Main Menu

Pages

Monday, 15 September 2008

Anoman obong

ANOMAN OBONG


Bong obong obong obong obong obong obong
Bong obong obong obong obong obong obong

Caritane wayang Ramayana
Ing Negara Ngalengka diraja
Ratu buta Rahwana raja
Gawe geger nyolong Dewi Sinta

Anoman si kethek putih
Sowan taman Sinta dijak mulih
Konangan Indrajit lan Patih
Ning Anoman ora wedi getih

E lha dalah Ngalengka diobong ( diobong 2X )
Togog mbilung wa a o padha pating domblong
Omah gedhe kabeh dadi areng ( dadi areng 2X )

Dasamuka nangis gereng-gereng
I o a e, ae, a i o a e
I o a e, ae, a i o, i o, a e



ANOMAN WAS FIRED


Fire fire fire fire fire fire fire
Fire fire fire fire fire fire fire

The story of Ramayana’s puppet
In the country of Alengka diraja
King of The Titan Rahwana
He made commotion who kidnapped princess Sinta

Anoman The White Monkey
He visited garden to invite Sinta back home
Catch out by Indrajit and The Governor
But Anoman wasn’t afraid the blood

Wow Alengka was fired ( was fired 2X )
Togog shout wa a o they were very amazed
All the big houses become charcoal ( become charcoal 2X )

Dasamuka was cried so hardly
I o a e, ae, a i o a e
I o a e, ae, a i o, i o, a e

Tuesday, 13 May 2008

Kabupaten Pemalang

1. Sejarah

Keberadaan Pemalang dapat dibuktikan berdasarkan berbagai temuan arkeologis pada masa prasejarah. Temuan itu berupa punden berundak dan pemandian di sebelah Barat Daya Kecamatan Moga. Patung Ganesa yang unik, lingga, kuburan dan batu nisan di desa Keropak. Selain itu bukti arkeologis yang menunjukkan adanya unsur-unsur kebudayaan Islam juga dapat dihubungkan seperti adanya kuburan Syech Maulana Maghribi di Kawedanan Comal. Kemudian adanya kuburan Rohidin, Sayyid Ngali paman dari Sunan Ampel yang juga memiliki misi untuk mengislamkan penduduk setempat.

Eksistensi Pemalang pada abad XVI dapat dihubungkan dengan catatan Rijklof Van Goens dan data di dalam buku W. Fruin Mees yang menyatakan bahwa pada tahun 1575 Pemalang merupakan salah satu dari 14 daerah merdeka di Pulau Jawa, yang dipimpin oleh seorang pangeran atau raja. Dalam perkembangan kemudian, Senopati dan Panembahan Sedo Krapyak dari Mataram menaklukan daerah-daerah tersebut, termasuk di dalamnya Pemalang. Sejak saat itu Pemalang menjadi daerah vasal Mataram yang diperintah oleh Pangeran atau Raja Vasal.

Pemalang dan Kendal pada masa sebelum abad XVII merupakan daerah yang lebih penting dibandingkan dengan Tegal, Pekalongan dan Semarang. Karena itu jalan raya yang menghubungkan daerah pantai utara dengan daerah pedalaman Jawa Tengah (Mataram) yang melintasi Pemalang dan Wiradesa dianggap sebagai jalan paling tua yang menghubungkan dua kawasan tersebut.

Populasi penduduk sebagai pemukiman di pedesaan yang telah teratur muncul pada periode abad awal Masehi hingga abad XIV dan XV, dan kemudian berkembang pesat pada abad XVI, yaitu pada masa meningkatnya perkembangan Islam di Jawa di bawah Kerajaan Demak, Cirebon dan kemudian Mataram.

Pada masa itu Pemalang telah berhasil membentuk pemerintahan tradisional pada sekitar tahun 1575. Tokoh yang asal mulanya dari Pajang bernama Pangeran Benawa. Pangeran uu asal mulanya adalah Raja Jipang yang menggantikan ayahnya yang telah mangkat yaitu Sultan Adiwijaya.

Kedudukan raja ini didahului dengan suatu perseturuan sengit antara dirinya dan Aria Pangiri.

Sayang sekali Pangeran Benawa hanya dapat memerintah selama satu tahun. Pangeran Benawa meninggal dunia dan berdasarkan kepercayaan penduduk setempat menyatakan bahwa Pangeran Benawa meninggal di Pemalang, dan dimakamkan di Desa Penggarit (sekarang Taman Makam Pahlawan Penggarit).

Pemalang menjadi kesatuan wilayah administratif yang mantap sejak R. Mangoneng, Pangonen atau Mangunoneng menjadi penguasa wilayah Pemalang yang berpusat di sekitar Dukuh Oneng, Desa Bojongbata pada sekitar tahun 1622. Pada masa ini Pemalang merupakan apanage dari Pangeran Purbaya dari Mataram. Menurut beberapa sumber R Mangoneng merupakan tokoh pimpinan daerah yang ikut mendukung kebijakan Sultan Agung. Seorang tokoh yang sangat anti VOC. Dengan demikian Mangoneng dapat dipandang sebagai seorang pemimpin, prajurit, pejuang dan pahlawan bangsa dalam melawan penjajahan Belanda pada abad XVII yaitu perjuangan melawan Belanda di bawah panji-panji Sultan Agung dari Mataram.

Pada sekitar tahun 1652, Sunan Amangkurat II mengangkat Ingabehi Subajaya menjadi Bupati Pemalang setelah Amangkurat II memantapkan tahta pemerintahan di Mataram setelah pemberontakan Trunajaya dapat dipadamkan dengan bantuan VOC pada tahun 1678.

Menurut catatan Belanda pada tahun 1820 Pemalang kemudian diperintah oleh Bupati yang bernama Mas Tumenggung Suralaya. Pada masa ini Pemalang telah berhubungan erat dengan tokoh Kanjeng Swargi atau Kanjeng Pontang. Seorang Bupati yang terlibat dalam perang Diponegoro. Kanjeng Swargi ini juga dikenal sebagai Gusti Sepuh, dan ketika perang berlangsung dia berhasil melarikan diri dari kejaran Belanda ke daerah Sigeseng atau Kendaldoyong. Makam dari Gusti Sepuh ini dapat diidentifikasikan sebagai makam kanjeng Swargi atau Reksodiningrat. Dalam masa-masa pemerintahan antara tahun 1823-1825 yaitu pada masa Bupati Reksadiningrat. Catatan Belanda menyebutkan bahwa yang gigih membantu pihak Belanda dalam perang Diponegoro di wilayah Pantai Utara Jawa hanyalah Bupati-bupati Tegal, Kendal dan Batang tanpa menyebut Bupati Pemalang.

Sementara itu pada bagian lain dari Buku P.J.F. Louw yang berjudul De Java Oorlog van 1825 -1830 dilaporkan bahwa Residen Van den Poet mengorganisasi beberapa barisan yang baik dari Tegal, Pemalang dan Brebes untuk mempertahankan diri dari pasukan Diponegoro pada bulan September 1825 sampai akhir Januari 1826. Keterlibatan Pemalang dalam membantu Belanda ini dapat dikaitkan dengan adanya keterangan Belanda yang menyatakan Adipati Reksodiningrat hanya dicatat secara resmi sebagai Bupati Pemalang sampai tahun 1825. Dan besar kemungkinan peristiwa pengerahan orang Pemalang itu terjadi setelah Adipati Reksodiningrat bergabung dengan pasukan Diponegoro yang berakibat Belanda menghentikan Bupati Reksodiningrat.

Pada tahun 1832 Bupati Pemalang yang Mbahurekso adalah Raden Tumenggung Sumo Negoro. Pada waktu itu kemakmuran melimpah ruah akibat berhasilnya pertanian di daerah Pemalang. Seperti diketahui Pemalang merupakan penghasil padi, kopi, tembakau dan kacang. Dalam laporan yang terbit pada awal abad XX disebutkan bahwa Pemalang merupakan afdeling dan Kabupaten dari karisidenan Pekalongan. Afdeling Pemalang dibagi dua yaitu Pemalang dan Randudongkal. Dan Kabupaten Pemalang terbagi dalam 5 distrik. Jadi dengan demikian Pemalang merupakan nama kabupaten, distrik dan Onder Distrik dari Karisidenan Pekalongan, Propinsi Jawa Tengah.

