Main Menu

Pages

Tuesday, 21 September 2010

Sasantinipun Pangeran Samber Nyawa (Mangkunegara I)

Sasantinipun Pangeran Samber Nyawa (Mangkunegara I)

*Rumangsa Melu Handarbeni
merasa ikut memiliki.

*Wajib Melu Hangrungkebi
wajib ikut merawat - menjaga keselamatannya.

*Miwah Mulat Sarira, Hangrasa Wani
dan melihat badan, mau menyadari.


Sebagai ORANG JAWA pun sebagai warga negara INDONESIA kita wajib merasa memiliki dan berkewajiban untuk merawat demi keselamatan serta mau introspeksi dan mawas diri serta menyadari tentang dirinya. Semoga.

Jiwa Sinatriya - Pitutur Luhur Jawa

“Wong kang nggayuh marang kabecikan linambaran manah lila legawa kanthi suka renaning ndriya, sanajan ngadhepi bebaya datan cuwa, murih raharjaning sasama, iku kalebu perangane wong kang ajiwa sinatriya.”

(Ibu Suparni. Kudus, 20 September 2010).

Wednesday, 4 August 2010

Sikap Hidup Orang Jawa

SIKAP HIDUP ORANG JAWA


Masyarakat Jawa memiliki tradisi dan budaya, tetapi tidak semuanya baik, sikap hidup orang Jawa juga dapat dilihat dari batinnya, antara lain :

Rila, yaitu keikhlasan hati, sewaktu menyerahkan segal milik, kekuasaan, dan seluruh hasil karyanya.

Narimo, berarti puas, berkaitan dengan ketentraman hati yang berarti tidak menginginkan milik orang lain dan iri hati terhadap kebahagiaan orang lain melainkan bersyukur terhadap Tuhan.

Temen, yaitu menepati janji atau ucapannya baik yang dilakukan secara lisan, tulisan, maupun di dalam hati.

Sabar, yaitu kuat terhadap segala cobaan dan tidak putus asa yang dikarenakan kuat imannya, luas pengetahuannya dan wawasannya.

Budi luhur, yaitu apabila manusia selalu menjalankan segala tabiat dan sifatnya seperti Tuhan Yang Maha Mulia seperti kasih sayang terhadap sesama, suci, adil, dan tidak membedakan.
Masyarakat atau orang Jawa juga memiliki sikap hidup feodalistik.
Sikap tersebut tidak lain adalah mental attitude, yakni sikap mental terhadap sesama dengan mengadakan sikap khusus karena adanya pembedaan dalam usia dan kedudukan. Sikap ini akan menumbuhkan sikap struktur masyarakat yang berlapis-lapis.

Termasuk juga sikap hidup orang jawa yang berhubungan dengan keagamaan yang berbaur dengan mistikisme jawa (gugon tuhon). Sikap ini menghendaki agar hidup berupaya menjadi manusia utama.

Untuk ke arah ini mereka harus bisa bersikap ajer-ajer (hancur luluh) tanpa memandang bulu, siapa orangnya harus bisa bergaul dengan siapapun. Maka, ia tidak menyukai sikap hidup yang ngedir-ngedirake (membangga-banggakan keturunan dan keluarganya).

Berkaitan dengan Tuhan , masyarakat Jawa selalu bersikap menep, tenang mengendap sehingga tidak diombang-ambingkan oleh nafsu yang hanya membuat orang gelisah . mereka lebih bersikap narimo ing pandum (menerima dengan sumeleh terhadap pemberian Tuhan).
Sikap ini tidak digolongkan dapat sikap fatalistik.

Artinya yaitu urip manungsa pinasthi ing pangeran, hidup telah ditakdirkan, tidak berarti hanya diam, berarti sama saja dengan mati. Adapun watak prima yang sebenarnya tetap disertai usaha terlebih dahulu, baru pasrah dan sumarah.

Pasrah sendiri yaitu kondisi tunduk dan takhluk pada takdir, ibarat tangan tengkurup merunduk.

Sedangkan sumarah yaitu bercerah diri dengan cara mengulur tangan.

Wayang Kulit: Beda Wayang Kulit Jogja - Solo

Wayang kulit : Perbedaan Wayang Kulit dari Surakarta dan Yogyakarta


Kebudayaan dalam arti luas, adalah seluruh pikiran, karya dan hasil karya manusia, yang tidak berakar pada naluri, dan oleh karenanya, dikembangkan oleh manusia setelah melalui proses belajar.

Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang mempunyai kebudayaan yang sangat beragam. Diantara kebudayaan dari Jawa khususnya dari Jawa Tengah, dan Daerah Istimewa Yogyakarta adalah kesenian wayang kulit.

Wayang kulit umumnya di nusantara dan khususnya di masyarakat Jawa, dari zaman dahulu dapat menjadi sarana hiburan dan sarana untuk mengajarkan budi pekerti yang luhur kepada masyarakat.

Namun demikian, suatu kenyataan yang kita hadapi sekarang akibat adanya kemajuan zaman serta masuknya budaya-budaya dari mancanegara, adanya wayang khususnya wayang kulit sudah tidak begitu diperhatikan oleh masyarakat, khususnya generasi muda.

Sudah banyak generasi kita yang kurang tahu atau bahkan tidak tahu mengenai kesenian wayang. sehingga perlu upaya-upaya untuk menumbuhkan kembali dan mengembangkan menjadi bagian yang dapat memperkaya khasanah kebudayaan nasional.

Wayang kulit dari Surakarta dan dari Yogyakarta secara garis besar tidak memiliki perbedaan yang begitu mencolok.
Perbedaan tersebut adalah :

v Segi Pakaiaan
Secara garis besar dari segi pakaian tidak ada perbedaan yang besar antara wayang kulit dari Surakarta dan Yogyakarta. Perbedaan dari segi pakaian antara wayang kulit dari Surakarta dan Yogyakarta ini salah satunya dipengaruhi oleh pakaian adat dari daerah tersebut.

Pakaian adat Surakarta dan Yogyakarta kelihatannya sama, tetapi ternyata ada beberapa perbedaan walaupun tidak begitu besar. Perbedaan pakaian adat dalam kenyataannya juga mempengaruhi pada pakaian wayang kulit yang dihasilkan dari kedua daerah tersebut.

