Main Menu

Pages

Friday, 25 October 2013

Wayang sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity


Pengakuan wayang di kancah dunia telah dikukuhkan UNESCO sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity.  Sebagai sebuah produk kebudayaan, wayang tidak saja menjadi produk seni visual atau pun produk yang dapat diindera saja, tetapi juga mempunya nilai-nilai adhiluhung yang menjadi latar belakang asal-usul dan keberadaannya.
Asal-usul wayang telah diteliti oleh berbagai ahli, bahkan keberadaan wayang telah berlangsung semenjak 1500 SM. Dr. G.A.J. Hazeu dalam desertasinya berpendapat bahwa pertunjukan bayang-bayang merupakan pertunjukan asli Jawa (Haryanto, 1988).
Dalam perkembangannya, wayang telah mengalami transformasi dari wujud maupun medianya. Dari waktu ke waktu wayang telah mengikuti perkembangan dari budaya tutur telah dikembangkan dengan didukung oleh berbagai macam keterampilan dan seni. Setidaknya ada tujuh unsur seni yang turut serta dalam pengembangan wayang antara lain: 1) Seni Drama; 2) Seni Lukis/Seni Rupa; 3) Seni Pahat/Kriya 4) Seni Sastra; 5) Seni Suara; 6) Seni Karawitan; 7) Seni Gaya (Haryanto, 1988).
Dilihat dari wujud wayangnya, wayang mengalami perubahan bentuk dari masa ke masa. Jenis-jenis wayang dilihat dari media dan ceritanya adalah wayang beber, wayang purwa, wayang madya, wayang gedhog, wayang klithik, wayang krucil, wayang golek, wayang suluk, wayang wong  (Mertosedono, 1986)
Pengaruh pemerintahan dan keagamaan juga sangat berperan dalam perkembangan wayang. Hal ini tidak dapat terpisahkan, karena wayang pada saat itu menjadi media yang digunakan untuk penyebaran ide dan legitimasi kekuasaan, Selain itu juga sebagai media penyebaran agama. David Irvine membagi sejarah perkembangan wayang antara lain asal-usul wayang purwa di Jawa, asal-usul wayang purwa di India, wayang purwa di bawah pengaruh Hindu-Budha, wayang purwa di bawah pengaruh Islam, perkembangan wayang selain wayang purwa dan wayang modern (Irvine, 1996). Sedangkan pengaruh pemerintahan (meski tidak langsung) terlihat pada berbagai macam gagrak (gaya). Gagrak wayang yang sekarang masih terlihat antara lain  gagrak Surakarta, gagrak Yogyakarta, gagrak Kedu, gagrak Jawa Timur, dan gagrak Cirebon. Sementara itu sebagai bentuk kriya yang dipengaruhi oleh interaksi masyarakat juga terdapat sub gagrak yang terdapat di antara daerah-daerah tersebut.
Keberadaan wayang juga tidak luput dari isi yang disampaikan dalam setiap pertunjukan. Tata nilai secara filosofis ini yang kemudian dimanifestasikan dalam berbagai karya cipta yang menaungi wayang. Dasar filosofis ini melatar belakangi bentuk wujud dan kriya, suara/antawencana, gerak (solah bawa) dan tari, suluk gending (musik pengiring), gubahan-gubahan cerita/sanggit, tata letak/layout pertunjukan dan peran masing-masing dalam pertunjukan

Sumber: e-wayang

Gagrak dan Pakem


Pagelaran wayang dan/atau karawitan, di masa sekarang dikenal sebagai suatu pagelaran yang dimainkan menurut suatu ‘gagrak’ (pola, gaya, mahzab, atau corak) dan ‘pakem’ tertentu. Seperti pada lukisan, dikenal ada lukisan gaya naturalis, gaya super-naturalis, gaya abstrak, gaya modern dan sebagainya. Seperti itu pula permainan alat-alat gamelan yang lazim disebut ‘karawitan’. Bahkan kita pada masa sekarang, juga mengenal sejumlah seniman karawitan dan/atau wayang yang menonjol dalam suatu gagrak tertentu.