Pusat Kabupaten Pemalang yang pertama terdapat di Desa Oneng. Walaupun tidak ada sisa peninggalan dari Kabupaten ini namun masih ditemukan petunjuk lain. Petunjuk itu berupa sebuah dukuh yang bernama Oneng yang masih bisa ditemukan sekarang ini di Desa Bojongbata. Sedangkan Pusat Kabupaten Pemalang yang kedua dipastikan berada di Ketandan. Sisa-sisa bangunannya masih bisa dilihat sampai sekarang yaitu disekitar Klinik Ketandan (Dinas Kesehatan).

Pusat Kabupaten yang ketiga adalah kabupaten yang sekarang ini (Kabupaten Pemalang dekat Alun-alun Kota Pemalang). Kabupaten yang sekarang ini juga merupakan sisa dari bangunan yang didirikan oleh Kolonial Belanda. Yang selanjutnya mengalami beberapa kali rehab dan renovasi bangunan hingga kebentuk bangunan joglo sebagai ciri khas bangunan di Jawa Tengah.

Dengan demikian Kabupaten Pemalang telah mantap sebagai suatu kesatuan administratif pasca pemerintahan Kolonial Belanda. Secara biokratif Pemerintahan Kabupaten Pemalang juga terus dibenahi. Dari bentuk birokratif kolonial yang berbau feodalistik menuju birokrasi yang lebih sesuai dengan perkembangan dimasa sekarang.

Sebagai suatu penghomatan atas sejarah terbentuknya Kabupten Pemalang maka pemerintah daerah telah bersepakat untuk memberi atribut berupa Hari Jadi Pemalang. Hal ini selalu untuk rnemperingati sejarah lahirnya Kabupaten Pemalang juga untuk memberikan nilai-nilai yang bernuansa patriotisme dan nilai-nilai heroisme sebagai cermin dari rakyat Kabupaten Pemalang.

Penetapan hari jadi ini dapat dihubungkan pula dengan tanggal pernyataan Pangeran Diponegoro mengadakan perang terhadap Pemerintahan Kolonial Belanda, yaitu tanggal 20 Juli 1823.

Namun berdasarkan diskusi para pakar yang dibentuk oleh Tim Kabupaten Pemalang Hari Jadi Pemalang adalah tanggal 24 Januari 1575. Bertepatan dengan Hari Kamis Kliwon tanggal 1 Syawal 1496 Je 982 Hijriah. Dan ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Dati II Kabupaten Pemalang Nomor 9 Tahun 1996 tentang Hari Jadi Kabupaten Pemalang.

Tahun 1575 diwujudkan dengan bentuk Surya Sengkolo Lunguding Sabda Wangsiting Gusti yang mempunyai arti harfiah : kearifan, ucapan/sabdo, ajaran, pesan-pesan, Tuhan, dengan mempunyai nilai 5751.

Sedangkan tahun 1496 je diwujudkan dengan Candra Sengkala Tawakal Ambuko Wahananing Manunggal yang mempunyai arti harfiah berserah diri, membuka, sarana/wadah/alat untuk, persatuan/menjadi satu dengan mempunyai nilai 6941.

Adapun Sesanti Kabupaten Pemalang adalah Pancasila Kaloka Panduning Nagari dengan arti harfiah lima dasar, termashur/terkenal, pedoman/bimbingan, negara/daerah dengan mempunyai nilai 5751

2. Geografi

Bagian utara Kabupaten Pemalang merupakan dataran rendah, sedang bagian selatan berupa pegunungan, dengan puncaknya Gunung Slamet (di perbatasan dengan Kabupaten Tegal dan Kabupaten Purbalingga), gunung tertinggi di Jawa Tengah. Sungai terbesar adalah Kali Comal, yang bermuara di Laut Jawa (Ujung Pemalang).

Ibukota kabupaten ini berada di ujung barat laut wilayah kabupaten, berbatasan langsung dengan Kabupaten Tegal. Pemalang berada di jalur pantura Jakarta-Semarang-Surabaya. Selain itu terdapat jalan provinsi yang menghubungkan Pemalang dengan Purbalingga. Salah satu obyek wisata terkenal di Pemalang adalah Pantai Widuri.

Kabupaten Pemalang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang terletak di pantai utara Pulau Jawa. Secara astronomis Kabupaten Pemalang terletak antara 1090 17' 30" - 1090 40' 30" BT dan 80 52' 30" - 70 20' 11" LS.

Dari Semarang (Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah), Kabupaten ini berjarak kira-kira 135 Km ke arah barat, atau jika ditempuh dengan kendaraan darat memakan waktu lebih kurang 2-3 jam. Kabupaten Pemalang memiliki luas wilayah sebesar 111.530 km2. Wilayah ini di sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa, di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Purbalingga dan di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Pekalongan dan di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Tegal. Dengan demikian Kabupaten Pemalang memiliki posisi yang strategis, baik dari sisi perdagangan maupun pemerintahan.

Kabupaten Pemalang memiliki topografi bervariasi. Bagian Utara Kabupaten Pemalang merupakan daerah pantai dengan ketinggian berkisar antara 1-5 meter di atas permukaan laut. Bagian tengah merupakan dataran rendah yang subur dengan ketinggian 6-15 m di atas permukaan laut dan bagian Selatan merupakan dataran tinggi dan pengunungan yang subur serta berhawa sejuk dengan ketinggian 16-925 m di atas permukaan laut. Wilayah Kabupaten Pemalang ini dilintasi dua buah sungai besar yaitu Sungai Waluh dan Sungai Comal yang menjadikan sebagian besar wilayahnya merupakan daerah aliran sungai yang subur.

3. Pembagian administratif

Kabupaten Pemalang terdiri atas 14 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah desa dankelurahan. Pusat pemerintahan berada di Kecamatan Pemalang.

Di samping Pemalang, kota-kota kecamatan lainnya yang cukup signifikan adalah Comal, Petarukan, Ulujami, Randudongkal dan Moga.

Kabupaten Pemalang kebanyakan merupakan suku Jawa. Di bagian barat dan selatan, penduduknya bertutur dalam bahasa Jawa dialek Tegal, sedangkan di bagian timur seperti di Petarukan, Comal, Ulujami, Ampelgading dan Bodeh bertutur dalam bahasa Jawa dialek Pekalongan.

4. Rupa-rupa

  • Makanan khas Pemalang antara lain grombyang dan kamir.
  • Makanan yang terkenal adalah kepiting dan rajungan asam manis.
  • Obyek wisata yang terkenal adalah Pantai Blendung, Pantai Widuri, dan daerah pembuatan kain tenun ATBM

Sumber: wikipedia

Monday, 5 May 2008

Khas Pemalang: Grombyang


Apa sih panganan khas Pemalang?
 
NASI GROMBYANG
Bisane didarani grombyang?
Sebabe sega karo duduhe kuwe akeh duduhe, dadi ning digawa goyang-goyang (grombyang-grombyang)…. kuwe jare wong Pemalang dhewek…

Makalah Serat Wulangreh

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Karya sastra merupakan manifestasi kehidupan jiwa bangsa dari abad ke abad akan menjadi peninggalan kebudayaan yang sangat tinggi nilainya. Karena itu karya sastra perlu sekali digali dan dipelajari. Karya sastra memberikan khasanah sejarah ilmu pengetahuan yang beraneka ragam. Hasil penggalian dan mempelajari karya sastra akan memberikan rasa kepuasan rohani dan kecintaan pada kebudayaan sendiri yang selanjutnya akan merupakan alat ampuh untuk membendung arus masuknya pengaruh kebudayaan asing yang tidak sesuai dengan kepentingan pembangunan bangunan bangsa Indonesia. Sastra berkembang sejak lama sekali, yaitu sejak masa Jawa kuno. Setiap zaman pasti mempunyai hasil sastra. Diantaranya pada masa Jawa kuno dihasilkan karya sastra Jawa berupa puisi yang disebut kakawin. Kemudian pada zaman pujangga baru puisi yang berkembang identik pada masa Islam berupa suluk yang berisi tentang ajaran tasawuf dan mistik. Sedangkan pada masa kerajaan pajang puisi tersebut berbentuk tembang macapat. Hal ini didukung oleh bukti-bukti sejarah berupa buku-buku peninggalan yang masih ada dalam bentuk tembang. Salah satunya adalah “Serat Wulangreh”. Serat Wulangreh terdiri dari 13 tembang yang tergabung dalam tembang macapat, yaitu; Tembang Dhandanggula, Tembang Kinanthi, Tembang Gambuh, Tembang Pangkur, Tembang Maskumambang, Tembang Megatruh atau disebut juga Tembang Duduk Wuluh, Tembang Durma, Tembang Wirangrong, Tembang Pucung, Tembang Mijil, Tembang Asmarandana, Tembang Sinom, dan Tembang Girisa.