Misalnya perbedaan pada keris yang dikenakan oleh tokoh wayang, perbedaan ini juga dipengaruhi oleh perbedaan keris dari masing-masing daerah itu. keris Surakarta dikenal lebih halus. Sedangkan keris Yogyakarta mempunyai “gayaman” yang lebih kasar , bertekstur jelas, dan sering kali berbentuk lancip (runcing) .

Selain itu, keris Yogyakarta tidak memiliki motif atau polos saja, kalaupun bermotif hanya berbentuk naga atau Kalamekara saja. Berbeda dengan keris dari Surakarta yang banyak dihiasi motif-motif batik dan aneka bentuk, misalnya bermotif kawung, alas-alasan, truntum, beraneka macam bunga, dan lain-lain. Perbedaan yang ada di atas pasti mempengaruhi keris yang dipakai oleh tokoh-tokoh yang ada dalam wayang sehingga menimbulkan perbedaan antara wayang Yogyakarta dan Surakarta.

Ada juga perbedaan yang lain, seperti pada irah-irahan pada setiap tokoh wayang. Pada bagian belakang irah-irahan yang ada pada tokoh wayang Yogyakarta cenderung lebih “trepes” di banding dengan wayang Surakarta.

Pada motif jarik yang digunakan pun kadang-kadang mempunyai perbedaan. Corak warna dan desain batiknya pun berbeda. Batik pada wayang Yogyakarta lebih terang dengan menggunakan putih dan cokelat tua saja. Sedangkan batik wayang Sarakarta lebih kalem dan gelap dengan menggunakan warna cokelat, hitam, dan sedikit saja warna putih. Ini tidak berbeda dengan apa yang ada pada kenyataannya sekarang ini. Batik yang digunakan pada masyarakat Yogyakarta dan Surakarta pun berbeda.

Wiru pada jariknya pun juga berbeda. Wiru Yogyakarta pada bagian garis putih pada ujung jarik diperlihatkan dan kadang-kadang disertai “pengkolan-pengkolan” (lipatan). Sedangkan pada Wiru Surakarta garis putih tersebut tidak diperlihatkan dengan cara ditekuk atau dilipat ke dalam sehingga akan tertutupi oleh wiru itu sendiri.

v Segi Tokoh / Watak Wayang
Dari segi tokoh atau watak wayang terdapat beberapa perbedaan antara wayang kulit dari Surakarta dan Yogyakarta. Perbedaan tersebut misalnya pada tokoh Anoman. Pada wayang kulit Surakarta tokoh Anoman memiliki satu mata saja di satu sisi wayang. sedangkan pada wayang kulit Yogyakarta tokoh Anoman ini memiliki dua mata pada setiap sisinya.

Tokoh wayang yang bernama Bima, apabila dari Surakarta digambarkan dengan tokoh hitam besar memakai jarik lengkap beserta wiru dan sulurnya. Sedangkan dari Yogyakarta Bima digambarkan dengan tokoh hitam besar memakai jarik kotak-kotak hitam putih.

Tokoh wayang Durna, apabila dari Surakarta Durna dianggap sebagai tokoh asli dari Jawa. Tetapi Durna Yogyakarta adalah tokoh yang dianggap dari luar Jawa yang memiliki aksen dan logat bicara ke arab-araban. “Buta-buta” pun memiliki perbedaan. Buta dari Surakarta hanya memiliki satu tangan yang bisa digerakan. Sedangkan Buta Yogyakarta memiliki dua tangan yang bisa digerakkan.

v Segi Gendhing Pengiring
Gendhing pada wayang kulit dari Surakarta cenderung menggunakan gendhing yang halus, sedangkan Yogyakarta lebih menggunakan gendhing-gendhing soran yaitu gendhing yang keras dan lebih kasar. Surakarta menggunakan sekar ageng sedangkan Yogyakarta. menggunakan Sekar Mataraman.

Cempala yang digunakan sama, tetapi ada perbedaan pada “kepyek” yang digunakan. Apabila versi Surakarta berbunyi “pyek...pyek...pyek...”, dan terkesan lebih halus. sedangkan versi Yogyakarta berbunyi “creng...creng...creng...” .

Dari perbedaan-perbedaan itu terdapat persamaan dari kedua versi wayang itu, yaitu bersumber pada buku atau kitab Pustaka Raja Purwa. Perbedaan-perbedaan itu bertemu di Pakualaman yang bersifat “netral” dengan menerima versi Surakarta maupun versiYogyakarta (Akulturasi).


Sumber Wawancara dengan:
1. Dwi Narimo : Petugas Museum Radya Pustaka Surakarta
2. Aji Setyo Wijoyo : Petugas Perpustakaan Radya Pustaka Surakarta
Tgl: 10 Mei 2008

Bahasa Jawa

Bahasa Jawa (?)

Kebudayaan dalam arti luas, adalah seluruh pikiran, karya dan karya manusia, yang tidak berakar pada naluri, dan oleh karenanya, dikembangkan oleh manusia setelah melalui proses belajar.

Salah satu unsur dalam kebudayaan yang universal adalah bahasa. Kebudayaan tidak akan dapat bisa lepas dari nilai-nilai atau sesuatu yang diyakini mengandung kebenaran, kebaikan dan keindahan. Nilai yang berskala nasional, diwakili atau bersumber dari nilai-nilai daerah.

Kebudayaan Indonesia dibangun atas kebudayaan yang ada sebelumnya didaerah-daerah, sehingga kebudayaan daerah merupakan sumber dan kekayaan kebudayaan nasional.
UUD 1945, baik sebelum diamandemen maupun setelah diamandemen, mengakui keberadaan bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia.

Pada penjelasan Pasal 36 UUD 1945 sebelum diamandemen disebutkan bahwa didaerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik (misalnya bahasa Jawa, Sunda, Madura, dan sebagainya) bahasa-bahasa itu akan dihormati dan dipelihara oleh negara. Bahasa-bahasa itu pun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup.

Sementara itu, didalam pasal 32 UUD 1945 yang telah diamandemen disebutkan bahwa:

1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia ditengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.

2) Negara menghormati dan memelihara behasa daerah sebagai kekeyaan budaya nasional.
Bahasa Jawa, yang merupakan salah satu unsur kebudayaan memiliki nilai-nilai yang luhur, yang berupa falsafah-falsafah, yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat.