 

Sangat mungkin, persoalan ‘gagrak’ tidak terlampau dominan di masa lampau. Mungkin hal ini juga disebabkan sulitnya hubungan komunikasi antara daerah yang satu dengan daerah lainnya. Namun, sejalan dengan perkembangan budaya dan hubungan antar daerah (di masa lampau, biasanya merupakan hubungan antar kerajaan atau perdagangan), berkembang pula sifat-sifat kedaerahan yang diterapkan dalam permainan alat-alat gamelan (karawitan) dan juga pada berbagai permainan wayang. Dengan demikian, akhirnya kita mengenal adanya sejumlah bentuk ‘gagrak’ tertentu, sesuai sifat khas kedaerahan tertentu.



Penerapan gagrak tertentu, tidak saja dilakukan terhadap permainan alat-alat gamelan, tetapi juga terhadap garap, cara memainkan alat gamelan, aransemen, komposisi, pagelaran wayang, bentuk-rupa wayang, jenis wayang, cara berbicara (antawacana), cara menceritakan (janturan), sulukan (nyanyian dhalang), cara nembang (menyanyikan), atau senggakan (vokal pengisi). Bahkan, sampai ke persoalan pakaian adat atau pakaian tradisional yang digunakan, juga bisa sangat berbeda. Semua ini, merupakan kekayaan budaya Nusantara yang luar biasa dan tak ternilai harganya. Perkembangan seperti ini, jelas merupakan suatu perkembangan yang bernuansa positif dan patut dihargai, dan diapresiasi.

Pakem dipahami sebagai suatu ‘kesepatan bersama’ yang dirancang, dibuat, disepakati, dan dipatuhi oleh sekelompok orang (seniman) pendukungnya. Pakem, di masa lampau memang dikembangkan di pusat-pusat kekuasaan, seperti keraton atau pusat-pusat pemerintahan (kerajaan). Jadi bayangkanlah, pakem ini di masa sekarang kita kenal sebagai semacam ‘juklak’ (petunjuk pelaksanaan) atau ‘juknis’ (petunjuk teknis), yang digunakan untuk melaksanakan suatu pagelaran karawitan dan/atau wayang.




Pakem, bukanlah sesuatu yang bersifat mutlak, dogmatis, dan sama sekali tidak bisa berubah. Meskipun demikian, dukungan yang sangat kuat terhadap suatu pakem tertentu, nyatanya memang ada. Di masa lampau, dominasi pusat-pusat kekuasaan atau pusat-pusat pemerintahan (kerajaan), memang sangat nyata. Karenanya, di masa lalu terjadinya perubahan pakem boleh dikatakan sangat kecil kemungkinannya untuk terjadi. Namun, sejalan dengan terjadinya perkembangan budaya dan pergeseran pusat-pusat kekuasaan (pemerintahan), pakem bergeser dan menjadi sesuatu hal yang tidak lagi terlalu dipatuhi sebagai sesuatu yang bersifat dogmatis dan wajib diikuti.



Di sekitar tahun 1966, Ki Narto Sabdo, seorang dalang wayang kulit purwa yang berasal dari Kota Semarang, mulai ‘melanggar pakem’ dengan menerapkan dua gagrak yang berbeda, yaitu Surakarta dan Yogyakarta (Mataraman) dalam setiap pagelaran wayang kulit purwa yang dimainkannya. Bahkan, pada masa berikutnya, beliau juga menyisipkan gagrak Banyumasan dan bahkan mengkombinasikannya dengan permainan gaya Sunda. Pada awalnya, semua yang dilakukan Ki Narto Sabdo banyak ditentang orang, terutama mereka yang menjadi pendukung fanatik gagrak-gagrak tersebut. Ketidak-sukaan terhadap apa yang dilakukan Ki Narto Sabdo, bahkan sampai pada tindakan pelarangan mementaskan pagelaran di suatu wilayah tertentu.



Tetapi, fakta yang didapat ternyata berbeda. Kelompok-kelompok orang yang menentang Ki Narto Sabdo, berhadapan dengan masyarakat luas yang tidak mempersoalkan apa itu gagrak atau pakem tertentu. Bagi masyarakat pecintanya, pagelaran wayang kulit purwa yang dilakukan Ki Narto Sabdo bisa diterima khalayak penontonnya, serta ‘sangat memenuhi selera dan keinginan’ mereka. Bahkan pada sekitar tahun 1971, hasil polling yang dilaksanakan oleh RRI (Radio Republik Indonesia), menunjukkan bahwa Ki Narto Sabdo merupakan dhalang paling populer di Indonesia (saat itu).