Serat Wulangreh adalah karya dari Kanjeng Susuhunan Pakubuwana IV Surakarta Hadiningrat, pada tahun 1768-1820 M , di kraton Surakarta. Serat tersebut sudah dialih tuliskan tetapi masih menggunakan bahasa jawa juga disertai pula dengan terjemahan dari masing-masing pada dalam tembang-tembang yang terdapat dalam Serat Wulangreh tersebut.

B. Permasalahan

Setelah kita mengetahui latar belakang masalah, yakni tentang keberadaan karya sastra, khususnya karya sastra Serat Wulangreh, penyusun berusaha untuk mengkajinya dengan menggunakan teori resepsi sastra. Resepsi sastra adalah teori sastra yang megkaji penerimaan atau penyambutan pembaca dalam membaca suatu karya sastra.

C. Tujuan

Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang karya sastra Serat Wulangreh berserta kajiannya. Penyusun berusaha mengkajinya dengan teori resepsi sastra, yaitu teori yang berkaitan dengan penerimaan atau penyambutan pembaca terhadap suatu karya sastra. Tujuan lainnya supaya masyarakat lebih mengenal dan mau mempelajarinya. Selain itu adalah untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pengkajian Puisi Jawa Tradisional semester II tahun akademik 2007/2008.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Serat Wulangreh

Serat Wulangreh disusun menggunakan tembang macapat. Masing-masing tembang macapat mempunyai sifat atau watak sesuai dengan penggunaan dan kepentingannya. Menurut Sardjijo (1991), watak tembang adalah sebagai berikut : tiap nama tembang macapat mempunyai sifat/watak masing-masing. Oleh karena itu pemaparan atau penggambaran sesuatu hal biasanya diselaraskan dengan sifat /watak tembangnya. Sifat tembang macapat itu dapat dikatakan sebagai berikut :

a. Pucung : Berwatak “kendho tanpa greget”, lucu agak menggelikan, sesuka hati. Cocok untuk menggambarkan hal-hal yang kurang bersungguh-sungguh, seenaknya dan cocok untuk memberikan ajaran yang baik “piwulang becik”.

b. Gambuh : “Rumaket, kulina, wanuh wani”. Cocok untuk mengungkapkan hal-hal yang bersifat kekeluargaan (sudah akrab), nasihat kependidikan yang mengandung kesungguhan hati.

c. Pangkur : Bersifat keras, bergairah “sereng, nepsu, nggambarake kekarepan kang ora gampang nglokro”, cocok untuk memberikan nasehat yang keras, cinta berapi-api, cerita hal-hal yang bersifat keras.

d. Durma : Berwatak “galak, jengkel, utawa muring” keras, marah, bergairah. Cocok untuk mengungkapkan kemarahan, cerita perang, perasaan jengkel

e. Maskumambang : “Sedhih, susah, nalangsa, kelara-lara, ngeres-eresi”, sedih, memilukan. Cocok untuk melukiskan perasaan sedih, memilukan hati.

f. Megatruh : Bersifat sedih, prihatin, “Sedhih, susah, ora duwe pangarep-arep” menyesal. Cocok untuk cerita yang mengandung rasa penyesalan, prihatin dan sebagainya

g. Wirangrong : Bersifat berwibawa, sesuai untuk mengungkapkan keadaan yang mengandung keagungan, keindahan alam, pendidikan/pengajaran.

h. Mijil : Berwatak cinta “Wedharing rasa utawa ati”, prihatin. Cocok untuk memberikan pendidikan/pengajaran

i. Kinanthi : Bersifat senang, cinta kasih “Seneng, asih, lan trisna”. Cocok untuk menggambarkan hal-hal yang agak lucu serba sesuka hati.

j. Asmarandana : Berwatak sedih, cinta asmara ”tersna, sengsem, sedhih, prihatin”, cocok untuk penggambaran hal-hal yang mengandung kesedihan cinta asmara.Dhandhanggula : Berwatak luwes, menyenangkan “Luwes, lan ngresepake”. Sesuai untuk mengungkapkan segala hal/keadaan.

k. Sinom : Bersifat lincah, “Grapyak, semanak, nanging sok-sok wekasane dadi sereng marga ora keturutan karepe”. Cocok untuk melukiskan suasana kelincahan, berpidato, nasihat dan sebagainya.

l. Girisa : Berwatak gagah, berwibawa, wanti-wanti, sesuai untuk cerita yang mengandung pendidikan atau pengajaran dan nasihat.

1. DHANDANGGULA

Tembang Dhandanggula dalam Serat WulangReh terdiri dari 8 pada, inti dari tembang tersebut yaitu “nasihat tentang mencari guru kebatinan”. Sebagai orang yang belum banyak memiliki ilmu yang cukup atau masih dangkal ilmunya, kita tidak boleh lantas memberikan nasihat-nasihat atau ceramah bagi batin orang lain seperti halnya kita telah memiliki ilmu yang “mumpuni” atau luas hanya karena ingin dipuji, padahal banyak orang yang mencemooh. Bahkan memaksakan diri dengan menggunakan kata yang muluk-muluk, padahal seharusnya nasihat-nasihat tersebut dipelajari dengan tekun.

Tempat rasa atau batin yang sesungguhnya ada dalam Qur’an, namun itu hanya berlaku bagi orang yang telah mengerti betul akan makna dan isinya, karena jika menafsirkannya asal-asalan maka dapat menyesatkan dan kita akan terjerumus kedalam kesesatan karena telah salah mengartikan. Sehingga apabila ingin mengerti kita harus berguru kepada yang lebih tahu.

Guru yang pantas adalah yang baik martabatnya, tahu akan hukum, tekun beribadah, dan saleh. Terlebih lagi jika bertemu orang yang telah meninggalkan segala nafsu dunianya dan tidakl mengharap imbalan. Maka itulah orang yang paling pantas sebagai guru untuk menambah pengetahuan kita.

Apabila ada orang yang, membicarakan ilmu, namun menyimpang atau tidak sesuai dengan dalil, hadits, ijma, dan kiyas, maka kita tidak boleh lantas percaya begitu saja. Namun sebaiknya dipilih yang sesuai dengan empat perkara tersebut disamping masih ada lagi yag dapat dijadikan pegangan selain empat hal diatas. Namun jika yang empat hal tersebut tidak terpenuhi, maka akan dapat meyimpang dari aturan pada akhirnya karena telah merasa pandai. Hanya melakukan sholat saja namun meninggalkan ibadah yang lain dan meninggalkan syariat dengan tidak mengindahkan batal dan haram sehingga merusak aturan agama.

2. KINANTHI

Terdiri dari 16 pada, berisi tentang “laku demi kebaikan amal”. Disini dijelaskan bahwa, kita harus rajin mempelajari dan melatih batin agar bisa pandai mengerti isyarat dengan cara mengurangi makan dan minum (berpuasa), bersifat wajar, jangan berkumpul dengan orang-orang berperilaku buruk karena ditakutkan watak buruknya akan menular. Tetapi walaupun wujudnya sangat buruk namun wataknya baik maka orang yang demikian itu pantas diakrabi. Supaya bisa mendapat tambahan pengetahuan darinya. Kita sebagai anak muda hendaknya takut dan hormat kepada orang tua secara lahir dan batin. Menuruti semua nasehatnya, serta jangan menolak nasihat-nasihat yang baik. Inti dari tembang ini adalah pesan untuk berlaku baik. Dimana kita sebagai manusia yang diberi akal harus bisa menempatkan diri dalam pergaulan masyarakat, harus bisa memilih apa yang dipilih dan memilah apa yang tidak dipilih, waspada terhadap orang yang baik sekalipun karena bisa saja ada maksud terselubung di balik kebaikannya serta mau membuka diri dengan mendengarkan cerita-cerita dan nasihat dari orang lain.