Beberapa falsafah hidup yang diyakini memiliki nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan misalnya:
Ing ngarsa sung tuladha. Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani.
Sapa nandur mesthi ngundhuh, sing diundhuh, apa kang tinandur.
Ajining dhiri saka lathi, Ajining raga saka busana, dan sebagainya.

Namun demikian suatu kenyataan yang kita hadapi saat sekarang ini, bahwa nilai-nilai budaya Jawa tersebut hampir punah, sehingga perlu upaya-upaya untuk menumbuhkan kembali dan mengembangkan menjadi bagian yang dapat memperkaya khasanah kebudayaan nasional, bahkan mewarnai kebudayaan nasional. Salah satu upaya tersebut ialah dengan melalui pendidikan.

(tugas budaya Jawa)

Kanthong bolong ~ Kearifan Lokal Jawa

Kanthong Bolong

Sinambet sowanipun Ki Lurah Petruk, Jlegongjaya, Kanthong Bolong, Sura Gendhela, Dawala, karan anak bapake Endang. Sirah gedhe watake elingan, bathuk lenggar sugih tepungan, wadana liyar senenge ngapura kaluputan liyan, mripat bening betah melek, irung dawa serepan, kuping amba watake tengen, tutuk wiyar gampang golek rejeki, gulu panggel swara ngglonggong arum, dhadha jembar sugih pengalaman.

Kanthong bolong –disini- ialah memiliki makna kita harus memiliki hati yang selalu meneteskan kasih sayang terhadap sesama, hangluberaken sih dhumateng sesamining gesang. Oleh karena itu wanda petruk atau Kanthong Bolong serba lebih, antara lain hidung, bibir, perut, pusar, kaki, dan tangannya serba panjang serba berlebih. Semua itu berarti bahwa ia suka menolong, kasih sayang terhadap sesama manusia, yang selalu mengalir tiada hentinya bagaikan kanthong yang bolong.

(dari Ensiklopedi Wayang, Karya Wiwin Widyowati R.)

Pambuka - Panutup (Pidato Bahasa Jawa)


Pambuka (Miwiti Acara):


Para rawuh kakung putri wredha mudha minulya.

Samangke sampun tabuh …. WNIK.

Nitik sasmita ingkang sampun kula tampi, sedaya sampun rumanti sarta miranti.
Ingkang menika nyuwun idi saha pangestu panjenengan, pahargyan ing sonten menika badhe kawiwitan.

Minangka purwaka utawi pambuka, sumangga panjenengan sedaya kula dherekaken manungku puja brata, sumujud ing sahandhap pepadanipun Gusti Ingkang Akarya Jagad. Anut pandam pandom agami saha gegebenganipun sowang-sowang.

Esthining manah, mugi pahargyan ing sonten menika saged katindakaken kanthi gancar, lancar, sepi ing sambekala.

Namung, mligi katur para rawuh ingkang ngrasuk agami Islam, sumangga panjenengan sedaya kula dherekaken maos basmallah sesarengan.




Panutup (mungkasi acara):

Para rawuh kakung putri wredha mudha minulya.

Setunggal mbaka setunggal lampahing tatacara pahargyan ing dalu menika sampun saged katindakaken kanthi raharja. Wahyaning mangsakala wus ndungkap titi purnaning pahargyan. Mangke ingkang badhe kondur ngaturaken sugeng kondur, ingkang badhe nglajengaken wungon ngaturaken sugeng wungon.

Wonten ing sungapaning pahargyan, kula pun Chafid Ibnu Abdillah, ingkang piniji pinitaya minangka panatacara hambok bilih anggen kula ngayahi jejibahan wonten galap gangsuling atur, kithaling basa, kiranging subasita myang tatakrami kula nyuwun lumunturing sih samodra gung pangaksami.

Kalau ada jarum yang patah jangan simpan di dalam peti,
kalau ada tutur kata saya yang salah jangan simpan di dalam hati.

Sugeng dalu, sugeng kondur. Minangka panutuping atur

Wassalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.

Nuwun.

ditulis di Takmir Fip Unnes, 21 Juni 2009; 19:33 wnik. Chafid ibnu abdillah PBSJ Unnes.

Wayang Gunungan

gb. gunungan


Figur wayang gunungan atau kayon merupakan merupakan figur wayang yang sangat penting dalam pertunjukan wayang. Bentuk wayang gunungan menyerupai daun cemara. Lukisan yang
terdapat pada gunungan –yang paling pokok- adalah lukisan pohon dan bukutnya. Pohon itu ada yang menamakan dengan nama pohon surga, pohon hidup, pohon ajaib, pohon budi, pohon harapan atau kalpataru. Gambar pohon itu juga disebut parijatha atau pauh janggi.
Gagasan budaya Jawa yang tercermin dalam figur wayang gunungan adalah konsep keseimbangan dan keselarasan hidup.

(dikutip dari buku Ensiklopedi Wayang, karya Wiwien Widyowati R.)

Wednesday, 23 June 2010

Cerita Jaka Tarub (Ki Ageng Tarub- Kab. Grobogan Jateng)


Dewi Rasa Wulan inggih menika putrinipun Raja Singawarman saking Kerajaan Temas ingkang ing wekdal menika saweg nglaksanakaken tapa ngidang inggih menika mlebet wana udakara 7 warsa, mboten pareng kondur utawi nyedhaki manungsa sarta mboten pareng dhahar kajawi ron-ronan ingkang wonten ing wana. Mila saking babagan menika Dewi Rasa Wulan dipunwastani Kidang Telangkas.

Nalika Dewi Rasa Wulan saweg siram wonten sendhang, piyambakipun pirsa menawi wonten ayang-ayang tiyang jaler ingkang bagus nanging piyambakipun sampun kebanjur wuda, saengga piyambakipun siram wonten ing tlaga menika. Kondur sakingntlaga Dewi Rasa Wulan salajengipun ngandhut. Ngantos piyambakipun medalaken putranipun wonten ing desa ingkang ngantos samenika dipunwastani Desa Mbubar Bayi menika dipun tilaraken wonten ing sisih tlaga amargi Dewi Rasa Wulan ngraosaken isin ngandhut tanpa garwa ugi boten mangertosi sinten ingkang sampun ngrekadaya piyambakipun. Awit saking menika amargi sampun dados wewadi, piyambakipun nilaraken bayi kala wau. Dewi Rasa Wulan boten mangertosi menawi putranipun inggih menika titisan saking Kanjeng Syeh Maulana Maghribi.