Sejak peristiwa ini, sedikit demi sedikit, pagelaran wayang kulit purwa yang menerapkan beberapa gagrak sekaligus, mulai cair dan tidak lagi dimusuhi atau dipertentangkan. Bahkan, pada masa sekarang, kita bisa melihat permainan dua atau tiga gagrak yang digabungkan dalam satu pagelaran wayang kulit purwa, sudah merupakan kelaziman yang tidak lagi dipersoalkan.




Meskipun kondisi pada masa sekarang sudah sedemikian cair, tetapi pagelaran wayang (yang manapun), sebenarnya tetap berkiblat pada suatu gagrak dan/atau pakem tertentu. Tentu saja, seringkali dilengkapi dengan perubahan, penyesuaian, dan penggabungan dengan gagrak lainnya. Karenanya, pada masa sekarang kita sangatlah beruntung masih bisa menonton pagelaran-pagelaran wayang sesuai dengan gagrak dan/atau pakem tertentu.


Pagelaran gagrak Surakarta

Pagelaran karawitan dan/atau wayang gagrak Surakarta (Solo), umumnya sangat mengeksploitas permainan alat-alat gamelan yang eksotis, rumit, dan anggun.


Pagelaran gagrak Yogyakarta

Di kalangan masyarakat awam, gagrak Yogyakarta lebih dikenal sebagai gagrak Mataraman. Pagelaran karawitan dan/atau wayang gagrak Yogyakarta (Mataraman), umumnya sangat mengekspolitas permainan alat-alat gamelan yang bersifat ‘asli Mataram’, penuh kerakyatan, dan penuh kebebasan berkespresi.


Pagelaran gagrak Banyumasan

Pagelaran karawitan dan/atau wayang gagrak Banyumasan, lebih dikenal karena sangat dekat dengan gagrak Pesisiran. Umumnya menampilkan pagelaran yang bersifat gembira, penuh kelucuan, kerakyatan, banyak menerapkan ‘senggakan’, dan penuh sorak-sorai kegembiraan.


Pagelaran gagrak Semarangan

Pagelaran karawitan dan/atau wayang gagrak Semarangan, banyak mengeksploitasi gendhing-gendhing berbasis nada pelog. Gagrak Semarangan bisa dikatakan menerima dominasi yang kuat dari gagrak Surakarta. Meskipun demikian, permainan karawitannya yang banyak mengeksploitasi nada pelog, membuatnya sangat berbeda dan berkesan sangat gagah.


Pagelaran gagrak Pesisiran

Pagelaran karawitan dan/atau wayang gagrak Pesisiran, merupakan bentuk pagelaran yang paling banyak mengeksploitasi permainan gendhing-gendhing yang berbasis nada ‘slendro barang miring’ (bernada minor). Ini merupakan salah satu kekhasan yang umumnya tidak terdapat pada gagrak lainnya. Karenanya, permainan wayang, karawitan, dan vokalnya; cenderung menampilkan warna dan suasana yang sendu, romantis, dan juga sedih.


Pagelaran gagrak Jawa Timuran

Pagelaran karawitan dan/atau wayang gagrak Jawa Timuran, mempunyai gaya yang sangat khas dan berbeda dengan gagrak-gagrak lain yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Barat. Kesan kuat, merdeka, enerjik, dan garang; sangatlah terlihat tidak hanya pada permainan alat-alat gamelannya, tetapi juga pada bentuk-rupa wayangnya.


Pagelaran gagrak Bali

Pagelaran karawitan dan/atau wayang gagrak Bali, bisa dikatakan benar-benar bebda dengan yang ada di Pulau Jawa. Banyak orang yang tidak tahu, bahwa gamelan Bali yang dipakai sebagai kelengkapan karawitan wayang gagrak Bali, adalah gamelan berbasis tangga-nada slendro, dan memakai ricikan gamelan berupa gender. Karenanya, pagelaran karawitan dan/atau wayang gagrak Bali menjadi sangat eksotis dan sangat anggun. Ini akan merupakan pagelaran yang amat sangat berbeda dengan pagelaran tari Bali misalnya (yang sudah sangat terkenal).


