya berbentuk ngoko dan netral (leksikon ngoko dan netral) tanpa terselip leksikon krama, krama inggil, atau krama andhap, baik untuk persona pertama (01), persona kedua, persona kedua (02), maupun kedua (02), maupun untuk persona ketiga (03).
1)yen mung kaya ngono wae, aku mesthi ya bisa!
“Jika Cuma seperti itu saja, saya pasti juga bisa!”
2)Yen mung kaya ngono wae, kowe mesthi ya bisa!
“Jika Cuma seperti itu saja, kamu pasti juga bisa!”
3)Yen mung kaya mengono wae, dheweke ya bisa!
“Jika Cuma seperti itu saja, dia pasti juga bisa!”

Contoh: Bojoku nukokake klambi bocah-bocah (Sudaryanto 1991:152).
‘Isteri saya membelikan anak-anak baju’
Mas Totok nggawekake Dik Darno layangan (Sasangka 2001:152).
‘Mas Totok membuatkan Dik Darno layangan’
Tampak sufiks –ake pada nukokake ‘membelikan’ dan nggawekake ‘membuatkan’ merupakan afiks penanda leksikon ngoko (Sasangka 2004:98).

b. Ngoko Alus
Yang dimaksud dengan ngoko alus adalah bentuk unggah-ungguh yang di dalamnya bukan hanya terdiri atas leksikon ngoko dan netral saja, melainkan juga terdiri atas leksikon krama inggil, krama andhap, atau leksikon krama yang muncul di dalam ragam ini sebenarnya hanya digunakan untuk menghormati mitra wicara (02 atau 03)(Sasangka 2004:99-100).
Contoh: Wingenane simbah tindak mrene (Sudaryanto 1991:153).
‘Kemarin dulu nenek ke sini’
Pak guru basa Jawa sing anyar iku asmane sapa? (Sasangka 2001:183).
‘Pak guru bahasa Jawa yang baru itu namanya siapa?’
Tampak bahwa pada butir tindak ‘pergi/berangkat’ dan asmane ‘namanya’ merupakan leksikon krama inggil yang berfungsi untuk menghormati mitra tutur (Sasangka 2004:100).

2 Tingkat Tutur Krama(Ragam Krama)
Yang dimaksud dengan ragam krama adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang berintikan leksikon krama, atau yang menjadi unsur inti di dalam ragam krama adalah leksikon krama bukan leksikon yang lain. Afiks yang muncul dalam ragam ini pun semuanya berbentuk krama (misalnya, afiks dipun-, -ipun, dan –aken). Ragam krama digunakan oleh mereka yang belum akrab dan oleh mereka yang merasa dirinya lebih rendah status sosialnya daripada lawan bicara. Ragam krama mempunyai dua bentuk varian, yaitu krama lugu dan krama alus (Sasangka 2004:104).

a.Krama Lugu
Secara semantis ragam krama lugu dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk ragam krama yang kadar kehalusannya rendah. Meskipun begitu, jika dibandingkan dengan ngoko alus, ragam krama lugu tetap menunjukkan kadar kehalusan (Sasangka 2004:105).
Contoh: Niki bathike sing pundi sing ajeng diijolake?
‘Batik ini yang mana yang akan ditukarkan?’
Mbak, njenengan wau dipadosi bapak.
‘Mbak, Anda tadi dicari bapak’
Tampak afiks di- pada diijolake ‘ditukarkan’ dan dipadosi “dicari’ merupakan afiks ngoko yang lebih sering muncul dalm unggah-ungguh ini darpada afiks dipun-, -ipun, dan –aken. Contoh kalimat di atas bertujuan untuk menurunkan derajat kehalusan (Sasangka 2004:108-109)

b.Krama Alus
Yang dimaksud dengan krama alus adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang semua kosakatanya terdiri atas leksikon krama dan dapat ditambah dengan leksikon krama inggil atau krama andhap. Meskopun begitu, yang menjadi leksikon inti dalam ragam ini hanyalah leksikon yang berbentuk krama. Leksikon madya dan leksikon ngoko tidak pernah muncul di dalam tingkat tutur ini. Selain itu, leksikon krama inggil atau krama andhap –secara konsisten- selalu digunakan untuk penghormatan terhadap mitra wicara.

Secara semantis ragam krama alus dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk ragam krama yang kadar kehalusannya tinggi (Sasangka 2004:111).
Contoh: Arta punika kedah dipunlintokaken wonten bank ingkang dumunung ing kitha.
‘uang ini harus ditukarkan di bank yang berada di kota’
Tampak bahwa afiks dipun- ‘di’ seperti pada dipunlintokaken ‘ditukarkan’ merupakan afiks penanda leksikon krama (Sasangka 2004:113).