3. PANGKUR

Terdiri dari 17 pada, petuah tentang baik buruk tingkah laku itu telah nampak dalam gerak-geriknya.

Yang diwujudkan dalam tembang pangkur adalah kewajiban yang harus dijalankan manusia yaitu mengetahui perbuatan baik atau buruk dan mentaati aturan-aturan yang ada dalam masyarakat, berlaku sopan dan perhitungan (bisa mengira-ngira) setiap tingkah lakunya baik duduk, bangun, pergi, berbicara ataupun tidur. Dalam gatra ke-4 ditekankan bahwa apabila ada orang yang tidak memakai kira-kira dalam perbuatannya, kasar, suka sekehendak sendiri, tidaklah pantas berkumpul dengan orang yang banyak karena pada akhirnya akan membuat celaka.

Sehubungan dengan sopan santun dan budi pekerti, tindak-tanduk seseorang dapat dilihat dari pembicaraan dan sikapnya. Maka jika kita tidak bisa berbicara baik maka akan lebih baik jika kita diam. Jangan bisanya cuma membeberkan kejelekan orang lain kemana-mana, kebaikannya disembunyikan dan kebaikan sendiri ditonjolkan, orang yang seperti itu adalah orang yang picik, dan serakah, tak pernah mempunyai kepuasaan dalam hatinya. Jangan pernah memiliki watak yang : 1) licin, 2) lemer, 3) genjah, 4) angrong prasanakan (merongrong persaudaraan), 5) nyumur gumuling= ibarat sumur yang digulingkan dan 6) ambuntut arit : ibarat berekor sabit.

Karena kesemuanya itu menunjukkan perwatakan yang tak bisa membawa seseorang kepada keselamatan. Yang dinamakan licin adalah orang yang tidak punya pendirian yang tetap, sehingga sukar sekali diikuti maksudnya, dan tidak bisa dipegang pembicaraanya. Sedangkan yang dikatakan lemeran adalah orang yang wataknya seperti pelacur, genjah adalah orang yang senang berganti-ganti pekerjaan tetapi semuanya tak ada yang selesai, angrong prasanak (merongrong persaudaraan) ialah orang yang sedang memperkosa istri dan saudaranya atau pembantunya sendiri serta sahabat dan teman-teman sendiri, memperkosa disini berarti memperkosa hak. Nyumur gumuling ialah orang yang sembrono, tidak bisa menyimpan rahasia, setiap ada keramaian akan selalu membeberkan semua rahasia yang diketahuinya dan pastinya segala yang diucapkannya hanya untuk mencari keuntungan dirinya sendiri.

4. MASKUMAMBANG

Terdiri dari 34 pada, berisi nasehat sesembahan yang harus disembah. Dalam tembang maskumambang tersebut disebutkan bahwa sesembahan yang wajib disembah itu adalah :

1. Orang tua, ayah dan ibu harus disembah (dimuliakan), karena mereka menjadi perantara bagi keberadaan kita dimuka bumi. Bahwasannya di dalam hidup ini kita bisa pandai itu karena kodrat Tuhan YME.

2. Mertua, karena telah memberikan nikmat yang sejati karena menghasilkan keturunan juga karena mertua adalah orang tua kita dari istri/suami.

3. Saudara tua, karena sebagai ganti dari orang tua, apabila mereka telah tiada.

4. Guru, karena beliau yang memberi petunjuk-petunjuk tentang jalan kehidupan sampai akhir hayat, penerang kegelapan serta menunjukkan jalan menuju kemuliaan.

5. Raja, karena bisa merencanakan mati dan hidup seseorang, serta yang memberikan penghidupan berupa sandang dan pangan. Kata “raja” di sini bisa diartikan yang berkuasa, atau pada saat ini (sekarang) pemerintah.


5. GAMBUH

Tembang gambuh berisi uraian tingkah laku yang buruk, orang yang tak menghiraukan nasihat-nasihat dan berlaku seenaknya. Kita tidak boleh melakukan tindakan yang tidak jujur karena dapat membuat celaka. Lebih baik jika mencari nasihat yang benar yang walaupun berasal dari orang yang rendah derajatnya namun jika nasihat itu baik perlu untuk ditaati juga dan diikuti.

Ada perumpamaan yang menyebut “adiguna” yang hanya mengandalkan kesaktian seperti ular, “adigang” yang mengandalkan kekuasaannya seperti halnya kijang dan “adigung” yang mengandalkan kebesarannya seperti gajah. Semuanya itu adalah perumpamaan bahwa kita tidak boleh menggunggulkan diri, karena pada akhirnya akan menjadikan diri kita sendiri menjadi hina. “Adiguna” mengandalkan kepandaiannya sehingga menganggap orang lain bodoh, padahal dirinya sendiri bodoh. “adigang” yaitu memamerkan keberaniannya padahal jika ada yang berani menantang dirinya tidak berani sehingga menjadi cemoohan orang saja.

Orang hidup seharusnya menghindarkan diri dari watak tersebut dan memiliki watak halus, sabar, berhati-hati dalam bertindak dan memikirkan dengan teliti serta waspada terhadap gelagat orang lain. Karena ketiganya seperti yang disebutkan diatas, akhirnya mati semua bersama kemampuan yang dimilikinya. Semuanya itu tidak pantas untuk ditiru dan merupakan sifat yang ada pada anak muda yang tidak dapat mengendalikan diri dan mudah terjebak jika telah disanjung. Jika anak muda disanjung, akan menjadi semakin tinggi hatinya dan makin sombong. Padahal orang yang mennyanjung hanya menjilat saja dan demi pamrih tertentu walau dengan menghalalkan segala cara. Setelah mendapat apa yang diinginkan, kemudian akan menakuti orang lain dengan bualannya itu agar mendapat keinginannya lebih banyak lagi.

Orang-orang seperti diatas tidaklah pantas untuk bergaul dengan orang yang terhormat atau seorang pemimpin, karena pada akhirnya akan melakukan hasutan demi melakukan kehendaknya. Padahal orang seperti itu seharusnya dihancurkan. Selain itu jangan pula banyak berjanji dan membual dengan menyombongkan diri dan merasa banyak orang yang menyanjung, padahal orang yang telah tahu kebenarannya memalingkan mukanya. Sehingga janagnlah memiliki watak yang demikian, karena pada akhirnya kita akan ditandai oleh orang lain sehingga orang yang tahu akan diri kita yang sebenarnya tidak akan ada yang percaya.

6. MEGATRUH

Biasa juga disebut dengan “Tembang Duduk Wuluh” terdiri dari 18 pada, berisi nasehat perihal mengabdi kepada raja. Mengabdi kepada raja itu berats ekali, harus ikhlas, taat dan setia serta melaksanakan segala perintahnya. Sebab raja itu ibarat wakil Tuhan, menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum dan adil. Jangan dulu memutuskan untuk mengabdi apabila belum mempunyai modal seperti disebutkan di atas.

7. DURMA

Terdiri dari 12 pada, berisi tentang “larangan jangan sampai mencela dan membuka aib orang lain” atau “ nasehat tentang hubungan antar manusia”.

Ada tiga hal atau tiga macam larangan, tetapi yang keras dari tiga macam itu diuraikan sebagai berikut:

1. Jangan sekali-kali suka menyanjung, serta janganlah suka mencela sampai keterlaluan. Apabila ada orang yang memuji jangan lekas senang dulu, sebab, apabila tidak terbukti akan menjadikan cacat nama. Kalau bisa, usahakanlah jangan sampai memuji, tetapi jangan pula mencela.

2. Jangan suka menghalangi pekerjaan orang lain, hanya tindakannya sendiri saja yang tidak dihalangi, karena merasa dirinya paling benar. Meskipun benar, tetapi apabila itu dilakukan oleh orang lain pasti dikatakan salah. Sifat itu menandakan orang tersebut mempunyai watak buruk, karena maunya benar sendiri

3. Jangan suka acuh terhadap keadaan di sekitar, apabila ada siapa saja yang khilaf maka harus diingatkan.


8. WIRANGRONG

Terdiri dari 28 pada, berisi tentang nasehat “berhati-hati dalam berkata dan memilih kawan”.

Dimana dalam tembang ini dijelaskan tentang larangan-larangan hidup antara lain: masalah mengucapkan kata-kata, larangan melakukan madat, berjudi, mencuri, main perempuan serta mabuk-mabukan.

