Main Menu

Pages

Saturday, 6 December 2014

Kematian Kresna

Kisah kematian Kresna di gambarkan permulaannya di Santiparwa, bagian ke 12 dan Mosala parwa bagian 16 MahaBharata:

Santiparwa
  Usai perang Bharatayuda, ketika dilangsungkan upacara pembakaran mayat para kurawa yang telah tewas, semua anak menantu Gandari (Ibu para Kurawa) telah menjadi janda dan menangis sedih di hadapan mayat-mayat suami yang telah tewas. Gandari juga ada di tempat itu. Para Pandawa dengan ditemani oleh Kunti dan Sri Krisna juga hadir di iringi oleh rakyat yang merasa sangat sedih karena kehilangan sanak saudara mereka. krisna menghibur Gandari, dan berkara, ‘ Mengapa Ibunda menangis? Inilah dunia Ibupun pada suatu ketika akan meninggalkan dunia ini. lalu mengapa menangis?’. Gandari menjawab, ‘Kalau saja anda tidak merencanakan hal ini maka semua anak-anak-ku akan hidup, tidak terbunuh seperti ini. Krisna menjawab, ‘Perang untuk menegakan Dharma tidak dapat dicegah. Apa yang dapat kuperbuat, aku hanya suatu alat’. Lalu Gandari berkata, ‘Paduka ini Taraka Brahma. Apabila paduka menghendaki, paduka bisa mengubah pikiran mereka tanpa perlu melakukan pertempuran’.

Biarlah seluruh dunia melihat dan menarik pelajaran.

Selanjutnya Gandari mengucapkan sumpah, ‘Seperti halnya anggauta keluargaku mengalami kehancuran dihadapan mataku sendiri demikianlah hendaknya anggauta keluarga paduka mengalami kehancuran dihadapan mata paduka sendiri’

Krisna tersenyum dan menjawab, ‘Semoga demikian’. Krisna menerima sumpah itu. Ia ingin menunjukkan bahwa kekuatan moral itu mempunyai nilai dalam kehidupan dan kekuatan itu harus diakui adanya


Mosalaparwa

Mosalaparwa atau Mausalaparwa adalah buku keenam belas dari seri kitab MahaBharata. Adapun ceritanya mengisahkan musnahnya para Wresni, Andhaka dan Yadawa, sebuah kaum di Mathura-Dwaraka (Dwarawati) tempat Sang Kresna memerintah. Kisah ini juga menceritakan wafatnya Raja Kresna dan saudaranya, Raja Baladewa.

Diceritakan bahwa pada saat Yudistira naik tahta, dunia telah memasuki zaman Kali Yuga atau zaman kegelapan. Beliau telah melihat tanda-tanda alam yang mengerikan, yang seolah-olah memberitahu bahwa sesuatu yang mengenaskan akan terjadi. Hal yang sama dirasakan oleh Kresna. Ia merasa bahwa kejayaan bangsanya akan berakhir, sebab ia melihat bahwa banyak pemuda Wresni, Yadawa, dan Andhaka yang telah menjadi sombong, takabur, dan senang minum minuman keras sampai mabuk.

Pada suatu hari, Narada beserta beberapa resi berkunjung ke Dwaraka. Beberapa pemuda yang jahil merencanakan sesuatu untuk mempermainkan para resi. Mereka mendandani Samba (putera Kresna dan Jembawati) dengan busana wanita dan diarak keliling kota lalu dihadapkan kepada para resi yang mengunjungi Dwaraka. Kemudian salah satu dari mereka berkata, "Orang ini adalah permaisuri Sang Babhru yang terkenal dengan kesaktiannya. Kalian adalah para resi yang pintar dan memiliki pengetahuan tinggi. Dapatkah kalian mengetahui, apa yang akan dilahirkannya? Bayi laki-laki atau perempuan?". Para resi yang tahu sedang dipermainkan menjadi marah dan berkata, "Orang ini adalah Sang Samba, keturunan Basudewa. Ia tidak akan melahirkan bayi laki-laki ataupun perempuan, melainkan senjata mosala yang akan memusnahkan kamu semua!" (mosala = gada)