Rikala menika wonten tiyang estri ingkang nama Dewi Rara Kasian ingkang garwanipun sampun tilar donya inggih menika Aryo Penanggungan., kekalihipun boten diparingi putra Ngantos Aryo Penanggungan tilar donya. Amargi tresnanipun dhateng garwanipun, sinaosa sampun seda saben dinten piyambakipun dedonga wonten pasareyan garwanipun. Saengga Syeh Maulana Maghribi bekta putraipun ingkang dipun lebetaken bokor kencana lajeng dipuntilaraeken sisihipun pasareyan Aryo Penangungan. Kaleresan wekdal menika Dewi Roro Kasian saweg tuwi pasareyan garwanipun. Piyambaikpun kaget amargi mangertosi bokor kencana wonten ing pasareyan garwanipun. Sinaosa Arya Penanggungan sampun seda , Dewi Rara Kasian taksih nganggep garwanipun kersa maringi putra. Piyambakipun remen sanget amargi saged kagungan putra sinaosa sanes putra ingkang medal saking rahim piyambakipun, lajeng bayi menika dipun bekta kondur. Lajeng bayi menika dipunwastani Joko Tarub. Amargi rikala semanten Dewi Rara Kasian mendhet saking pasareyan garwanipun ingkang arupi Taruban.

Joko Tarub kagungan karemenan nangkep kupu-kupu ing sabin. Nalika dolanan ngantos mlebet wana, Joko Tarub menika diparingi aji-aji. Aji-aji menika dipunwastani Tulup Tunjung Lanang. Lajeng Joko Tarub kondur lan nyariosaken menawi piyambakipun angsal aji-aji tulup saking tiyang sepuh wonten ing wana. Dewi Rara Kasian boten ngijinaken Joko Tarub dolan dhateng wana amargi saking tresnanipun lan khawatir menawi wonten menapa-menapa kaliyan Joko Tarub. Ananging Joko tarub tetep dolan dhateng wana Joko Tarub remen pados manuk.

Nalika Joko Tarub badhe pados manuk wonten ing wana, piyambakipun mireng swanten ingkang sae sanget. Jebul swanten menika saking swanten manuk perkutut. Lajeng Joko Tarub nyedhaki panggenan manuk menika, Joko Tarub nulup manuk menika, ananging boten kena. Saking kedadosan menika Joko ngraosaken menawi manuk menika sanes manuk biyasa. Joko Tarub boten putus asa mireng manuk menika mabur mengidul, lajeng Joko Tarub ngoyak manuk menika naging boten kena malih. Jaka Tarub mireng swanten manuk menika malih, ingkang asalipun saking kidul. Jaka Tarub nyedhaki malih nyobi nulup manuk menika. Nanging gagal malih, manuk menika malah mabur menyang kidul. Nalika Jaka Tarub ngejar manuk kutut menika malih dhateng kidul, Jaka Tarub ngraosaken manuk menika dados pratandha piyambakipun badhe pikantuk rejeki ingkang ageng.

Nalika Jaka Tarub nguber manuk menika, piyambakipun mireng swanten tiyang estri ingkang kadosipun taksih asyik adus ing tlaga.
Jaka Tarub nyedhaki tlaga saperlu mastheke swanten menika. Jebul leres menawi swanten menika saking swantenipun widadari ingkang taksih sami adus. Amargi dinten sampun sonten, Jaka Tarub kondur. Nalika Jaka Tarub kondur, piyambakipun nemu sampur ing sisih tlaga. Joko Tarub mendhet salah satunggaling sampur menika, lajeng dipunbekta dhateng griyanipun. Joko Tarub ndeken sampur menika ing nginggilipun lumbung. Joko Tarub ngraos lepat amargi sampun mendhet sampur menika. Salajengipun Joko Tarub tindak malih dhateng tlaga badhe nglintuni sampur widadari menika ngangge ageman kagungan ibunipun Joko Tarub.

Sasampunipun dugi ing tlaga, prayata para widadari menika sampun sami kondur dhateng kahyangan. Jaka Tarub. Nanging, jebulipun taksih wonten satunggal widadari ingkang taksih wonten ing tlaga. Widadari menika nangis amargi sampuripun ical. Widadari menika ngucap sinten kemawon ingkang saged mbiyantu nemokaken sampuripun, menawi jaler badhe dipundadosaken garwa lan menawi estri badhe dados sedherekipun. Joko Tarub nyedhaki widadari lan ngaturake ageman kagungan ibunipun dhateng widadari menika. Amarga widadari menika sampun boten saged kondur dhateng kahyangan, Joko Tarub mbekta widadri kasebut dhateng griyanipun. Sasampunipun dugi ing griya, Joko Tarub nepangaken widadari menika dhateng ibunipun. Pranyata widadari menika asmanipun Nawang Wulan. Joko Tarub matur dhateng ibunipun bilih Nawang Wulan menika widadari ingkang ditemokake ing tlaga. Miturut janjinipun, Nawang Wulan akhiripun dados garwanipun Joko Tarub lajeng kagungan putra ingkang dipunasmani Nawang Sih.

Nalika Nawang Sih taksih alit, wonten prastawa ingkang ngedab-edabi inggih menika nalika Nawang Sih taksih ten ayunan. Nalika Nawang Wulan badhe umbah-umbah ing lepen, piyambakipun ngaturake amanat dhumateng Joko Tarub supados Joko Tarub njaga Nawang Sih sarta sampun mbikak kekep. Sesampunipun Nawang Wulan medal teng lepen, amargi penasaran kalih amanat saking garwanipun, mangka kekep dipunbikak, Joko Tarub kaget amargi sesampunipun ningali pranyata ingkang dipun mangsak ten kukusan inggih menika naming sealer pantun. Raos penasaran ingkang salebeting wekdal dipunraosaken Joko Tarub sampun dipunwangsuli, amarga piyambakipun gumun garwanipun mangsak saben dinten ananging pantun ingkang wonten lumbung mboten kirang-kirang prayata ingkang dipunmangsak namung sealer pantun. Boten let dangu, Nawang Wulan kondur saking lepen, piyambakipun duka amargi Joko Tarub sampun nglanggar amanat saking piyambakipun. Joko Tarub mboten kalah anggenipun duka amargi Nawang Wulan mboten mangsak kanthi cara ingkang wajar. Nawang Wulan kaliyan Joko Tarub padu.

