Wayang kulit : Perbedaan Wayang Kulit dari Surakarta dan Yogyakarta
Kebudayaan dalam arti luas, adalah seluruh pikiran, karya dan hasil karya manusia, yang tidak berakar pada naluri, dan oleh karenanya, dikembangkan oleh manusia setelah melalui proses belajar.
Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang mempunyai kebudayaan yang sangat beragam. Diantara kebudayaan dari Jawa khususnya dari Jawa Tengah, dan Daerah Istimewa Yogyakarta adalah kesenian wayang kulit.
Wayang kulit umumnya di nusantara dan khususnya di masyarakat Jawa, dari zaman dahulu dapat menjadi sarana hiburan dan sarana untuk mengajarkan budi pekerti yang luhur kepada masyarakat.
Namun demikian, suatu kenyataan yang kita hadapi sekarang akibat adanya kemajuan zaman serta masuknya budaya-budaya dari mancanegara, adanya wayang khususnya wayang kulit sudah tidak begitu diperhatikan oleh masyarakat, khususnya generasi muda.
Sudah banyak generasi kita yang kurang tahu atau bahkan tidak tahu mengenai kesenian wayang. sehingga perlu upaya-upaya untuk menumbuhkan kembali dan mengembangkan menjadi bagian yang dapat memperkaya khasanah kebudayaan nasional.
Wayang kulit dari Surakarta dan dari Yogyakarta secara garis besar tidak memiliki perbedaan yang begitu mencolok.
Perbedaan tersebut adalah :
v Segi Pakaiaan
Secara garis besar dari segi pakaian tidak ada perbedaan yang besar antara wayang kulit dari Surakarta dan Yogyakarta. Perbedaan dari segi pakaian antara wayang kulit dari Surakarta dan Yogyakarta ini salah satunya dipengaruhi oleh pakaian adat dari daerah tersebut.
Pakaian adat Surakarta dan Yogyakarta kelihatannya sama, tetapi ternyata ada beberapa perbedaan walaupun tidak begitu besar. Perbedaan pakaian adat dalam kenyataannya juga mempengaruhi pada pakaian wayang kulit yang dihasilkan dari kedua daerah tersebut.
Misalnya perbedaan pada keris yang dikenakan oleh tokoh wayang, perbedaan ini juga dipengaruhi oleh perbedaan keris dari masing-masing daerah itu. keris Surakarta dikenal lebih halus. Sedangkan keris Yogyakarta mempunyai “gayaman” yang lebih kasar , bertekstur jelas, dan sering kali berbentuk lancip (runcing) .
Selain itu, keris Yogyakarta tidak memiliki motif atau polos saja, kalaupun bermotif hanya berbentuk naga atau Kalamekara saja. Berbeda dengan keris dari Surakarta yang banyak dihiasi motif-motif batik dan aneka bentuk, misalnya bermotif kawung, alas-alasan, truntum, beraneka macam bunga, dan lain-lain. Perbedaan yang ada di atas pasti mempengaruhi keris yang dipakai oleh tokoh-tokoh yang ada dalam wayang sehingga menimbulkan perbedaan antara wayang Yogyakarta dan Surakarta.
Ada juga perbedaan yang lain, seperti pada irah-irahan pada setiap tokoh wayang. Pada bagian belakang irah-irahan yang ada pada tokoh wayang Yogyakarta cenderung lebih “trepes” di banding dengan wayang Surakarta.
Pada motif jarik yang digunakan pun kadang-kadang mempunyai perbedaan. Corak warna dan desain batiknya pun berbeda. Batik pada wayang Yogyakarta lebih terang dengan menggunakan putih dan cokelat tua saja. Sedangkan batik wayang Sarakarta lebih kalem dan gelap dengan menggunakan warna cokelat, hitam, dan sedikit saja warna putih. Ini tidak berbeda dengan apa yang ada pada kenyataannya sekarang ini. Batik yang digunakan pada masyarakat Yogyakarta dan Surakarta pun berbeda.
Wiru pada jariknya pun juga berbeda. Wiru Yogyakarta pada bagian garis putih pada ujung jarik diperlihatkan dan kadang-kadang disertai “pengkolan-pengkolan” (lipatan). Sedangkan pada Wiru Surakarta garis putih tersebut tidak diperlihatkan dengan cara ditekuk atau dilipat ke dalam sehingga akan tertutupi oleh wiru itu sendiri.
v Segi Tokoh / Watak Wayang
Dari segi tokoh atau watak wayang terdapat beberapa perbedaan antara wayang kulit dari Surakarta dan Yogyakarta. Perbedaan tersebut misalnya pada tokoh Anoman. Pada wayang kulit Surakarta tokoh Anoman memiliki satu mata saja di satu sisi wayang. sedangkan pada wayang kulit Yogyakarta tokoh Anoman ini memiliki dua mata pada setiap sisinya.
Tokoh wayang yang bernama Bima, apabila dari Surakarta digambarkan dengan tokoh hitam besar memakai jarik lengkap beserta wiru dan sulurnya. Sedangkan dari Yogyakarta Bima digambarkan dengan tokoh hitam besar memakai jarik kotak-kotak hitam putih.
Tokoh wayang Durna, apabila dari Surakarta Durna dianggap sebagai tokoh asli dari Jawa. Tetapi Durna Yogyakarta adalah tokoh yang dianggap dari luar Jawa yang memiliki aksen dan logat bicara ke arab-araban. “Buta-buta” pun memiliki perbedaan. Buta dari Surakarta hanya memiliki satu tangan yang bisa digerakan. Sedangkan Buta Yogyakarta memiliki dua tangan yang bisa digerakkan.
v Segi Gendhing Pengiring
Gendhing pada wayang kulit dari Surakarta cenderung menggunakan gendhing yang halus, sedangkan Yogyakarta lebih menggunakan gendhing-gendhing soran yaitu gendhing yang keras dan lebih kasar. Surakarta menggunakan sekar ageng sedangkan Yogyakarta. menggunakan Sekar Mataraman.
Cempala yang digunakan sama, tetapi ada perbedaan pada “kepyek” yang digunakan. Apabila versi Surakarta berbunyi “pyek...pyek...pyek...”, dan terkesan lebih halus. sedangkan versi Yogyakarta berbunyi “creng...creng...creng...” .
Dari perbedaan-perbedaan itu terdapat persamaan dari kedua versi wayang itu, yaitu bersumber pada buku atau kitab Pustaka Raja Purwa. Perbedaan-perbedaan itu bertemu di Pakualaman yang bersifat “netral” dengan menerima versi Surakarta maupun versiYogyakarta (Akulturasi).
Sumber Wawancara dengan:
1. Dwi Narimo : Petugas Museum Radya Pustaka Surakarta
2. Aji Setyo Wijoyo : Petugas Perpustakaan Radya Pustaka Surakarta
Tgl: 10 Mei 2008