Kutukan tersebut menjadi kenyataan. Sang Samba melahirkan gada besi dari dalam perutnya. Atas perintah Raja Ugrasena, senjata itu kemudian dihancurkan sampai menjadi serbuk. Beberapa bagian dari senjata tersebut sulit dihancurkan sehingga menyisakan sepotong besi kecil. Setelah senjata tersebut dihancurkan, serbuk dan serpihannya dibuang ke laut. Lalu Sang Baladewa dan Sang Kresna melarang orang minum arak. Legenda mengatakan bahwa serbuk-serbuk tersebut kembali ke pantai, dan dari serbuk tersebut tumbuhlah tanaman seperti rumput namun memiliki daun yang amat tajam bagaikan pedang. Potongan kecil yang sukar dihancurkan akhirnya ditelan oleh seekor ikan. Ikan tersebut ditangkap oleh nelayan lalu dijual kepada seorang pemburu. Pemburu yang membeli ikan itu menemukan potongan besi kecil dari dalam perut ikan yang dibelinya. Potongan besi itu lalu ditempa menjadi anak panah.

Setelah senjata yang dilahirkan oleh Sang Samba dihancurkan, datanglah Batara Kala, Dewa Maut, dan ini adalah pertanda buruk. Atas saran Kresna, para Wresni, Yadawa dan Andhaka melakukan perjalanan suci menuju Prabhastirtha, dan mereka melangsungkan upacara di pinggir pantai. Di pantai, para Wresni, Andhaka dan Yadawa tidak bisa menghilangkan kebiasaan buruk mereka, yaitu minum arak sampai mabuk. Dalam keadaan mabuk, Satyaki berkata, "Kertawarma, kesatria macam apa kau ini? Dalam Bharatayuddha dahulu, engkau telah membunuh para putera Dropadi, termasuk Drestadyumna dan Srikandi dalam keadaan tidur. Perbuatan macam apa yang kau lakukan?". Ucapan tersebut disambut oleh tepuk tangan dari Pradyumna, yang artinya bahwa ia mendukung pendapat Satyaki. Kertawarma marah dan berkata, "Kau juga kejam, membunuh Burisrawa yang tak bersenjata, yang sedang meninggalkan medan laga untuk memulihkan tenaga".

Setelah saling melontarkan ejekan, mereka bertengkar ramai. Satyaki mengambil pedang lalu memenggal kepala Kertawarma di hadapan Kresna. Melihat hal itu, para Wresni marah lalu menyerang Satyaki. Putera Rukmini menjadi garang, kemudian membantu Satyaki. Setelah beberapa lama, kedua kesatria perkasa tersebut tewas di hadapan Kresna. Kemudian setiap orang berkelahi satu sama lain, dengan menggunakan apapun sebagai senjata, termasuk tanaman eruka yang tumbuh di sekitar tempat tersebut. Ketika dicabut, daun tanaman tersebut berubah menjadi senjata setajam pedang. Dengan memakai senjata tersebut, para keturunan Wresni, Andhaka, dan Yadu saling membunuh sesama. Tidak peduli kawan atau lawan, bahkan ayah dan anak saling bunuh. Anehnya, tak seorang pun yang berniat untuk meninggalkan tempat itu. Dengan mata kepalanya sendiri, Kresna memperhatikan dan menyaksikan rakyatnya digerakkan oleh takdir kehancuran mereka. Dengan menahan kepedihan, ia mencabut segenggam rumput eraka dan mengubahnya menjadi senjata yang dapat meledak kapan saja. Setelah putera dan kerabat-kerabatnya tewas, ia melemparkan senjata di tangannya ke arah para Wresni dan Yadawa yang sedang berkelahi. Senjata tersebut meledak dan mengakhiri riwayat mereka semua.