Friday, 14 May 2010

Wangsalan Nama-nama Buah di Jawa





Wangsalan merupakan salah satu bagian kebudayaan masyarakat Jawa. Wangsalan adalah kata-kata yang jawabannya sudah ada pada sukukata kata–kata nya. Wangsalan ada yang mudah adapula yang sulit dalam memahaminya.
Pada saat sekarang wangsalan sudah banyak yang tidak mengetahuinya. Salah satu wangsalan adalah wangsalan nama-nama buah. Oleh karena itu penyusun tertarik untuk mencoba meneliti masalah ini. Dalam makalah ini akan dibahas bentuk-bentuk wangsalan nama-nama buah di Jawa. Adapun kebanyakan resensi kajian dari penyusunan makalah sederhana ini adalah berasal dari Serat Centhini jilid V karya Sunan Paku Buwana V (penyunting: Marsono).


Bentuk Wangsalan
(1). Buah gedhang “pisang” dari wangsalan pangebanging basa “janji dalam bahasa”: di-gadhang “direncana/diharap-harapkan”.
(2). Buah duren “durian” dari wangsalan kang aso ing margi “beristirahat di jalan”: ngaso/leren “beristirahat”.
(3). Buah pakel “mangga muda” dari wangsalan kang ambekicik “yang dalam bertengkar tidak mau mengalah”: ngengkel atau ngeyel.
(4). Buah kuweni “kweni” dari wangsalan tinantang purun “ditantang berani”: wani.
(5). Buah rambutan dari wangsalan sobrah sirah “akar/tetumbuhan kepala”: rambut.
(6). Buah kepundhung dari wangsalan kang tumpang tindhih “yang bertumpang tindih”: tumpuk udhung.
(7). Buah manggis dari wangsalan kang luntur ing siti “jatuh di tanah”: tlutuh.
(8). Buah nangka dari wangsalan kang turangga buntal “kuda berwarna-warni”: plangka.
(9). Buah balimbing dari wangsalan wangsul ing margi “kembali di jalan”: bali.
(10). Buah jirak dari wangsalan saranging mangsi “tinta yang kering”: ngerak.
(11). Buah sawo dari wangsalan tansah kebrawuk “selalu diaku padahal milik orang lain”: digabro.
(12). Buah kokosan dari wangsalan tanpa basa “tanpa bahasa hormat”: ngoko/koko.
(13). Buah dhuku dari wangsalan kang trapsila ajrih “sopan santun takut/hormat”: ndheku.
(14). Buah kecapi dari wangsalan ciri pratandha nawala “tanda surat sah”: cap.
(15). Buah srikaya dari wangsalan asung pekah “memberi nafkah”: kaya.
(16). Buah jeruk dari wangsalan dedalaning bayi “jalan lahir bayi”: turuk.
(17). Buah waresah dari wangsalan nora tata “yang tidak berkata/teratur”: rusuh/resah.
(18). Buah kepel dari wangsalan pamuluking bukti “menyuap makan”: makan dengan tangan kepel.
(19). Buah nanas dari wangsalan rasaning geni “rasa api”: panas.
(20). Buah dalima “delima” dari wangsalan paroning puluh “paroan sepuluh”: lima.
(21). Buah malowa dari wangsalan tegal bangka “ladang tiada terurus/tiada tanaman”: mluwa. Buah jambu dari wangsalan kang munggeng peragi/pragen “yang berda pada tempat peragi”: jambu/bambu.
(22). Buah dhuwet dari wangsalan jalma busana rikatan “orang berdandan cepat-cepat”: uwat-uwet.
(23). Buah gayam dari wangsalan kang ingancam-ancam “yang diancam-ancam”: ngayam.
(24). Buah kelayu dari wangsalan rare nututi “anak ingin ikut pergi”: klayu.
(25). Buah pijetan dari wangsalan padha gininda “saling memijat”: pijetan.
(26). Buah pelem dari wangslan wismane priyayi “rumah priyayi (bangsawan)”: dalem.
(27). Buah malinjo dari wangsalan anggung tilik “selalu bertandang”: tinjo.
(28). Buah cereme dari wangsalan penganten wus atut “pengantin telah rukun”: carem.
(29). Buah galembak dari wangsalan siti andhap “tanah rendah”: lebak.
(30). Buah salak dari wangsalan kang kasusu aglis “yang tergesa-gesa cepet”: selak.
(31). Buah mundhu dari wangsalan tomboking janma totohan “uang taruhan dari seseorang”: undhu.
(32). Buah keluwih dari wangsalan punjul wilangan “berlebih hitungan/bilangannya”: luwih.