Pagelaran gagrak Sunda

Pagelaran karawitan dan/atau wayang gagrak Sunda, berkembang sangat pesat sejak sekitar tahun 1970-an. Permainan karawitan gagrak Sunda, mulai menerima banyak perubahan sejak masa itu sampai sekarang. Gaya permainan wayang yang sangat mengeksploitasi tokoh-tokoh wayang tertentu, merupakan salah satu kekhasan pagelaran wayang gagrak Sunda masa sekarang.


Pagelaran gagrak Luar Jawa

Pagelaran karawitan dan/atau wayang gagrak Luar Jawa, seringkali sangat dipengaruhi kondisi geografis, bahasa, dan adat kebiasaan setempat. Karenanya, pada masa sekarang kita bisa melihat gagrak Luar Jawa ini berkembang di beberapa wilayah yang berbeda, dan menghasilkan bentuk pagelaran karawitan dan/atau wayang yang berbeda-beda pula. Misalnya, pagelaran wayang gaya Jambi, Palembang, Banjar-Masin, Lombok, atau lainnya.


Pagelaran gagrak Cirebonan

Pagelaran karawitan dan/atau wayang gagrak Cirebonan, bisa dikatakan merupakan gabungan beberapa gagrak yang berbeda. Umumnya, merupakan gabungan gagrak Sunda (yang sangat dominan), gagrak Banyumasan (Jawa), dan beberapa di antaranya juga dengan gagrak Betawi. Pengaruh agama Islam dan budaya Cina, terasa sangat lekat dengan berbagai pagelaran karawitan dan/atau wayang gagrak Cirebonan.


Pagelaran gagrak Betawi

Pagelaran karawitan dan/atau wayang gagrak Betawi, secara umum sangat dipengaruhi oleh gagrak Sunda dan budaya Cina.


Bram Palgunadi

Wednesday, 16 October 2013

Geguritan: Layang

Layang
~ Turiyo Ragilputra ~
Layang abang sing daktampa ngepasi bedhug ndrandhang
dudu saka rohmayati, erna, zaenatul, utawa endang
layang sing daktampa nalika aku ngadeg ing ngarep lawang
kakirim kanthi kilat nggawa ati mlerah kebranang
“Endi janjimu, Riyo?” mangkono unine ukara pambuka
aku njegreg kamitenggengen kaya tugu sela
“ngaku panggurit ukarane kaya pisuhe buta alengka
apa ora mboktiteni silir resep sing digawa samirana?”
Layang abang layang saka kadang
rasane sumringah kaya jamu cabe lempuyang
swarane ngumandhang kaya cumengklinge bonang
“aja lali kekudanganku, anak lanang”
layang abang saiki sumimpen ing njero ati
kareben dadi bengawan sing banyune terus mili

Geguritan: Rembulan

Rembulan
~ Turiyo Ragilputra ~
Rembulan ing dhadha langit kae
rambute nglawer tekan dhadhaku
apa sliramu ngerti rembulan liyane
si tangan alus sing banget wasis ngracik jamu?
anggur, kencur, apadene bratawali
pupur, gincu, lan esem panjiret ati
apa kudu dituku ing lokalisasi
dipondhong cara putri dililing kaya bayi
kangmangka prauku isih sendhen ing dermagamu, sri?
upama kudu digadhe pira tebusane
yen dituku pira regane
bakal daksembadani waton dudu wujud bandha donya
rerangken lamaran ora nganggo raja brana
tumuruna, tumuruna
dimen rembulan kae gelem leledhang ing taman
selagine aku isih kongang nyipta guritan
rembulan kekalang ing njero dhadha
sunare nyipta esem sadawane mangsa