Akhirnya para keturunan Wresni, Andhaka dan Yadu tewas semua di Prabhasatirtha, dan disaksikan oleh Kresna. Hanya para wanita dan beberapa kesatria yang masih hidup, seperti misalnya Babhru dan Bajra. Kresna mampu menyingkirkan kutukan brahmana yang mengakibatkan bangsanya hancur, namun ia tidak mau mengubah kutukan Gandari, Ia mengetahui bahwa tidak ada yang mampu mengalahkan bangsa Wresni, Yadawa dan Andhaka kecuali diri mereka sendiri. Bangsa itu mulai senang bermabuk-mabukan sehingga berpotensi besar mengacaukan Bharatavarsa yang sudah berdiri kokoh. Setelah menyaksikan kehancuran bangsa Wresni, Yadawa, dan Andhaka dengan mata kepalanya sendiri. Kemudian Balarama pergi ke hutan, sedangkan Kresna mengirim utusan ke kota para Kuru, untuk menempatkan wanita dan kota Dwaraka di bawah perlindungan Pandawa; Babhru disuruh untuk melindungi para wanita yang masih hidup sedangkan Daruka disuruh untuk memberi tahu para keturunan Kuru bahwa Wangsa Wresni, Andhaka, dan Yadawa telah hancur. ke hadapan Raja Yudistira di Hastinapura.



Sri Krisna kemudian pergi ke hutan tempat dimana Balarama menunggunya. Kresna menemukan kakaknya duduk di bawah pohon besar di tepi hutan; ia duduk seperti seorang yogi. Kemudian ia melihat seekor ular besar keluar dari mulut kakaknya, yaitu naga berkepala seribu bernama Ananta, dan melayang menuju lautan yang di mana naga dan para Dewa datang berkumpul untuk bertemu dengannya.

Dalam Bhagawatapurana dikisahkan setelah Baladewa ambil bagian dalam pertempuran yang menyebabkan kehancuran Dinasti Yadu Setelah itu Ia duduk bermeditasi di bawah pohon dan meninggalkan dunia dengan mengeluarkan ular putih besar dari mulutnya, kemudian diangkut oleh ular tersebut, yaitu Sesa.

Setelah menyaksikan kepergian kakaknya, Kresna kemudian duduk disebuah batu dibawah pohon di Prabhasa Tirta, mengenang segala peristiwa Ia tahu bahwa sudah saatnya ia ‘kembali’. Kemudian ia memulai menutup panca indrianya melakukan yoga dengan sikap Lalita Mudra. Bagian dibawah kakinya berwarna kemerah-merahan.

Saat itu ada seorang Vyadha (pemburu) bernama Jara, setelah seharian tidak mendapat buruan, melihat sesuatu berwarna kerah-merahan, Ia pikir, ‘Ah, akhirnya kutemukan juga buruanku’, Ia memanahnya dengan panah yang berasal dari sepotong besi yang berasal dari senjata mosala yang telah dihancurkan kemudian panah itu diberi racun. Ia memanah dan panah itu tepat mengenai benda kemerah-merahan itu. Jara, sang Pemburu segera berlari ketempat itu untuk menangkap mangsanya dan dilihatnya Shri Krisna yang berjubah kuning sedang melakukan Yoga namun dengan tubuh kebiru-biruan akibat menyebarnya racun panah itu. Jara kemudian meminta ma'af atas kesalahannya itu. Sri Kresna tersenyum dan berkata,

‘Kesalahan-kesalahan sedemikian ini jamak dilakukan manusia. Seandainya aku adalah engkau tentu akupun melakukan kesalahan itu. Kamu tidak dengan sengaja melakukannya. Jangan di pikir. Kamu tidak tahu sebelumnya aku berada di tempat ini. Kamu tidak dapat dihukum secara hukum maupun moral, Aku mengampunimu. Aku sudah menyelesaikan hidupku’.