Di situ juga disebutkan masalah pantangan untuk membuka rahasia di depan wanita, karena kebanyakan wanita tidak kuat menyimpan rahasia, sehingga kadang-kadang bisa menjadi sumber kehebohan.

9. PUCUNG

Terdiri dari 23 pada, berisi tentang “peringatan untuk kelakukan dan rukunnya persaudaraan.

Tembang pucung adalah pengembangan dari tembang Wirangrong. Di sini dijelaskan bahwauntuk membina rukunnya persaudaraan, haruslah menjaga perkataan agar tidak menyinggung apalagi menyakiti perasaan orang lain. Sebab kata-kata yang sudah keluar tidak bisa ditarik kembali. Oleh karena itu harus berhati-hati bila bicara, jangan terlalu sering mengucap sumpah. Karena kalau tidak ditepati maka akan menjadi aib bagi diri sendiri dan orang lain tidak akan percaya padamu lagi sekalipun sumpah yang diucapkan itu benar. Jangan pula sekali-kali mengucapkan kata “tobat’, karena itu akan mencelakakan diri sendiri.

Seperti dalam Tembang Wirangrong, isi dari tembang Pucung selanjutnya yaitu larangan melakukan madat (obat-obatan terlarang), berjudi, mencuri, main perempuan dan mabuk-mabukan. Dan janganlah membuka rahasia di depan wanita, karena kebanyakan wanita tidak kuat menyimpan rahasia, sehingga kadang-kadang bisa menjadi sumber kehebohan. Seperti kita tahu bahwa larangan-larangan tersebut juga ditekankan dalam Al-Qur’an, selain karena memang tidak diperbolehkan oleh Islam sendiri hal tersebut juga hanya akan merugikan si pelaku itu sendiri. Oleh karena itu kita harus menghindari larangan-larangan itu sebisa mungkin dengan cara mendekat diri kepada Allah dan menghindari lingkungan dan orang-orang yang mendukung kegiatan tersebut.

10. MIJIL

Terdiri dari 26 pada, berisi tentang “nasehat baik buruknya orang menerima dan tidak menerima takdir”.

Dijelaskan bahwa, sebaik-baik orang adalah yang menerima takdirnya, jangan sampai tidak menerima takdir hanya karena tidak sesuai dengan keinginanya. Oleh karena itu diperlukan sikap sabar, tenang, baik budi, dan yang tak kalah penting adalah pandai dalam segalanya. Menerima di sini bukan berarti pasrah melainkan harus ada usaha juga untuk merubahnya, sikap menerima yang hanya menerima tanpa melakukan apapun ini adalah buruk. Diibaratkan seperti orang bodoh yang tak pernah mau bertanya. Sikap menerima yang baik adalah seperti orang yang mengabdi kepada raja lama-lama tercapai tujuannya, bisa menjadi mantri, bupati dan sebagainya.

Orang yang tidak menerima takdir namun akhirnya menjadi baik adalah diibaratkan sepeti orang yang mencari ilmu. Dimana orang yang mencari ilmu, mencari dan terus mencari tak mengenal rasa puas dalam dirinya hingga tercapai apa yang menjadi tujuannya. Dan hal itu juga diterapkan dalam hal pekerjaan yang dilakoninya selalu mengandalkan semua yang telah dikuasainya. Dalam melakoni pekerjaan ini terapkanlah sikap sabar supaya selamat. Seklai lagi dalam gatra yang ke-23 ditekankan lagi mengenai hal mencari ilmu karenailmu akan menjadi kekuatan karena orang yang berilmu pasti bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Selain ilmu pengetahuan ilmu sariat juga tak kalah penting karena ilmus ariat merupakan wahana yang tepat, semua ilmu termuat didalamnya.

11. ASMARANDANA

Terdiri dari 28 pada, berisi tentang nasehat “Petunjuk Tingkah Para Pegawai Negara”.

Dijelaskan bahwa modal dasar untuk menjadi pegawai selain memiliki kemampuan yang mumpuni dalam bidang tersebut, ada lagi yang lebih penting yaitu orang yang beragama dan benar-benar melaksanakan agamanya. Apabila seorang pemimpin/pegawai sudah berpedoman pada agama maka ia akan menjadi pemimpin yang baik. Tunaikanlah rukun Islam, jangan suka mengganggu pembicaraan, sewenang-wenang dan menghina, jangan pula sombong dan merasa dirinya sudah yang paling benar, dengarkanlah nasehat orang lain. Jangan bertindak sok jadi penguasa, gunakanlah cinta dalam memimpin, jangan gegabah dan berlakulah adil. Jangan suka pamrih. Ikhlaskanlah dalam setiap mengambil keputusan maka takan ada yang namanya korupsi. Sesungguhnya kesemuanya itu juga dibahas dalam agama.

12. SINOM

Terdiri dari 33 pada, berisi tentang “Contoh-contoh cita-cita”.

Dijelaskan bahwa dalam menuju cita-cita itu tidak mudah. Harus susah dulu baru bisa mencapainya. Dengarkanlah nasehat orang tua juga guru, dan janganlah lupa kepada leluhur, kurangi makan dan tidur (puasa). Rajin-rajinlah, karena orang yang rajin pasti akan berhasil. Sebagai contoh orang yang akhirnya berhasil adalah Ki Ageng Tarub dan Panembahan Senopati. Sabar, itu juga harus dilakukan, memohon kepada Yang Maha Kuasa itu kuncinya selain berusaha, karena Tuhan yang menetukan segalanya.

13. GIRISA

Terdiri dari 25 pada, berisi tentang “Peringatan dan doa untuk anak-anak (keturunan)”.

Seperti layaknya nasehat/petuah pasti berisi anjuran untuk berbuat kebaikan. Dalam tembang Girisa ini juga demikian, yaitu berisi nasehat dari Kanjeng Susuhunan Pakubuwana IV kepada putra-putrinya. Inti dari nasehat beliau adalah: mematuhi nasehat orang tua, menerima takdir, karena kedudukan, rejeki, umur dan jodoh sudah ditentukan oleh Tuhan. Jangan pernah melanggar perintah Tuhan karena bisa celaka di Lokilmahful nanti. Bila akhirnya belum tahu/mengerti, sekiranya tanyalah kepada ahlinya yaitu orang yang tahu tentang isi kitab supaya jadi tahu tentang kewajiban dan larangan yang harus dipatuhi dan ditinggalkan. Harus sering-sering berkumpul dengan orang soleh (ulama), walaupun tak bisa seperti mereka, setidaknya bisa belajar menuju ke yang lebih baik. Tanyalah yang tidak diketahui, cara bersopan santun, berbicara dan bertingkah laku yang baik.

Kanjeng sinuwun juga menganjurkan supaya putra-putri dan anak cucunya kelak menjadi orang yang pandai dengan cara sering membaca, membaca apa saja, buku-buku lama juga banyak manfaatnya. Misal saja babad, dari babad dapat diketahui perjalanan para pejuang juga para wali yang tangguh dalam perang dan jangan malu bertanya. Dalam tembang ini juga ditegaskan supaya putra-putri beliau jangan sampai meniru beliau karena itu merupakan kerugian menurut sinuwun sendiri.

Pada gatra yang ke-14, beliau memanjatkan do’a dan harapannya supaya keturunanya diberi keselamatan dunia dan akherat, kebahagiaan, panjang umur, banyak anak, banyak rejeki dan selaludi penuhi cinta kasih dan menjadi panutan bagi orang banyak.

B. Resepsi Sastra Serat Wulangreh

Resepsi sastra dapat diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Resepsi yang diterima pembaca berbeda-beda dalam menilai suatu karya sastra. Penyusun memilih menggunakan teori resepsi sastra dalam mengkaji Serat Wulangreh ini salah satu tujuannya supaya masyarakat lebih mengenal dan mau mempelajari karya sastra, khususnya karya sastra jawa klasik Serat Wulangreh.

Adapun dalam menganalisis karya sastra Serat Wulangreh ini dengan menggunakan teori resepsi sastra, yang penyusun membagi kajiannya dalam 2 bagian pengkajian, antara lain sebagai berikut:

1) Wulangreh sebagai karya adiluhung

2) Wulangreh dalam budi pekerti

Ketiga bagian pengkajian tersebut akan dijelaskan dibawah ini.