Geguritan: Aku Nglukis ing Sayuta Langit

Aku Nglukis ing Sayuta Langit
~ Turiyo Ragilputra ~
Delengen aku nglukis ing sayuta langit
kebak warna abang sing cinipta saka getih jaman luput ngandhut
banjur nindakake aborsi kanthi nguntal pil lintang
guguran getihe dakwadhahi genthong angen-angen kagelan
dene kuwase dakcipta nganggo rambut gunung njeblug
lan warna-warna endah liyane cinipta saka pecahan raga
nasib para glandhangan sing kasingkir merga impen
para pamuja patung adipura
O, Kadang-kadangku sing ora nate bosen nyawang lukisan
delengen lukisanku ing sayuta langit kae
kebak akrilik mata nangis, tangan nyadhong, lan sandhangan
Pating sranthil!
warna-warnane banget naturalis awit dumadi saka nyawa-nyawa
sing pecat tanpa dosa

Geguritan: Tangise Anak-anak Jaman

Tangise Anak-anak Jaman
- Turiyo Ragilputra -
Pirengna bareng lakune angin, swara gadhuh ngebaki langit
sawise mataun-taun kali kasatan banyu
lemah bengkah kasatan embun, lan jingglang purnama
kelangan gumyak bocah gojegan
O, ing kene wis maabad watu-watu gumlundhung sadawane wengin
nggawa geni kamurkan kesumat maut; paprangan!
Bumi tinindhih wit-witan ambruk
bleduge sumawur ngurugi swarga
Suprandene marang sapa kudu tetambuh
atas kepribaden sing ginadhe tangan mungsuh
Iki jaman tangise anak-anak piatu
jaman runtuhe eluh kacintakan kaum ibu
kembang luruh luntur lentrih
penyair bisu. Tangan kelu koncatan tasbih
musna regane muksa sukmane
Lan guritan kepayahan
ilang wujud
absurd!
Bosnia! Bosnia!
Ing endi papan kanggo ndhedher rasa asih
muji Allah kanthi ati wening pangucap fasih
sakliyane paprangan! Pirengna ing kalbumu
marang sapa bayi-bayi bakal necep banyu susu
marang sapa bocah-bocah takon kubure ibu
sadawane dalan, o, getih tumetes angganda wangi
tilase subur klanggo ndhedher tanduran mlathi
Pirengna, sepisan maneh, pirengna
sumiyut angin ing mangsa gugur
tintrime landhep samata pedhang
panglima perang sahabat Anshar
Ya, ya, Tsabit al Haq ing kene. Jiwane goncang
Labuh agama luput anggrayang
surban-surban putih kumampul ing kali Yordhan
binalang bathang kaum Israel!

Geguritan: Bu Nyai

Bu Nyai
- Turiyo Ragilputra -
Bu Nyai, rambutmu dipotong poni
kojahmu, beda biyen beda saiki
dhuh, apa kersa sampeyan
mbukani dina-dina nganggo cangkriman?
Senajan wis dadi ombyaking jaman
panggedhe kulina nampa bestelan
nanging apa mesthi kudu ngono, Bu Nyai?
Lho, coba sampeyan resepi ocehe kepodhang kae
“Jawa tanpa jiwa jawane jawa wisa
Jawa tanpa waja jawane jawa ula
Jawa tanpa jawa jawane jawa buta”
Mesthine, ngono ya ngono ning aja ngono
aja disengguh kawula isih kaya kebo
Bu Nyai, ujare bakul sinambi wara
jengandika duwe aji pamungkas aran lebur sekethi
ampuhe kagila-kagila sektine kepati-pati
Saiki coba sampeyan buktekna
galo kae, langit sandhuwure negara katon malengkung
cahya abang panjalmane dewa durangkara
kahanan peteng kapusus pedhut sandyakala
aja pijer mematut dhiri, mingar-minger sangarep kaca
banjur nglencer ing omahe tangga
Bu Nyai
tanduran pari ing karang padesan
gusis direncah gegremetan lan siluman
jrambah paseban ing punjering negara
dadi papan pesta para buta brekasakan
Kepiye Bu Nyai, apa wis pedhot iku kendhali
sing diulur nalika biyen ngripta sesanti?
Bu Nyai, kahanan wis kabesmi dahana
lha jengandika kok enak-enak ngepung ambeng negara!
gambar saking google.com

Geguritan: Manuk Podhang, Anakmu Pira?