Ketika Daruka tiba di Hastinapura, ia segera memberitahu para keturunan Kuru bahwa keturunan Yadu di Kerajaan Dwaraka telah binasa karena perang saudara. Beberapa di antaranya masih bertahan hidup. Setelah mendengar kabar sedih tersebut, Arjuna mohon pamit demi menjenguk Basudewa (Sri Krisna). Dengan diantar oleh Daruka, ia pergi menuju Dwaraka.

Setibanya di Dwaraka, Arjuna mengamati bahwa kota tersebut telah sepi. Ia juga berjumpa dengan Orang-orang tua, anak-anak, janda-janda yang ditinggalkan mati oleh para suaminya di dalam peperangan, Arjuna bersama para ksatria yang tersisa kemudian membawa pergi para Brahmana, Ksatria, waisya, sudra, wanita dan anak-anak Wangsa Wresni, untuk menyebarkannya di sekitar Kurukshetra.

Kemudian Arjuna bertemu dengan Basudewa yang sedang lunglai. Setelah menceritakan beberapa pesan kepada Arjuna, Basudewa mangkat.

Sesuai dengan amanat yang diberikan kepadanya, Arjuna mengajak para wanita dan beberapa kesatria untuk mengungsi ke Kurukshetra. Sebab menurut pesan terakhir dari Sri Kresna, kota Dwaraka akan disapu oleh gelombang samudra, tujuh hari setelah ia wafat.
Dalam perjalanan menuju Kurukshetra, rombongan Arjuna dihadang oleh sekawanan perampok. Anehnya, kekuatan Arjuna seoleh-oleh lenyap ketika berhadapan dengan perampok tersebut. Ia sadar bahwa takdir kemusnahan sedang bergerak. Akhirnya beberapa orang berhasil diselamatkan namun banyak harta dan wanita yang hilang. Di Kurukshetra, para Yadawa dipimpin oleh Bajra.
Setelah menyesali peristiwa yang menimpa dirinya, Arjuna menemui kakeknya, yaitu Resi Byasa. Atas nasihat beliau, para Pandawa serta Dropadi memutuskan untuk melakukan perjelanan suci untuk meninggalkan kehidupan duniawi.

Yang menarik dari catatan kematian Krisna adalah:
  • Bangsa Yadawa terkenal tidak terkalahkan sehingga menjadi sombong, arogan kasar dan gemar mabuk2an di menjelang akhir kehidupan sehingga cukup aneh bila ada pemburu yang tidak terusik dan santai di sekitar tempat pertemuan bangsa Yadawa tersebut
  • Disekitar hutan tersebut, saat itu justru sendang terjadi perang dashyat yang berujung musnahnya bangsa Yadawa, maka bagaimana mungkin ada seorang Pemburu yang begitu santainya berburu?
  • Sebagai seorang pemburu rusa, tentunya ia mengerti prilaku rusa yang sangat waspada dan gampang terkejut, jadi bagaimana mungkin ada rusa disekitar perang besar bangsa Yadawa tersebut.
  • Satu kebetulan menarik lainnya adalah arti nama Jara adalah Usia Tua, Sehingga ada pendapat bahwa kematian Krisna di panah Pemburu bernama Jara, merupakan sebuah metaphora? yaitu wafat dikarenakan usia tua [125 tahun]
Dengan catatan di atas, maka terdapat dua pesan terakhir Krishna yaitu:
  • Kematian Krisna adalah benar karena usia tua, sehingga percakapan antara Krishna dan Jara merupakan tambahan dan bukan yang sebenarnya, maka pesan terakhir dari Krisna hanyalah kepada Arjuna untuk menyelamatkan sisa-sisa penduduk bangsa Yadawa yang tidak mati akibat perang saudara dan tenggelamnya Drawaka
  • Apabila Pemburu itu ada maka pesan terakhir krisna ada dua yaitu menenangkan Jara dari perasaan bersalah dan kepada Arjuna untuk menyelamatkan sisa2 penduduk Yadawa yang tidak mati akibat perang saudara dan tenggelamnya Drawaka. (Sumber: https://www.facebook.com/note.php?note_id=448808221831638 facebook cerita wayang).