1. Wulangreh Sebagai Karya adiluhung

Bagi masyarakat jawa, sastra klasik merupakan sastra yang tersusun apik dalam bahasa yang indah. Tidak heran jika sasta jawa klasik tidak hanya mengutamakan isi, tapi keindahan bahasa juga menjadi perhatian sang pujangga. Karya sastra yang terlahir melalui pengolahan rasa, dan laku tapa disebut sebagai sastra adiluhung, atau sastra yang mempunyai apresiasi seni tinggi.

Sastra adiluhung ini tidak pernah lupuk dimakan usia, sarat sejumlah nilai simbolik, dan dikenal sepanjang masa bagi peradaban umat manusia. Seperti Serat Wulangreh ini, sampai sekarang masih tetap dikenal masyarakat luas meskipun zaman sudah modern dimana banyak para generasi muda sebagai penerus kebudayaan bangsa banyak yang enggan untuk mempelajarinya, mereka lebih senang dengan kebudayaan modern yang mreka sebut dengan zaman globalisasi zaman yang serba “gaul” menurut anggapan mereka. Mereka menganggap bahwa karya sastra seperti Serat Wulangreh sebagai ketinggalan zaman, kuno, tidak gaul, dll mereka lebih senang dan bangga apabila menyayikan lagu- lagu modern seperti lagu-lagu Peterpen, Dewa, Slank, Mulan Jamelaa, juga lagu-lagu lainnya yang menurut anggapan lebih enak dan lebih mudah dinyayikan.

Sebenarnya suatu karya sastra itu tercipta bukan bukan dari ruang hampa, juga bukan produk instan, duplikatif,dll. Penetrasi budaya juga turut membangun karya sastra seperti realitas sosial dipengaruhi oleh sstra tersebut. Serat wulangreh merupakan penetrasi budaya jawa yang diakulturasikan dengan Agama Islam.

Wulangreh termasuk karya adiluhung karena hadir melalui sejarah, ruang, dan waktu. Demikian pula objeknya adalah realitas kehidupan, meskipun dalam menangkap realitas tersebut sang puangga tidak mengambilnya secara acak. Beliau para pujangga memilih dan menyusun bahan itu dengan berpedoman kepada tujuan dan asas tertentu. Dalam Serat Wulangreh ini misalnya menyerukan umat manusia agar senantiasa waspada, karena sikap waspada akan mencegah tingkah laku dan ucapan-ucapan yang tercela.

Memang tidak dapat disangkal lagi, pembaca atau masyarakat menerima karya sastra yang dengan baik. Terbukti hingga sekarang Serat Wulangreh masih tetap eksis didunia sastra walaupun muncul karya-karya sastra baru.

2. Wulangreh Dalam Budi Pekerti

Serat Wulangreh ini berisi mengenai etika yang luhur, yang mampu menghaluskan rohaniah , mempertajam visi, misi, dan ruang imajinasi, membuat manusia santun jiwanya, bertambah pengetahuannya, berkepribadian mulia, dan luas jiwanya.

Dalam Serat Wulangreh ini tersirat ajaran menjadi orang terhormat. Hidup orang tidak akan mempunyai cacad dan rela apabila batinnya selalu waspada. Kewaspadn batin yang terus menerus itu akan mencegah perbuatan yang tercela. Mengurangi makan dan tidur merupakan latihan yang utama untuk mendapatkan kewaspadan dalam batin. Selain kewaspadaan batin itu, juga harus diimbangi dengan menghindari tingkah laku yang tidak baik, yaitu watak adigang, adigung, adiguna.

Ø Adigang adalah mengandalkan kepintaran, seperti seekor rusa yang hanya mengandalkan kecepatan dalam larinnya.

Ø Adigung adalah sombong mengandalkan tubuh besarnya, seperti seekor gajah yang tubuhnya paling besar dibandingkan dengan hewan-hewan lainnya.

Ø Adiguna adalah sombong mengandalkan kekuatan jasmani dan rohaninya untuk mengalahkan orang lain, seperti ular yang mengandalkan bisanya.

Sebaiknya manusia itu harus senantiasa memelihara watak “Reh”, brsabar hati dan “Ririh”, tidak tergesa-gesa dan berhati-hati. Kelakuan yang menguntungkan diri sendiri dan merugikan orang lain harus dihindari, seperti berbohong, kikir, dan sewenang-wenang.

Jika batinnya telah waspada, tingkah lakunya harus sopan. Tingkah laku sopan ialah tingkah laku yang:

o Deduga : dipertimbangkan mask-masak sebelum melangkah

o Prayoga : dipertimbangkan baik buruknya

o Watara : dipikir masak-masak sebelum mmengambil keputusan

o Reringa : sebelum yakin benar akan keputusn itu, jangan gegabah

Wulangreh mengajarkan pula bahwa siapa yang ingin menjadi pemimpin haruslah ia menjadi ibarat laut, yang tidak akan habis airnya walaupun diambil airnya setiap hari. Ajaran ini diterima masyarakat yang pada waktu itu sedang terjadi krisis kualitas melanda istana-istana jawa sejak permulaan abad ke 19, meluas ke bidang seni dan budaya. Jika dikaitkan dimasa sekarang, ajaran ini juga tidak salah. Sekarang di Indonesia masih terjadi krisis kepercayaan, krisis sosial dan juga budi pekerti.

Wulangreh dikemas dalam suatu kemasan etika yang ideal, yan dianggap sebagai pegangan hidup yang seharusnya dianut masyarakat, terutama para pemimpin. Oleh sebab itu, pemimpin harus berhati luas dan lapang, sangup menampung dan memaku negara. Ia harus menjadi pohon rindang, tempat siapa saja berteduh dan bernaung.

Memang menghidupkan budaya kualitas bukannlah pekerjaan yang mudah. Sekalipun demikian, ia dapat ditimbulkan sama halnya dengan jiwa kepemimpinan. Kitapun terkadang mendengar budaya kualitas hanya sekedar slogan saja. Demikian puladengan pembudidayaan kualitas, diperlukan proses panjang yang harus ditempuh dengan tekad, perjuangan, pengalaman, pembelajaran, ketekunan dan kerja keras. Kesediaan untuk belajar dan mendengarkan adalah langkah pertama untuk menjadi pemimpin dan menumbuhkan budaya kualitas.

Jadi memang besar sumbangan pemikiran Serat Wulangreh terhadap keluhuran budi pekerti. Terutama budi pekerti seorang pemimpin, untuk dijadikan contoh dan pegangan bagi jalannya kepemimpinan.


BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Resepsi masyarakat terhadap Serat Wulangreh terbuktisampai zaman sekarang Serat Wulangreh masih tetap eksis, walaaupun zaman sekarang tercipta karya-karya baru.

Pesan yang tersirat dalam Serat Wulangreh ini, yang dapat dipahami para pembaca (masyarakat) diantaranya:

1. Patuh lahir dan batin terhadap nasihat orang tua

2. Jangan berpuas diri atas nasib yang diterima

3. Bertanya orang yang lebih tahu atau pandai mengenal sopan santun dan berbahasa yang baik agar dapat dipergunakan sebagai pegangan hidup.

4. Bertanya pada alim ulama mengenai agama dan Al-Quran.

5. Jangan sombong “ aja adigang, adigung, adiguna”.

6. Serat Wulangreh yang dibuat oleh kanjeng Susuhunan Pakubuwana IV ini intinya adalah berisi pesan dan nasehat-nasehat untuk kita semua para pembaca yang sifatnya menasehati, menggugah dan mengingatkan kita tentang hubungannya hidup dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (hubungannya dengan raja) dan dengan junjungan manusia yang haqiqi yaitu Tuhan. Semuanya diulas menggunakan bahasa Jawa dalam bentuk tembang.

B. Saran

Sebagai generasi muda kita wajib bangga dengan karya sastra hasil kebudayaan negeri kita sendiri, jangan sampai budaya kita yang kaya “Dirampok” oleh bangsa lain. Kita harus tetap melestarikan kebudayaan kita agar tetap lestari ditengah zaman yang serba modern.