Saking prastawa kasebut, Nawang Wulan sadhar saniki mangsak ingkang wajar-wajar kemawon kadasto manungsa-manungsa sanesipun. Saengga pantun ingkang wonten ing lumbung kantun sakedhik, wonten ing pantun ingkang pungkasan, Nawang Wulan kaget amargi sampur kagungan piyambakipun wonten ing lumbung. Nawang Wulan ngadhep Joko Tarub supados nyariosaken babagan sampur menika. Nawang Wulan kaliyan Joko Tarub padu lajeng Nawang Wulan kondur menyang khayangan. Ananging saderengipun kondur menyang kahyangan, Nawang Wulan paring amanat dhumateng Joko Tarub menawi Nawang Sih badhe ngersakake mimik, supados dipundamelaken anjang-anjang ten njawi griya. Joko Tarub piyambak nglarang masyarakat Tarub ndamel anjang-anjang amargi anjang-anjang menika tandha nelangsa wekdal dipuntilar Nawang Wulan ten khayangan kangge ngagengaken Nawang Sih piyambak mboten wonten sisihanipun. Joko Tarub mboten krama malih sasampunipun dipuntilar Nawang Wulan.
Wonten ing khayangan, pranyata Nawang Wulan mboten dipuntampi malih dening rencang-rencangipun amargi Nawang Wulan sampun kena ambu-ambu manungsa.

Salajengipun Nawang Wulan medhak malih menyang bumi namung mboten teng dalemipun Joko Tarub. Nawang Wulan badhe bunuh diri kanthi mlumpat saking Gunung Merbabu dhumateng Segara Kidul. Ananging Nawang Wulan slamet malahan perang kaliyan panguasa Segara Kidul inggih menika Ratu Kidul. Paperangan kasebut dipunmenangaken dening Nawang Wulan. Mila saking menika Nawang Wulan saniki dados panguasa Segara Kidul kanthi gelar Nyi Roro Kidul, dene Ratu Kidul dados panasihat Nyi Roro Kidul.

(salam kagem: mbah daroji, erik, paris, biya, mba Ve, Nadin, tikli, agus klampok, toyax, depi, yudis..,dkk sedaya).

Sunday, 23 May 2010

Tanggap Wacana Upacara Mitoni -Sesorah (pidato bhs Jawa)-



Ing ngisor iki tuladha teks pidato utawa tanggap wacana acara adat “Mitoni”. Coba gatekna bab isi lan urut-urutane tanggap wacana.

Mahardhikeng tyas ring kamardhikan

Nuwun
Dhumateng para sesepuh saha pinisepuh ingkang dahat kinurmatan,
Dhumateng pamangku gati ingkang kula urmati,
Dhumateng para tamu undangan ingkang minulya.

Langkung rumiyin sumangga kula lan penjenengan sedaya ngaturaken raos syukur dhumateng ngarsanipun Gusti Ingkang Murbeng Dumadi ingkang sampun maringi kasarasan sarta kalodhangan, saengga kita saged anjenengi acara ing wekdal menika inggih acara tingkepan utawi mitoni garwanipun bapak Zainul Ma’arif kanthi boten wonten alangan menapa-menapa. Mugi-mugi kemawon ing dalem kekempalan kita dinten samenika wonten manfaatipun. Amin.

Para rawuh ingkang kula urmati.
Panjenengan sedaya kaaturan rawuh ing wekdal menika, inggih boten sanes amargi raos syukuripun bapak Zainul Ma’arif dhumateng ngarsanipun Gusti, amargi sadangu mangun bale wisma sampun ngajeng-ajeng momongan utawi putra ing dalem kulawarganipun.
Samenika pangajeng-ajeng menika sampun kalampah kanthi tetenger mbobotipun garwanipun ingkang sampun ngancik pitung sasi. Pramila saking menika Bapak Zainul Ma’arif sakulawarga nyuwun donga pangestunipun saking para rawuh, supados jabang bayi ingkang taksih wonten madaran menika pinaringan selamet, semanten ugi ibunipun. Lan mugi-mugi anggenipun lair dipunparingi gancar, lancar, sarta selamet kekalihipun.

Para rawuh ingkang kinurmatan,
Mugia kita sedaya dados tiyang ingkang estu-estu ngabekti dhumateng tiyang sepuh kalih. Semanten ugi, mugi-mugi Bapak Zainul Ma’arif sakulawarga benjang dipunparingi putra ingkang tansah ngabekti marang tiyang sepuhipun, migunani tumrap nusa, bangsa sarta agami. Amin.
Cekap semanten saking kawula, minangka panutuping atur,

Nuwun

(Nana Diana; 23 Mei 2010)

Saturday, 15 May 2010

Dialek Bahasa Jawa


Dialek adalah bahasa sekelompok masyarakat yang tingal di suatu daerah tertentu. Perbedaan dialek di dalam sebuah bahasa maka ditentukan oleh letak geografis atau region kelompok pemakainya. Karena itu dialek disebut dialek geografis atau dialek regional. Batas-batas alam seperti sungai, gunung, laut, hutan, dan semacamnya membatasi dialek yang satu dengan dialek yang lain.

Karena paham dialek di sini adalah “bagian” dari suatu bahasa, timbul paham lanjutan yang mengatakan, pemakai suatu dialek bisa mengerti dialek lain. Dengan kata lain ciri penting suatu dialek ialah adanya kesalingmengertian (mutual intelligible).
Masalah yang timbul sekarang, dengan adanya keadaan berikut: apa yang disebut oleh orang awam dialek tertentu ternyata tidak dipahami oleh pemakai dialek yang lain. Sebaliknya ada keadaan: dua kelompok masyarakat yang berbeda bahasa ternyata bisa saling mengerti meskipun mereka menggunakan bahasa sendiri-sendiri (Sumarsono :21-23).

Ciri yang cukup masuk akal adalah ciri sejarah, dalam arti misalnya apakah X dan Y itu dua dialek atau dua bahasa, sedikit banyak bergantung pada hubungan sejarah keduanya. Ciri lain dapat disebut homogenitas, yaitu adanya kesamaan unsure-unsur bahasa tertentu. Para ahli dialektologi misalnya, percaya apakah X dan Y itu dua bahasa, dua dialek, atau dua sub dialek, atuakah hanya sekedar dua variasi saja, dapat ditentukan dengan mencari kesamaan kosakatanya. Jika persamaannya hanya 20% atau kurang, keduanya adalah dua bahasa. Tetapi kalau bisa mencapai 40% - 60%, keduanya dua dialek; dan kalau mencapai 90% misalnya, jelas keduanya hanyalah dua variasi saja dari sebuah bahasa. (Sumarsosno :24-25).