Monday, 1 September 2014

UPACARA TINGKEBAN




Kathah ritual utawi pengetan ingkang dipuntindakaken  tiyang Jawi wiwit kuna makuna. Sedaya menika nggambaraken agenging kapitadosanipun tiyang  Jawi dhumateng Gusti Ingkang  Akarya Jagad. Saengga menapa kemawon nugraha ingkang dipuntampi dipuntengeri mawi upacara ingkang  mengku pandonga saha panuwun  dhumateng Gusti Ingkang Maha Mirah.
Acara tingkeban utawi kawastanan mitoni inggih menika satunggaling upacara ingkang dipuntindakaken  tiyang Jawi kangge mengeti jabang bayi umur 7 wulan wonten kandhutanipun ibu. Miturut para winasis, tembung mitoni asalipun saking tembung pitu, saged dipuntegesi pitutur, pituduh tumuju kasaenan lan kaluhuran. Wondene sacara medis, jabang bayi ngancik umur 7 wulan sampun nggadhahi wewujudan minangka manungsa kanthi wetah, pramila lajeng dipunpengeti kanthi ngawontenaken syukuran. Lampahipun upacara tingkeban dipunwiwiti kanthi sungkeman. Calon bapak lan ibunipun si jabang bayi sungkem dhumateng tiyang sepuh kalih-kalihipun ( saking pihak bapak rumiyin, kalajengaken dhumateng pihak ibu ). Salajengipun  acara siraman. Calon bapak nyebaraken sekar mlathi salebetipun genthong, calon ibu ngagem nyamping lan kemben  lenggah wonten panggenan ingkang sampun cumawis. Kanthi dipunampingi garwanipun, ibu ingkang ngandheg wau wiwit dipunsirami dening para sesepuh kakung putrid cacahipun pitung pasang. Ingkang  sepisan nyirami tiyang sepuh saking pihak kakung. Ibu marasepuh nyiramaken toya sekar ing pamidhangan kanan kering lajeng mustakanipun, makaten ngantos sedaya sesepuh rampung nyirami.
            Acara mecah tigan dipuntindakaken calon bapak, kaliyan ngendika : “ Lanang gelem, wadon gelem, waton slamet !  Tigan dipuntempelaken urut saking panglarapan, mandhap dumugi kandhutan, lajeng dipunpecah. Ukara ing nginggil nedahaken bilih kita kedah narima ing pandum punapa paringipun Gusti, putra kakung menapa putri sarta nyenyuwun supados bayi lair kanthi gangsar. Wekdal nggarisaken tigan wau badanipun calon ibu dipuntutup ngangge kain pethak ingkang nglambangaken suci.
            Purna mecah tigan dipunlajengaken upacara patut-patut. Ing acara menika calon ibu gantos busana kaping pitu. Busana wau mujudaken pilihanipun para sesepuh. Busana ingkang dipunagem pungkasan limrah dipunpilihaken nyamping “truntun” kaliyan kemben “ bangun tulak “ ingkang mengku teges lan panyuwunan supados pasangan ingkang badhe nampi momongan menika tansah rukun turun temurun saha tebih saking rubeda.
            Sasampunipun menika kalajengaken acara procotan cengkir ingkang ginambaran Kamajaya lan Kamaratih . Calon bapak milih salah satunggaling cengkir kanthi cara mungkur. Menawi ingkang kapendhet cengkir gambar Kamajaya, manut kapitadosan  bayinipun kakung. Suwalikipun bilih ingkang  kapendhet Kamaratih ateges bayinipun estri. Cengkir ingkang kapilih wau lajeng dipunemban ibu marasepuh sarta dipuntembangi kadosdene ngemban bayi. Salajengipun dipunpapras mawi bendho. Bilih toya ingkang  medal saking cengkir muncrat dipunpitadosi bayinipun kakung, nanging menawi tleser-tleser bayinipun estri.
            Acara salajengipun inggih menika syukuran ngiris tumpeng kalih. Pucukipun tumpeng ingkang setunggal dipunaturaken tiyang sepuh saking pihak bapak, dene setunggalipun malih kagem tiyang sepuh saking pihak ibu. Minangka acara pungkasan inggig menika  sadeyan rujak lan dhawet dening calon bapak ibunipun si jabang bayi. Punika nglambangaken supados bayi ing tembe nampi rejeki ingkang kathah salebeting nglampahi gesangipun.