DAFTAR PUSTAKA

Paku Buwono IV. 1996. Serat Wulangreh 2. Yogyakarta: PT. Intan Pariwara

Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Denpasar: Pustaka Pelajar

Sastrowardoyo. -. Wasita Jinarwi. Surakarta: Amigo

Nugroho, Yusro Edy. 2006. Puisi Jawa Klasik. Studio

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada Univercity Press

www.wikipediaIndonesia.com

Analisis Suluk Gatholoco


Oleh : Chafid Toklo...........
1). PERTEMUAN GURU DENGAN SANTRI
Dikisahkan dalam bagian pertama dalam suluk ini, sang tokoh utama yakni Gatoloco betemu dengan para ahli agama yaitu guru Abdul Manaf dan Ahmad ‘Arif yang disertai enam santrinya terjadilah dialog sebagai beikut:
“Santri berkata “apakah anda makan babi? Asal mau anda telan,tidak takut akan dosa”; Gatoloco menjawab,”memang benar tidak salah seperti yang anda katakan bahkan sekalipun daging anjing, apabila kita lihat baik dan bukan curian (saya mau juga)”.
Dari percakapan diatas dapat dapat diambil kesimpulan yaitu topik permasalahan diatas ialah mengenai halal haram suatu makanan, dalam hal ini ialah makan hewan babi.Santri menanyakan kepada Gatoloco apakah ia (Gatoloco) makan babi ,Gatoloco menjawab dengan jawaban seenaknya sendiri bahwa jawab Gatoloco babi itu baik dimakan asal bukan dari hasil curian.
Dalam aturan Agama Islam sudah dijelaskan bahwa hukum makan babi ialah haram.Keharaman babi sudah dijelaskan dalam kitab Al-Quran.
Alasan Gatoloco ialah seperti berikut:
.”insun ingu iya apit cilik,
sapa nggungat utawa angelah,
kalane ngeluwihi cempe,
sanadyan iwak wedus,
iku yen nggone maling,
pun iku luwih haram nadyan iwak asu,
babi kalawan andapan.
angger uga saka tuku luwih suci,
luwih halal pinangan”.
Terjemahnya:
“Anjing itu misalnya, aku pelihara sejak kecil, siapakah yang mengadukan aku? Daging anjing rasanya lebih halal ketimbang anjing kecil (anak kambing), walau daging kambing, kalau toh itu hasil curian, bukankah itu lebih haram ketimbang daging anjing? Babi ataupun celeng sekalipun berasal dari membeli pasti lebih suci, lebih halal dimakan?”
Mendengar jawaban Gatoloco yang asal ngomong itu, para santri menjadi jengkel, para santri itu menjawab omongan Gatoloco dengan nada emosi, yakni ”SINOM” sebagai berikut:
”santri tiga duk miyarsa,
sareng misuh silit babi,
Ki Gatoloco angucap:
“apa ta silite babi
digawa kang ndarbeni,
nora gepuk raganingsun”,
Santri tiga angucap:
“Biyangmu silit babi!”
Gatoloco mojar “iku ora kaprah”.
Tejemahnya:
“’Ketiga orang santri ketika mendengar (jawabannya) lalu berbareng mencaci ”silit babi” ; Ki Gatoloco berkata pula : “apakah silit babi dibawa sang empunya? Lagi pula tak menyentuh tubuhku”! Santri tiga pun menjawab lagi,”biyangmu silit babi”. Gatoloco menyahut pula, ”itu aneh benar”.
Dalam suluk Gatoloco diperlihatkan tentang ketidaksanggupan para santri berdebat dengan Gatoloco. Para santri ini marah karena jawaban Gatoloco yang asal ngomong , para santri itu kemudian menyerahkan permasalahan mereka (tentang Gatoloco) kepada guru mereka.
(2). SHALAT DAN CANDU
Tanya jawab Gatoloco dengan para santri saling mengejek dan sangat menjengkelkan , karena setiap pertanyaan yang diajukan para santri selalu dijawab Gatoloco dengan jawaban yang asal ngomong , sehingga para santri menjadi marah dan geram. Mereka saling mengejek , dan sepertinya tidak ada diantara mereka yang mau mengalah Padahal yang dipermasalahkan diantara mereka adalah logika dalam mencari penalaran. Pada dasarnya nalar kaum beragama dengan kaum non agama ialah berbeda.
DHANDHANG GULA.
”Gatoloco alon anahuri,
pramilane insun iki kera,
miturut saking kersane,
njeng Nabi Gusti Rasul,
saben dina ingsun turuti,
perintah neng ngepakan mundut klelet candu,
lan madat maring ngepakan,
dipun obong binukti kelawan api,
Allah kang paring pirsa,
Terjemahnya:
“Gatoloco pelan menyahut, mengapa saya ini kurus? Semata-mata menurut kehendak baginda Rasul dan Nabi yang saya ikuti, dimana saya harus pergi ke tempat madat (Jawa,ngepakan) untuk membeli candu dan klelet (bekas- bekas candu yang melekat dialat minum madat ), serta menghisapnya disana ; candu itu dibakar dengan api, sebab Allah lah mengajarkan seperti itu.
Dialog diatas sebenarnya menggambarkan sifat-sifat setan yang menggoda kaum beriman. Sesungguhnya Allah telah memperingatkan manusia akan permusuhan setan dan membberitahukan kepada kita bahwa setan adalah musuh manusia. Allah memperingatkan kepada manusia akan perangkap-perangkap dan tipu muslihat setan.
Dilukiskan pribadi Gatoloco sebagai seorang yang tidak pernah mandi dan badannya kotor dan bau, yang dimaksudkan adalah gambaran setan, semua kelakuan Gatoloco itu diibaratkan dengan kelakuan setan.
Selanjutnya Gatoloco berkata:
”Iya lamun ra sun turuti,
banget temen siksane maring wang,
kepati-pati larane,
sun ora bisa turu,
kang sarira lir den lolosi,
Santri tiga angucap mung lagi tatamu,
njeng Rasul aneng Ngepakan,
Kanjeng Rasul pepudene wong sak bumi,
Manggon negara Mekah”.
Terjemahnya:
“Jika aku tak menuruti perintahnya, niscaya hukumannya sangat berat, begitu hebat sakitnya, sehingga aku tak bisa tidur, seluruh tubuhku seperti terasa dicabut-cabut nyawaku”.
Santri tiga pun berkata : “Engkau ini tidak sopan! Masa dikatakan Rasul di Ngepakan? Padahal Rasul itu dihormati seluruh manusia dibumi, dan berada dikota Mekah”.
Dari percakapan diatas jelas bahwa jawaban Gatoloco memancing para santri marah itulah salah satu sifat setan yaitu memancing manusia marah. Dalam aturan Agama Islam dikatakan bahwa manusia itu memiliki sifat marah tetapi sifat ini harus dikendalikan, karena apabila tidak akan sangat berbahaya. Didalam sebuah Hadist dikatakan bahwa Rosulullah bersabda: “Orang kuat ialah bukan orang yang pandai bergulat, tapi orang kuat ialah orang yang mampu mengendalikan marahnya jika ia marah”.
Berikut ini adalah gambaran seorang santri yang kebingungan menerima pertanyaan Gatoloco yang asal ngamong:
”Santri bingung sira iku sami,
Rasul Mekah ingkang sira sembah,
ujarku keleru kiye,
iya seda karuhan,
panggonane ing tanah arabi,
lelakon pintung wulan lan pangkaan laut,
mung kari kubur kewala,
sira sembah jungkir-jungkir saben hari,
apa bisa tumeka”.
Terjemahnya:
“kamu semua adalah santri bingungan”, kata Gatoloco, Anda keliru,Rasul yang ada di Mekah kau sembah, bukankah ia sudah wafat? Ia tempatnya di tanah Arab ; ia tak ada lagi, sedang anda selalu menyembahnya tiap hari jungkir balik, apakah bisa sampai padanya?”
Omongan gatoloco diatas menggambarkan tentang kaum muslimin sekarang dalam ibadah shalatnya hanya jungkir balik saja,kata Gatoloco Sholat itu harus tawajuh atau harus sampai ke hati, tidak hanya jungkir balik saja.
Perhatikan godaan setan (Gatolooco) berikutnya:
”Dadi sembahira tanpa kardi,
luwih siya Rasulmu dewe,
iya uripmu,
nembah Rasul jabaning diri,
kabeh sabangsanira iku nora turut,
panembahmu luwung tiwas,