Manuk Podhang, Anakmu Pira?
-Turiyo Ragilputra-
ana kembang kasamber angin, gandane arum mangambar
wit waluh ilang pupuse oyod ringin dipangan uler
(parikan apa, ya kang?
embuh, ya dhi
batangane apa, ya yung?
embuh, ya wuk)
Paman Dhoblang:
akeh luwak namur
merak
akeh kecu memba ratu
jagad padhang
_____ wayang
pak dhalang
_____kejengkang
lara, kaki?
mesthi lara. Ning tangise aja kedawa-dawa
mbah buyut keranta-ranta. Galo gae:
gugah tanjak
(lho kok?)
: mumpung kepenak!
(lho kok?)
: mumpung disanak
(lho kok?)
: lho kok?
Ups; tukang satang tiba ing kali
biyen kondhang saiki sepi
akh; tuku pala kok diwenehi kencur?
biyen watak satriya kok saiki mlencur?
(sikon, pakdhe
_____ mbelgedhes!
pergeseran tradhisi, paman
___prek!
wis makmur, mbah
___ora ngadani!
hompilah hompi-jreng
+sapa menang?
–aku!
+mungsuhmu?
-dadi awu!)
manuk podhang, jaman Jepang
wong mini dadi ratu
: ocehe tansah ngumandhang
Anakmu pira? (pitulungpuluh pitu!)
Gambar saking google.com

Geguritan: Kidung Kamardhikan

Kidung Kamardhikan
-Turiyo Ragilputra-
Teja mencorong, o, teja mencorong
cumlorot ngelus pucuk-pucuk gunung lan gisik-gisik samodra
nigas kaca cendhela, nrabas lemah cengkar lan ara-ara
Jroning jiwa – bangkit – tumanceb ing bumi kinasih
nyawiji bareng swara pratelane Soekarno-Hatta
: Merdeka!
Manuk prenjak ngoceh
canthas lan gandhang!
Kembang-kembang mekar
arum lan endah!
Dumeling kidung puja lan pamuji
nguntabake jiwa lan ruh
njejegake pancadan donga-donga
dalan unggahan tumrap ngumbarane kusuma bangsa
Nanging pratandha apa iki?
langit nangis, jagad kelu
ing angkasa srengenge kamangsa grahana
Lemah geter, bumi pater, s’modra ketaman prahara
ana lindhu
ana lemah longsor
ana pageblug
ana wangke mbarang amuk
Ah, kaelakon apa iki?
perang?
gara-gara?
Kiyamat?
utawa pemut???
Ya, iki pemut
awit saka kaca cendhela sing binuka kita weruh
Manungsa kang tumindak mung nganggo lambene
Manungsa kang asih mung nganggo ilate
Manungsa kang krungu mung nganggo kupinge
Manungsa kang welas mung nganggo critane
Manungsa kang aweh mung nganggo janjine
Manungsa kang tirakat mung nganggo lageyane
Ana manuk gagak mabur
kekalang nyilang arah keblat
ijenan dheweke nantang arah tiyupan angin!
Ya Allah, mripate pendirangan
ganep karo cucuke kang landhep
lan cengkreman kukune
kaya bakal nglebur bumi kinasih
Ya Allah, pralambang apa iki?
Ah, ya, kita pancen wis mardika
nanging waspadakna
bocah lanang sing nigas dalan kae
sing mikul damen garing kae
mripate, oh, mripate
kudu netesake eluh kanggo ngucap
: M...e...r...d...e...k...a...!
Para among tani sing mikul pacul kae
sing gupak lumut lan lendhut kae
wetenge, oh, wetenge
kudu kecet lawan geger kanggo ngucap
: M...e...r...d...e...k...a...!
Bocah lola sing ngumbara ing lurung-lurung kae
sing tanpa juntrung upa jiwane kae
badane, oh, badane
kudu nglumpruk kanggo ngucap
: M...e...r...d...e...k...a...!
Ya Allah
aling-alingana jantrane titah-titah sing kasisih
sing tapak lan tilase ilang kasaput lebu
bumi kinasih iki
Sing ilang saka gumruhe surak :
Merdeka!




gambar saking google.com

Friday, 11 October 2013

SASTRA JENDRA HAYUNINGRAT

Rahasia Serat Sastrajendrahayuningrat Pangruwa Ting Diyu.