Wednesday, 20 August 2014

Satleraman Bab Unggah Ungguh basa

Ginane tembung krama kangge jumbuhaken etika utawi sopan santun/tatakrama/subasita ing bebrayan agung, liripun kangge caos pakurmatan dhateng tiyang sanes.

Tataran tembung ing undha usuking basa namung wonten kalih; 

a] tembung ngoko lan b] tembung krama. 
Tembung ngoko [ ngoko lugu lan ngoko alus]..tembung krama [ krama lan krama alus] 

Friday, 25 April 2014

Dongeng: Kelangan Simbok

Kelangan Simbok
Ana manuk nusuh ing pang dhuwur, karepe supaya ora gampang diganggu dening sapa bae. Manuk loro lanang karo wadon kang nusuh iku sajake lagi padha seneng-seneng atine, momong anak-anake sing lagi bae mentas netes. Dhasar anak manuk sing isih cilik-cilik iku katon lucu-lucu, awake lemu nanging durung metu wulune. Saben-saben manuk cilik iku mangap-mangap karepe jaluk loloh utawa geguyon karo wong tuwane. Bareng anak-anake wis rada gedhe lan nduweni wulu, sok-sok ditinggal lunga bareng dening bapak lan emboke perlu holek pangan. Sakdurunge mangkat, bapak lan embokne tansah weling wanti-wanti supaya anak-anake padha sing ngati-ati lan aja padha tukaran.
Manuk iku pakanane uler sing dadi ama (hama) tetandure menungsa. Saben oleh pangan uler, kejaba dipangan dhewe ana ing ngenggon kono, liyane mesthi digawa mulih kanggo dipakakake marang anak-anake. Ana ing omah susuh, manuk cilik-cilik mau mesthi ngarep-arep tekane wong tuwane sing nggawa pangan, saking ora kantine banjur padha ngandhang ngiras dolan. Wah, kaya ngapa bungahe yen wong tuwane katon mulih nggondhol panganan kabeh padha cirak-cirak jogetan merga seneng atine. 

Adhuh, yen wis tiba apes nuju golek pangan kaya adat saben, manuk loro lagi enak-enak nucuki uler sing ngrubung tandurane menungsa, ora nyana babar pisan manuk wadon ditrepil bocah kena endhase.
Mesthi bae si manuk wadon niba megap-megap arep mati, dene sing lanang kaget terus mlayu mabur banget golek slamet.

Sadurunge mati, kanthi megap-megap manuk wadon iku sambat lan eling marang anak-anake kang ditresnani, upama bisa ngucap: “Adhuh ngger, simbok tekane pati, wis ngger ...... simbok ninggal kowe”. Bubar mengkono manuk wadon banjur les ....... mati.

Anak-anak manuk sing ana ing susuh padha ngarep-arep wong tuwane nggawa panganan, nanging suwe banget kok ora teka-teka. Saking padha ora kuwat nahan luhe, anak manuk cilik nanging wulune sing rada dawa padha mabur perlu golek pangan dhewe-dhewe.

Manuk lanang bapakne, bareng tekan susuhe kaget banget amarga anake padha ora ana, mula banjur lunga nggoleki mrana-mrene nanging ora ketemu.