ting barengok Allah nora kober guling,
mberibeni swaranira”.
Terjemahnya:
“Sembahyang demikian tak ada artinya, itu berarti sia-sia terhadap badanmu sendiri ; anda mesti menyembah Rasulmu sendiri dengan badanmu ; Menyembah Rasul dengan cara demikian tak berguna, tiwas berteriak-teriak tidak bisa diterima Allah, karena membuat Tuhan tak bisa tidur karena mendengar suaramu itu”.
Omongan Gatoloco diatas sebenarnya mengkritik kepada kaum muslimin yang shalatnya tidak khusyu (konsentrasi) , menurut Gatoloco shalat mereka hanya jungkir- balik saja dan tidak ada artinya bagi Allah. Oleh karena itu sebaiknya janganlah kita memfonis bahwa karya sastra ini buruk dan tidak boleh dibaca karena sesungguhnya kaerya sastra ini baik karena terdapat banyak pelajaran yang dapat kita ambil hikmahnya.
(3). HIDUP DAN WAYANG
Dalam bagian yang ketiga ini Gatoloco masih melakukan diskusi dengan para santri dan para gurunya santri mengenai hakikat hidup yang berkaitan dengan dua hal. Pertama, tentang perlengkapan orang hidup dan perlengkapan wayang. Kedua, tentang dimana letaknya mati ketika masih hidup, dan dimana letaknya hidup jika orang sudah mati.
Namun, karena para santri trsebut tidak sanggup untuk berdebat dengan Gatoloco karena nalar Gatoloco melebihi nalar mereka (para santri), akhirnya para santri tersebut menyerahkan segala permasalahan kepada guru mereka untuk berdiskusi atau berdialog dengan Gatoloco.
Guru para santri itu antara lain bernma Ngabdul Jalal dan Kasan Besari. Dalam Tembang Asmaradahana dinyatakan bahwa Ngabdul Jalal bertanya kepada Gatoloco dengan pelan-pelan Dia bertanya mengenai kitab apa pegangan Gatoloco?, Gatoloco menjawab pertanyaan tersebut dengan menggunakan jawaban yang secara harfiah akan sulit untuk dipahami, karena jawaban Gatoloco ialah dengan menggunakan bahasa yang harus dipahami dengan atau dari segi hakekat.
Kemudian guru para santri yang satunya lagi, yaitu Kasan Basri bertanya kepada Gatoloco dengan pertanyaan:Apakah Gatoloco sembahyang (shalat)? , mendengar pertanyaan seperti itu Gatoloco menjawabnya dengan jawaban yang lagi-lagi dengan bahasa “jarwodosok” atau bahasa kias sehingga harus dipahami dari segi hakekat. Gatoloco menjawabnya dengan jawaban bahwa ia (Gatoloco) sembahyangnya itu terus menerus dan tak berubah atau tetap. Jawaban Gatoloco tersebut sebenarya mengandung sindiran berdasarkan Al-Qur’an bahwa sembahyang itu sebenarnya tidak boleh gothang (sebentar-sholat sebentar enggan). Ini dilarang dalam Al-qur’an, ancamannya neraka Wel. Jawaban diplomatis tersebut sebenarnya sindiran terhadap kaum ahli syare’at, sembahyangnya tidak sampai di hati seolah imannya hanya di tenggorokannya.
Kemudian selanjutnya Gatoloco berkata lagi yaitu dengan kata-kata yang penuh dengan bahasa jarwodosok sehingga perlu dipahami dari segi hakekat. Adapun mengenai astilah hakekat itu sendiri dikenal dalam golongan sufi atau ahli tasyawuf. Golongan sufi ini membagi manusia dalam empat golongan yakni syare’at, hakekat, tarekat, dan makrifat.
(4). NUR MUHAMMAD
Dalam bagian ini menerangkan tentang Nur Muhammad, Nur Muhammad ini sendiri tidak dapat ditafsirkan secara harfiah saja, namun untuk memahaminya harus dilihat dari segi hakekatnya.
Sebelum membahas mengenai Nur Muhammad dilanjutkan dulu persoalan yag diperdebatkan para guru dengan Gatoloco tersebut. Dikisahkan Abdul Manaf bertanya pada Gatoloco dengan pertanyaan: mengapa anda sholat tidak menghadap baitullah atau kiblat sholat, kok kiblatnya sendiri?, Gatoloco menjawab dengan jawaban: “aku menghadap ke kiblat buatan Allah sendiri, yaitu yang berada di tengah-tengah dunia.
Jawaban Gatoloco itu sebenarnya sudah gamblang, yakni yang bertanya menanyakan mengenai arah kiblat (ka’bah) yang keberadaanya memang berada tepat di tengah-tengah dunia. Inilah jawaban Gatoloco yang sungguh sangat diplomatis, yang harus dipahami dari segi hakekatnya.
Nur Muhammad menjadi bagian tanya jawab Gatoloco dengan Kasan Besari berikutnya, mereka saling berdebat. Pendapat Gatoloco mengenai Nur Muhammad yatiu sebagai berikut: bahwa Allah merupakan pencipta alam semesta beserta isinya yang kemudian menciptakan makhluk-makhlukNya seperti malaikat, jin, manusia, tumbuhan dan lain-lain. Dan menurut Gatoloco summber penciptaan Allah itu semua adalah Nur Muhammad.
Namun pendapat Gatoloco ini ditentang Kasan Besari, ia menyatakan bahwa pendapat Gatoloco tidak masuk akal, Kasan Besari brekata: “Sebelum Rasulullah dan sahabat lahir di dunia, kan sudah ada bintang, bulan, dan matahari; jadi kalaubegitu bulan, matahari dan lain-lain itu mendahului Nabi Muhammad. Jadi mengapa dikatakan Nur Muhammad mendahului semua itu.
Tetapi secar global dapat disimpulkan bahwa yang disebut Nur Muhammad itu sebenarnnya Nur atau cahaya yang dimiliki Muhammad SAW yang kini telah dijadikan manusia rasul Allah.
(5). PERJODOHAN YANG SAKRAL
Dalam bagian kelima ini dikisahkan mengenai pertemuan Gatolco dengan dewi Prejiwati. Namun, sebelumnya perlu dimengerti lagi bahwa jangan memaknai isi dalam suluk ini dari segi harfiahnya saja karena akan menimbulkan pemahaman yang salah. Tapi harus dipahami dari segi hakekatnya.
Diceritakan Gatoloco bertemu dengan Prejiwati yang kemudian dilanjutkan dengan dialog. Dialog ini diawali dengan “kinanthi”, dalam kinanthi ini dewi Prejiwati mengajukan pertanyaan berupa teka-teki kepada Gatolco, dan menyuruh Gatoloco menjawabnya dengan benar.
Pertanyaan Prejiwati kepada Gatoloco: “apakah arti orang berumah tangga, dan arti seorang lelaki (suami) dalam perjodohan itu?, serta hubungannya dengan kalimat sahadat atau kalimat dua”. Kemudian pertanyaan Prejiwati kepada Gatoloco: “apa arti sarengat dan tarekat serta kedudukan syara’ atau hukum yang menyangkut lima hal tadi. Prejiwati berkata apabila Gatoloco bisa menjawab pertanyaan dengan benar maka Prejiwati akan tunduk kepadanya.
Gatoloco menjawab seluruh pertanyaan Prejiwati dengan jawaban yang tepat, gamblang dan penuh dengan bahasa kias atau jarwdosok.
Gatoloco menjawab pertanyaan Prejiwati mengenai arti lelaki, menurut Gatoloco lelaki adalah lelaki (bahasa jawanya=lanang) artinya ala temenan atau sungguh jelek sekali yaitu kemaluan lelaki (lanangan); dan lebih lagi jeleknya adalah wadon (perempuan) artinya wados atau rahasia sekali.
Kemudian Gatoloco menjawab pertanyaan Prejiwati yaitu mengenai kalimah dua. Jawaban Gatoloco mengenai hal ini ialah: kalimah dua itu yakni yang ketiga, artinya ketika lelaki menghadapi istrinya (berasmara) tak ada orang lain yang mengetahuinya, dan karena itu disebut kalimat dua.
Teka-teki itu berupa pertanyaan wajar yang kemudian oleh Gatoloco dijawab sebagai guyonan (humor). Memang penjabaran terbuuka dari teka-teki itulah yang diinginkan, tapi Gatoloco tidak sampai hati mengucapkannya. Jawaban indah sayangnya melalui jarwodosok atau bahasa kias yang menyinggung kebesaran Tuhan.