Macam-macam Dialek Bahasa Jawa

Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan penduduk suku bangsa Jawa terutama di beberapa bagian Banten terutama kota Serang, kabupaten Serang, kota Cilegon dan kabupaten Tangerang, Jawa Barat khususnya kawasan pantai utara terbentang dari pesisir utara Karawang, Subang, Indramayu, kota Cirebon dan kabupaten Cirebon, Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur di Indonesia. Penyebaran bahasa Jawa juga sampai ke mancanegara diantaranya seperti Malaysia dan Suriname.

Karena bahasa-bahasa ini terbentuk dari gradasi-gradasi yang sangat berbeda dengan bahasa Indonesia maupun Melayu, meskipun tergolong rumpun Austronesia. Sedangkan dialek daaerah ini didasarkan pada wilayah, karakter, dan budaya setempat. Perbedaan antara dialek satu dengan dialek lainnya bisa 0-70%. Untuk klasifikasi berdasarkan dialek daerah, pengelompokannya mengacu kepada pendapat E.M Uhlenbeck, 1964, di dalam bukunya: “A Critical Survey of Studies on the Languages of Java and Madura”, The Hague: Martinus Nijhoff. (Sumber: Wikipedia bahasa Indonesia).

a.Kelompok bahasa Jawa bagian barat:
Dialek Banten
Dialek Cirebon
Dialek Tegal
Dialek Banyumasan
Dialek Bumiayu (peralihan Tegal dan Banyumas)
Kelompok pertama di atas sering disebut bahasa Jawa ngapak-ngapak.


b.Kelompok bahasa Jawa bagian Tengah:
Dialek Pekalongan
Dialek Kedu
Dialek Bagelen
Dialek Semarang
Dialek Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati)
Dialek Blora
Dialek Surakarta
Dialek Yogyakarta
Dialek Madiun
Kelompok kedua di atas sering disebut bahasa Jawa standar, khususnya dialek Surakarta dan Yogyakarta.


c.Kelompok bahasa Jawa bagian timur:
Dialek Pantura Jawa Timur ( Tuban, Bojonegoro)
Dialek Surabaya
Dialek Malang
Dialek Jombang
Dialek Tengger
Dialek Banyuwangi
Kelompok ketiga di atas sering disebut bahasa Jawa Timuran.

Tingkat Tutur Bahasa Jawa


Tingkat tutur bahasa Jawa (Unggah-ungguhing basa)pada dasarnya ada dua macam, yaitu ragam ngoko dan ragam krama. Ragam ngoko meliputi ngoko lugu dan ngoko alus (Hardyanto dan Esti SU 2001:47).

Poedjasoedarma berpendapat bahawa tingkat tutur ngoko mencerminkan rasa tak berjarak antara 01 terhadap 02 dan tingkat tutur ini dipakai jika seseorang ingin menyatakan keakrabannya terhadap mitra wicara (02); tingkat tutur madya diartikan sebagai tingkat tutur menengah antara krama dan ngoko; tetapi tetap menunjukkan perasaan sopan meskipun kadar kesopanannya hanya sedang-sedang saja; tingkat tutur krama diartikan sebagai tingkat tutur yang memancarkan arti penuh sopan santun dan tingkat tutur ini menandakan adanya perasaan segan 01 terhadap 02 (Sasangka 2004:14).

Bahasa Jawa berdasarkan Undha-usuk atau unggah-ungguhnya ialah seperti disebutkan di bawah ini (Suliyanto 2008:15):
No.
Undha-Usuk Basa
Endahing Raos Adining Suraos
1.
Ngoko (lugu)
Raket-supekat
2.
Ngoko (alus)
Raket-supekat, nanging tetep urmat
3.
Krama (lugu)
Urmat, nanging kirang raket-supeket
4.
Krama (alus)
Urmat sanget, nanging kirang raket supeket

Selanjutnya tingkat tutur bahasa Jawa di atas akan dijelaskan sebagai berikut.
1 Tingkat Tutur Ngoko (Ragam Ngoko)
Yang dimaksud dengna ragam ngoko adalah bentuk unggah-ungguh bahasa jawa yang berintikan leksikon ngoko, atau yang menjadi unsur inti di dalam ragam ngoko adalah leksikon ngoko bukan leksikon yang lain. Afiks yang muncul dalam ragam ini pun semuanya berbentuk ngoko (misalnya, afiks di-, -e, dan –ake). Ragam ngoko dapat digunakan oleh mereka yang sudah akrab dan oleh mereka yang merasa dirinya lebih tinggi status sosialnya daripada lawan bicara (mitra wicara). Ragam ngoko mempunyai dua bentuk varian, yaitu ngoko lugu dan ngoko alus (Sasangka 2004:95).

a. Ngoko Lugu
Yang dimaksud dengan ngoko lugu adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang semua kosakatanya berbentuk ngoko dan netral (leksikon ngoko dan netral) tanpa terselip leksikon krama, krama inggil, atau krama andhap, baik untuk persona pertama (01), persona kedua, persona kedua (02), maupun kedua (02), maupun untuk persona ketiga (03).
1)yen mung kaya ngono wae, aku mesthi ya bisa!
“Jika Cuma seperti itu saja, saya pasti juga bisa!”
2)Yen mung kaya ngono wae, kowe mesthi ya bisa!
“Jika Cuma seperti itu saja, kamu pasti juga bisa!”
3)Yen mung kaya mengono wae, dheweke ya bisa!
“Jika Cuma seperti itu saja, dia pasti juga bisa!”