Dalam lakon wayang Purwa, kisah Ramayana bagian awal diceritakan asal muasal keberadaan Dasamuka atau Rahwana tokoh raksasa yang dikenal angkara murka, berwatak candala dan gemar menumpahkan darah. Dasamuka lahir dari ayah seorang Begawan sepuh sakti linuwih gentur tapanya serta luas pengetahuannya yang bernama Wisrawa dan ibu Dewi Sukesi yang berparas jelita tiada bandingannya dan cerdas haus ilmu kesejatian hidup. Bagaimana mungkin dua manusia sempurna melahirkan raksasa buruk rupa dan angkara murka ? Bagaimana mungkin kelahiran “ sang angkara murka “ justru berangkat dari niat tulus mempelajari ilmu kebajikan yang disebut Serat Sastrajendra.


Ilmu untuk Meraih Sifat Luhur Manusia.

Salah satu ilmu rahasia para dewata mengenai kehidupan di dunia adalah Serat Sastrajendra. Secara lengkap disebut Serat Sastrajendrahayuningrat Pangruwatingdiyu. Serat = ajaran, Sastrajendra = Ilmu mengenai raja. Hayuningrat = Kedamaian. Pangruwating = Memuliakan atau merubah menjadi baik. Diyu = raksasa atau keburukan. Raja disini bukan harfiah raja melainkan sifat yang harus dimiliki seorang manusia mampu menguasai hawa nafsu dan pancainderanya dari kejahatan. Seorang raja harus mampu menolak atau merubah keburukan menjadi kebaikan. Pengertiannya bahwa Serat Sastrajendra adalah ajaran kebijaksanaan dan kebajikan yang harus dimiliki manusia untuk merubah keburukan mencapai kemuliaan dunia akhirat. Ilmu Sastrajendra adalah ilmu makrifat yang menekankan sifat amar ma’ruf nahi munkar, sifat memimpin dengan amanah dan mau berkorban demi kepentingan rakyat.

Gambaran ilmu ini adalah mampu merubah raksasa menjadi manusia. Dalam pewayangan, raksasa digambarkan sebagai mahluk yang tidak sesempurna manusia. Misal kisah prabu Salya yang malu karena memiliki ayah mertua seorang raksasa. Raden Sumantri atau dikenal dengan nama Patih Suwanda memiliki adik raksasa bajang bernama Sukrasana. Dewi Arimbi, istri Werkudara harus dirias sedemikian rupa oleh Dewi Kunti agar Werkudara mau menerima menjadi isterinya. Betari Uma disumpah menjadi raksesi oleh Betara Guru saat menolak melakukan perbuatan kurang sopan dengan Dewi Uma pada waktu yang tidak tepat. Anak hasil hubungan Betari Uma dengan Betara Guru lahir sebagai raksasa sakti mandra guna dengan nama “ Betara Kala “ (kala berarti keburukan atau kejahatan). Sedangkan Betari Uma kemudian bergelar Betari Durga menjadi pengayom kejahatan dan kenistaan di muka bumi memiliki tempat tersendiri yang disebut “ Kayangan Setragandamayit “. Wujud Betari Durga adalah raseksi yang memiliki taring dan gemar membantu terwujudnya kejahatan.


Melalui ilmu Sastrajendra maka simbol sifat sifat keburukan raksasa yang masih dimiliki manusia akan menjadi dirubah menjadi sifat sifat manusia yang berbudi luhur. Karena melalui sifat manusia ini kesempurnaan akal budi dan daya keruhanian mahluk ciptaan Tuhan diwujudkan. Dalam kitab suci disebutkan bahwa manusia adalah ciptaan paling sempurna. Bahkan ada disebutkan, Tuhan menciptakan manusia berdasar gambaran dzat-Nya. Filosof Timur Tengah Al Ghazali menyebutkan bahwa manusia seperti Tuhan kecil sehingga Tuhan sendiri memerintahkan para malaikat untuk bersujud. Sekalipun manusia terbuat dari dzat hara berbeda dengan jin atau malaikat yang diciptakan dari unsur api dan cahaya. Namun manusia memiliki sifat sifat yang mampu menjadi “ khalifah “ (wakil Tuhan di dunia).