(33). Buah sukun dari wangsalan kang wis kaki-kaki “yang telah (menjadi) kakek-kakek”: pikun.
(34). Buah sentul dari wangsalan walesan pikat “pegangan/tempat bertengger yang membingkas/memantul untuk bertengger burung sebagai umpan”: mentul.
(35). Buah elo dari wangsalan ingkang pendhok warni “logam sarung keris berwarna (merah)”: kemalo.
(36). Buah maja dari wangasalan jalma pepenging “orang melarang”: (dengan kata) aja.
(37). Buah bulu dari wangsalan sandhang manuk “pakaian burung”: wulu.
(38). Buah kawista dari wangsalan aken luwar “menyuruh keluar”: wis ta.
(39). Buah gowok dari wangsalan erong munggeng kitri “lubang di/berada di pohon”: gowok.
(40). Buah wuni dari wangsalan panatape ing gamelan “membunyikan gamelan”: uni.
(41). Buah jagung dari wangsalan rare ugungan “anak manja”: ugungan.
(42). Buah semangka dari wangsalan munggah ngardi “mendaki di gunung”: sumengka.
(43). Buah timun dari wangsalan menawa andulu “kalau melihat”: lamun andulu.
(44). Buah krai dari wangsalan kepala ngarsa “kepala bagian depan”: rai.
(45). Buah waluh dari wangsalan toyaning tangis “air tangi”: eluh “air mata”.
(46). Buah bestru dari wangsalan anggung dadya memungsuhan “selalu menjadi bermusuhan”: satru “musuh”.
(47). Buah otek dari wangsalan telasing pemanagan “habis makannya”: entek.
(48). Buah pare dari wangsalan pamudharing weni “mengurai rambut”: ngore “mengurai”.
(49). Buah lombok dari wangsalan bojoning bapa “istri bapak/ayah”: simbok/embok.
(50). Buah terong dari wangsalan talang kendhi “talang kendhi”: torong.
(51). Buah cipir dari wangsalan nimpang ningali “menyimpang melihat”: sumingkir, mlipir.
(52). Buah kara dari wangsalan wewinih padu “benih pertengkaran”: perkara.
(53). Buah gedhe dari wangsalan pengepe raga “berjemur diri”: dhedhe.
(54). Buah kumangi/kemangi dari wangsalan kumudu amrik “sangat ingi harum mewangi”: wangi.
(55). Buah ranti deri wangsalan ingkang praptane nora barengan “yang kedatangannya tidak bersama-sama”: sarenti.
(56). Buah kimpul dari wangsalan ingkang kelumpukan “yang berkumpul”: kumpul.
(57). Buah ketela dari wangsalan cetha ing uni “jelas pada ucapan/bunyi”: tela.
(58). Buah kenthang dari wangsalan kasuwen memeyan “jemuran terlalu lama”: diklanthang.
(59). Buah uwi berasa dari wangsalan bangsa krama adi “bahasa krama/hormat bagus”: awi “silakan, mari”.
(60). Buah gadhung dari wangsalan kekemben wilis “kemban/penutup dada wanita berwarna hijau”: kemben gadhung.
(61). Buah gembili dari wangsalan gring pipi lemu “sakit pipi gemuk”: gembil.
(62). Buah walur dari wangsalan pangudhal benang “mengurai/ulur benang”: ngulur.
(63). Buah seweg dari wangsalan basa lagi-lagi “bahasa/kata sedang”: saweg.
(64). Buah besusu dari wangsalan parang jaja ing wanudya “karang dada wanita”: susu.
(65). Buah kacang dari wangsalan panguger turangga “mengikat kuda”: nyancang.
(66). Buah kedhele dari wangsalan sindheting tali “ikatan tali”: sindhet.
(67). Buah wijen dari wangsalan maju pring priyangga “maju hanya seorang diri”: ijen.
(68). Buah pete dari wangsalan marga binuntu “jalan buntu”: bumpet.
(69). Buah jengkol dari wangsalan sinjang kepelag “kain bagus (meski meliuk coraknya)”: mengko.
(70). Buah kemlandhingan dari wangsalan kembar jurit “dilawan dalam perang”: ditandhingi.
(71). Buah kaluwak dari wangsalan trenggalung kang tanpa boga “sebangsa binatang rase tanpa makan”: luwak.
(72). Buah kemiri dari wangsalan pangembet karya “menyangkut pekerjaan”: meri.
(73). Buah pucung dari wangsalan selaning marga “menuju berjalanke...”: mucung.
(74). Buah pace dari wangsalan poyok ngisin-isin “mengolok-olok membuat malu”: ngece.