Contoh: Bojoku nukokake klambi bocah-bocah (Sudaryanto 1991:152).
‘Isteri saya membelikan anak-anak baju’
Mas Totok nggawekake Dik Darno layangan (Sasangka 2001:152).
‘Mas Totok membuatkan Dik Darno layangan’
Tampak sufiks –ake pada nukokake ‘membelikan’ dan nggawekake ‘membuatkan’ merupakan afiks penanda leksikon ngoko (Sasangka 2004:98).

b. Ngoko Alus
Yang dimaksud dengan ngoko alus adalah bentuk unggah-ungguh yang di dalamnya bukan hanya terdiri atas leksikon ngoko dan netral saja, melainkan juga terdiri atas leksikon krama inggil, krama andhap, atau leksikon krama yang muncul di dalam ragam ini sebenarnya hanya digunakan untuk menghormati mitra wicara (02 atau 03)(Sasangka 2004:99-100).
Contoh: Wingenane simbah tindak mrene (Sudaryanto 1991:153).
‘Kemarin dulu nenek ke sini’
Pak guru basa Jawa sing anyar iku asmane sapa? (Sasangka 2001:183).
‘Pak guru bahasa Jawa yang baru itu namanya siapa?’
Tampak bahwa pada butir tindak ‘pergi/berangkat’ dan asmane ‘namanya’ merupakan leksikon krama inggil yang berfungsi untuk menghormati mitra tutur (Sasangka 2004:100).

2 Tingkat Tutur Krama(Ragam Krama)
Yang dimaksud dengan ragam krama adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang berintikan leksikon krama, atau yang menjadi unsur inti di dalam ragam krama adalah leksikon krama bukan leksikon yang lain. Afiks yang muncul dalam ragam ini pun semuanya berbentuk krama (misalnya, afiks dipun-, -ipun, dan –aken). Ragam krama digunakan oleh mereka yang belum akrab dan oleh mereka yang merasa dirinya lebih rendah status sosialnya daripada lawan bicara. Ragam krama mempunyai dua bentuk varian, yaitu krama lugu dan krama alus (Sasangka 2004:104).

a.Krama Lugu
Secara semantis ragam krama lugu dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk ragam krama yang kadar kehalusannya rendah. Meskipun begitu, jika dibandingkan dengan ngoko alus, ragam krama lugu tetap menunjukkan kadar kehalusan (Sasangka 2004:105).
Contoh: Niki bathike sing pundi sing ajeng diijolake?
‘Batik ini yang mana yang akan ditukarkan?’
Mbak, njenengan wau dipadosi bapak.
‘Mbak, Anda tadi dicari bapak’
Tampak afiks di- pada diijolake ‘ditukarkan’ dan dipadosi “dicari’ merupakan afiks ngoko yang lebih sering muncul dalm unggah-ungguh ini darpada afiks dipun-, -ipun, dan –aken. Contoh kalimat di atas bertujuan untuk menurunkan derajat kehalusan (Sasangka 2004:108-109)

b.Krama Alus
Yang dimaksud dengan krama alus adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang semua kosakatanya terdiri atas leksikon krama dan dapat ditambah dengan leksikon krama inggil atau krama andhap. Meskopun begitu, yang menjadi leksikon inti dalam ragam ini hanyalah leksikon yang berbentuk krama. Leksikon madya dan leksikon ngoko tidak pernah muncul di dalam tingkat tutur ini. Selain itu, leksikon krama inggil atau krama andhap –secara konsisten- selalu digunakan untuk penghormatan terhadap mitra wicara.

Secara semantis ragam krama alus dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk ragam krama yang kadar kehalusannya tinggi (Sasangka 2004:111).
Contoh: Arta punika kedah dipunlintokaken wonten bank ingkang dumunung ing kitha.
‘uang ini harus ditukarkan di bank yang berada di kota’
Tampak bahwa afiks dipun- ‘di’ seperti pada dipunlintokaken ‘ditukarkan’ merupakan afiks penanda leksikon krama (Sasangka 2004:113).

Friday, 14 May 2010

Wangsalan Nama-nama Buah di Jawa





Wangsalan merupakan salah satu bagian kebudayaan masyarakat Jawa. Wangsalan adalah kata-kata yang jawabannya sudah ada pada sukukata kata–kata nya. Wangsalan ada yang mudah adapula yang sulit dalam memahaminya.
Pada saat sekarang wangsalan sudah banyak yang tidak mengetahuinya. Salah satu wangsalan adalah wangsalan nama-nama buah. Oleh karena itu penyusun tertarik untuk mencoba meneliti masalah ini. Dalam makalah ini akan dibahas bentuk-bentuk wangsalan nama-nama buah di Jawa. Adapun kebanyakan resensi kajian dari penyusunan makalah sederhana ini adalah berasal dari Serat Centhini jilid V karya Sunan Paku Buwana V (penyunting: Marsono).