Namun ilmu ini oleh para dewata hanya dipercayakan kepada Wisrawa seorang satria berwatak wiku yang tergolong kaum cerdik pandai dan sakti mandraguna untuk mendapat anugerah rahasia Serat Sastrajendrahayuningrat Diyu.





Ketekunan, ketulusan dan kesabaran Begawan Wisrawa menarik perhatian dewata sehingga memberikan amanah untuk menyebarkan manfaat ajaran tersebut. Sifat ketekunan Wisrawa, keihlasan, kemampuan membaca makna di balik sesuatu yang lahir dan kegemaran berbagi ilmu. Sebelum “ madeg pandita “ ( menjadi wiku ) Wisrawa telah lengser keprabon menyerahkan tahta kerajaaan kepada sang putra Prabu Danaraja. Sejak itu sang wiku gemar bertapa mengurai kebijaksanaan dan memperbanyak ibadah menahan nafsu duniawi untuk memperoleh kelezatan ukhrawi nantinya. Kebiasaan ini membuat sang wiku tidak saja dicintai sesama namun juga para dewata.

--> Selengkapnya silakan dibaca di sini 
(Artikel ini bersumber dari tulisan Alang-Alang Kumitir (klik))
 Sumber gambar : klik

Tuesday, 8 October 2013

Asal-Usule Kutha Semarang


Asal-Usule Kutha Semarang


Kacarita ing Kasultanan Demak ana sawijining pangeran kang ajejuluk Made Panda. Panjenengane kagungan putra aran Raden Pandan Arang.


Ing sawijining dina Raden Pandan Arang sarta para pandhereke nyumurupi bab kang nyalawadi. Ing lemah kang subur iku prenahe sela-selane tanduran tuwuh wit asem sing pating plencar arang-arang.


“He, sedulurku kabeh padha gatekna,” pangandikane Raden Pandan Arang marang para pandhereke.


“Wonten menapa Raden?” Pitakone saperangan pandherek.


“Sawangen! Ing sela-sela tanduran kang subur iku, tuwuh wit asem,” pangandikane raden Pandan Arang.


“Oh, inggih leres Raden.” Tumangape wong-wong sing dherekake.

“Ning kok sajak nyalawadi temen,” Pitakone wong-wong mau rada gumun.


“Aneh, wit-witan asem iku thukule rada adoh-adoh utawa arang-arang. Kamangka lemah kene subur. Mesthine tuwuhe kerep ora arang-arang ngene iki”.


“Inggih leres Raden, punika tuwuhipun sajak nyalawadi,” sambunge para pandhereke.


“Mula iku para sedulur, padha seksenana. Amarga iku, thukul wit asem sing arang-arang wewengkon iki dak arani Semarang -- (diarani Semarang – saka asem arang).


(Kapendhet saking Buku Piwulang Basa Kelas 9; dening:Sri Suparmi lan Ririn Safitri).

Klik
Ki Pandan Arang (Wikipedia Jawa) 
Ki Pandan Arang (Wikipedia Indonesia) 
Seputar Semarang

(Asal-Usul Kota Semarang ; Asal Usul Semarang ; Semarang)

Aja ngomong waton, nanging ngomonga nganggo waton



Aja ngomong waton, nanging ngomonga nganggo waton

Tegese yen omong aja mung waton muni, nanging prayogane nggunakake landhesan sing gumathok, cetha bener, lan pener. Pepeling tumrap wong Jawa sing wose aja seneng glenyengan, ngrasani liyan, utawa nyatur wewadi sing ora pantes dingerteni wong akeh. Apa sing dikandhakake kudu cetha lan kepriye carane kandha kudu nganggo subasita, amrih ora nuwuhake panyakrabawa sing kleru (kleru penampa) tumrap sing diajak kekandhan.


----


Artinya jangan asal bicara, tetapi berbicaralah dengan menggunakan landasan yang jelas. Peribahasa ini juga merupakan larangan agar siapa pun tidak gampang berbicara, menyebarkan kejelekan orang yang belum terbukti kebenarannya. Selain itu, jika berbicara juga harus menerapkan sopan santun. Apa yang dibicarakan juga menggunakan tata krama yang benar sehingga tidak meninggalkan prasangka buruk.

(Artikel serupa :
Falsafah jawa : Aja Ngomong Waton, Nanging Ngomonga Nganggo Waton )