Bentuk Wangsalan
(1). Buah gedhang “pisang” dari wangsalan pangebanging basa “janji dalam bahasa”: di-gadhang “direncana/diharap-harapkan”.
(2). Buah duren “durian” dari wangsalan kang aso ing margi “beristirahat di jalan”: ngaso/leren “beristirahat”.
(3). Buah pakel “mangga muda” dari wangsalan kang ambekicik “yang dalam bertengkar tidak mau mengalah”: ngengkel atau ngeyel.
(4). Buah kuweni “kweni” dari wangsalan tinantang purun “ditantang berani”: wani.
(5). Buah rambutan dari wangsalan sobrah sirah “akar/tetumbuhan kepala”: rambut.
(6). Buah kepundhung dari wangsalan kang tumpang tindhih “yang bertumpang tindih”: tumpuk udhung.
(7). Buah manggis dari wangsalan kang luntur ing siti “jatuh di tanah”: tlutuh.
(8). Buah nangka dari wangsalan kang turangga buntal “kuda berwarna-warni”: plangka.
(9). Buah balimbing dari wangsalan wangsul ing margi “kembali di jalan”: bali.
(10). Buah jirak dari wangsalan saranging mangsi “tinta yang kering”: ngerak.
(11). Buah sawo dari wangsalan tansah kebrawuk “selalu diaku padahal milik orang lain”: digabro.
(12). Buah kokosan dari wangsalan tanpa basa “tanpa bahasa hormat”: ngoko/koko.
(13). Buah dhuku dari wangsalan kang trapsila ajrih “sopan santun takut/hormat”: ndheku.
(14). Buah kecapi dari wangsalan ciri pratandha nawala “tanda surat sah”: cap.
(15). Buah srikaya dari wangsalan asung pekah “memberi nafkah”: kaya.
(16). Buah jeruk dari wangsalan dedalaning bayi “jalan lahir bayi”: turuk.
(17). Buah waresah dari wangsalan nora tata “yang tidak berkata/teratur”: rusuh/resah.
(18). Buah kepel dari wangsalan pamuluking bukti “menyuap makan”: makan dengan tangan kepel.
(19). Buah nanas dari wangsalan rasaning geni “rasa api”: panas.
(20). Buah dalima “delima” dari wangsalan paroning puluh “paroan sepuluh”: lima.
(21). Buah malowa dari wangsalan tegal bangka “ladang tiada terurus/tiada tanaman”: mluwa. Buah jambu dari wangsalan kang munggeng peragi/pragen “yang berda pada tempat peragi”: jambu/bambu.
(22). Buah dhuwet dari wangsalan jalma busana rikatan “orang berdandan cepat-cepat”: uwat-uwet.
(23). Buah gayam dari wangsalan kang ingancam-ancam “yang diancam-ancam”: ngayam.
(24). Buah kelayu dari wangsalan rare nututi “anak ingin ikut pergi”: klayu.
(25). Buah pijetan dari wangsalan padha gininda “saling memijat”: pijetan.
(26). Buah pelem dari wangslan wismane priyayi “rumah priyayi (bangsawan)”: dalem.
(27). Buah malinjo dari wangsalan anggung tilik “selalu bertandang”: tinjo.
(28). Buah cereme dari wangsalan penganten wus atut “pengantin telah rukun”: carem.
(29). Buah galembak dari wangsalan siti andhap “tanah rendah”: lebak.
(30). Buah salak dari wangsalan kang kasusu aglis “yang tergesa-gesa cepet”: selak.
(31). Buah mundhu dari wangsalan tomboking janma totohan “uang taruhan dari seseorang”: undhu.
(32). Buah keluwih dari wangsalan punjul wilangan “berlebih hitungan/bilangannya”: luwih.
(33). Buah sukun dari wangsalan kang wis kaki-kaki “yang telah (menjadi) kakek-kakek”: pikun.
(34). Buah sentul dari wangsalan walesan pikat “pegangan/tempat bertengger yang membingkas/memantul untuk bertengger burung sebagai umpan”: mentul.
(35). Buah elo dari wangsalan ingkang pendhok warni “logam sarung keris berwarna (merah)”: kemalo.
(36). Buah maja dari wangasalan jalma pepenging “orang melarang”: (dengan kata) aja.
(37). Buah bulu dari wangsalan sandhang manuk “pakaian burung”: wulu.
(38). Buah kawista dari wangsalan aken luwar “menyuruh keluar”: wis ta.
(39). Buah gowok dari wangsalan erong munggeng kitri “lubang di/berada di pohon”: gowok.
(40). Buah wuni dari wangsalan panatape ing gamelan “membunyikan gamelan”: uni.
(41). Buah jagung dari wangsalan rare ugungan “anak manja”: ugungan.
(42). Buah semangka dari wangsalan munggah ngardi “mendaki di gunung”: sumengka.
(43). Buah timun dari wangsalan menawa andulu “kalau melihat”: lamun andulu.
(44). Buah krai dari wangsalan kepala ngarsa “kepala bagian depan”: rai.
(45). Buah waluh dari wangsalan toyaning tangis “air tangi”: eluh “air mata”.
(46). Buah bestru dari wangsalan anggung dadya memungsuhan “selalu menjadi bermusuhan”: satru “musuh”.
(47). Buah otek dari wangsalan telasing pemanagan “habis makannya”: entek.
(48). Buah pare dari wangsalan pamudharing weni “mengurai rambut”: ngore “mengurai”.
(49). Buah lombok dari wangsalan bojoning bapa “istri bapak/ayah”: simbok/embok.
(50). Buah terong dari wangsalan talang kendhi “talang kendhi”: torong.
(51). Buah cipir dari wangsalan nimpang ningali “menyimpang melihat”: sumingkir, mlipir.
(52). Buah kara dari wangsalan wewinih padu “benih pertengkaran”: perkara.
(53). Buah gedhe dari wangsalan pengepe raga “berjemur diri”: dhedhe.
(54). Buah kumangi/kemangi dari wangsalan kumudu amrik “sangat ingi harum mewangi”: wangi.
(55). Buah ranti deri wangsalan ingkang praptane nora barengan “yang kedatangannya tidak bersama-sama”: sarenti.
(56). Buah kimpul dari wangsalan ingkang kelumpukan “yang berkumpul”: kumpul.
(57). Buah ketela dari wangsalan cetha ing uni “jelas pada ucapan/bunyi”: tela.
(58). Buah kenthang dari wangsalan kasuwen memeyan “jemuran terlalu lama”: diklanthang.
(59). Buah uwi berasa dari wangsalan bangsa krama adi “bahasa krama/hormat bagus”: awi “silakan, mari”.
(60). Buah gadhung dari wangsalan kekemben wilis “kemban/penutup dada wanita berwarna hijau”: kemben gadhung.
(61). Buah gembili dari wangsalan gring pipi lemu “sakit pipi gemuk”: gembil.
(62). Buah walur dari wangsalan pangudhal benang “mengurai/ulur benang”: ngulur.
(63). Buah seweg dari wangsalan basa lagi-lagi “bahasa/kata sedang”: saweg.
(64). Buah besusu dari wangsalan parang jaja ing wanudya “karang dada wanita”: susu.
(65). Buah kacang dari wangsalan panguger turangga “mengikat kuda”: nyancang.
(66). Buah kedhele dari wangsalan sindheting tali “ikatan tali”: sindhet.
(67). Buah wijen dari wangsalan maju pring priyangga “maju hanya seorang diri”: ijen.
(68). Buah pete dari wangsalan marga binuntu “jalan buntu”: bumpet.
(69). Buah jengkol dari wangsalan sinjang kepelag “kain bagus (meski meliuk coraknya)”: mengko.
(70). Buah kemlandhingan dari wangsalan kembar jurit “dilawan dalam perang”: ditandhingi.
(71). Buah kaluwak dari wangsalan trenggalung kang tanpa boga “sebangsa binatang rase tanpa makan”: luwak.
(72). Buah kemiri dari wangsalan pangembet karya “menyangkut pekerjaan”: meri.
(73). Buah pucung dari wangsalan selaning marga “menuju berjalanke...”: mucung.
(74). Buah pace dari wangsalan poyok ngisin-isin “mengolok-olok membuat malu”: ngece.