Sugeng rawuh ing "Sinau Jawa". Blog menika minangka salah satunggalipun pambudidaya nguri-uri kabudayan Jawa, tilaranipun linuhung Jawa. Nyuwun Pangapunten awit kathah kekiranganipun. Matur nuwun.

Monday, 7 October 2013

Sekilas tentang Lakon Wayang



Pengertian lakon
Pertunjukan wayang kulit purwa, lazim disebut pakeliran. Jika orang melihat sebuah pertunjukan wayang, sebenarnya yang dilihat adalah pertunjukan lakon. Oleh karena itu, kedudukan lakon dalam pakeliran sangat penting sifatnya. Melalui garapan lakon, terungkap nilai-nilai kemanusiaan yang dapat memperkaya pengalaman kejiwaan.
Dikalangan pedalangan pengertian Lakon sangat tergantung dengan konteks pembicaraannya. Lakon dapat diartikan alur cerita, atau judul cerita, atau dapat diartikan sebagai tokoh utama dalam cerita (Kuwato dalam Murtiyoso. 2004).
Selain itu lakon merupakan salah satu kosakata bahasa Jawa, yang berasal dari kata laku yang artinya perjalanan atau cerita atau rentetan peristiwa (Murtiyoso. 2004). Jadi lakon wayang adalah perjalanan cerita wayang atau rentetan peristiwa wayang. Perjalanan cerita wayang ini berhubungan dengan tokoh-tokoh yang ditampilkan sebagai pelaku dalam pertunjukan sebuah lakon. Kemudian di dalam sebuah cerita wayang akan muncul permasalahan, konflik-konflik dan penyelesaiannya ini terbentang dari awal sampai akhir pertunjukan (jejer sampai dengan tancep kayon) dengan wujud kelompok unit-unit yang lebih kecil yang disebut adegan. Unit adegan yang satu dengan adegan yang lain, saling terkait, baik langsung maupun yang tidak langsung membentuk satu sistem yang disebut lakon. 

Judul lakon
Judul lakon adalah suatu nama untuk menunjuk rentetan peristiwa tertentu. Fungsinya sebagai pembatas atau pembeda antara satu kelompok peristiwa, dengan kelompok peristiwa yang lain. Hal ini tampak jelas apabila judul lakon itu merupakan suatu bagian dari cerita besar, misalnya, cerita perang Baratayudha. Peristiwa kepergian Kresna ke Hastina sebagai duta dibatasi dalam judul Kresna Duta, peristiwa tampilnya Bisma ke medan perang sampai gugur, dibatasi dengan judul Bisma Gugur, begitu seterusnya.
Meskipun lakon yang dipentaskan adalah lakon carangan (Lakon carangan, adalah merupakan lakon yang digubah dari lakon pokok, yang kenudian dikembangkan sendiri. Bahkan bisa diurai lagi, menjadi cerita-cerita yang lain lagi), tetapi lakon itu tentu dikaitkan dengan suatu kehidupan tokoh wayang dalam episode tertentu. Misalnya, lakon carangan ‘Parta Krama’ (Kisah Arjuna merebut Sumbadra), dalam pakeliran tradisi gaya keraton Yogyakarta, dibuat menjadi berseri, yakni Srikandi Maguru Manah, Abimanyu Lahir, Sumbadra Larung. Sedangkan lakon carangan ‘Parta Krama’ diambil dari Kakawin Sumbadra Wiwaha, yang merupakan bagian dari Adiparwa.

Pertumbuhan dan Perkembangan Lakon
Lakon wayang sudah diketahui sejak tahun 907 seperti yang tersurat dalam prasasti Balitung (Zoetmulder. 1983). Dari isi prasasti Balitung dapat diketahui bahwa kedua epos besar yang berasal dari India yaitu wiracarita Mahabarata dan Ramayana telah dipertunjukkan pada masa itu.
Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya di Indonesia, epos Mahabarata dan Ramayana ini oleh para pujangga atau genius lokal telah dimodifikasi sedemikian rupa (penambahan dan perubahan) dalam kurun waktu yang sangat panjang untuk diselaraskan dengan situasi dan kondisi nilai budaya setempat. Oleh karena itu terdapat banyak hal yang tidak kita dapatkan dalam epos Mahabarata dan Ramayana yang “asli”, seperti misalnya tokoh Pancawala. Tokoh Pancawala ini di Indonesia adalah hasil perkawinan antara Drupadi dan Puntadewa, padahal dalam Mahabarata India kita ketahui Drupadi kawin dengan ke lima Pandawa dan dari hasil perkawinan itu lahirlah seorang anak laki-laki.

Tokoh punakawan yaitu, Semar, Gareng, Petruk dan Bagong ternyata juga tidak didapatkan dalam epos India itu. Demikian juga lakon-lakon carangan termasuk sinkretisme (percampuran antara cerita Ramayana dan Mahabarata di dalam lakon pedalangan Jawa), juga tidak diketahui dalam cerita Ramayana dan Mahabarata yang asli.

Banyak sumber lakon wayang purwa menjelaskan (Murtiyoso. 2004), bahwa Prabu Dharmawangsa Teguh, seorang raja yang bertahta di Jawa Timur (tahun 997-1007) menterjemahkan beberapa bagian dari Ramayana dan Mahabarata yang berbahasa Sansekerta ke dalam bahasa Jawa Kuna atau Kawi dalam bentuk prosa, diantaranya adalah,

a. Utarakanda di antaranya berisi cerita tentang leluhur Dasamuka, Dasamuka Lahir, Arjuna Sastrabahu, dan cerita tentang Dewi Shinta.
b. Adiparwa di antaranya berisi cerita Dewi Lara Amis, Bale Sigala-gala, Arimba Lena, Peksi Dewata, Kala Rahu (Rambu Culung atau terjadinya gerhana matahari), dan cerita lahir-lahiran termasuk perkawinan Arjuna dan Sumbadra.
c. Subhaparwa berisi cerita Pandawa Dadu
d. Wirathaparwa berisi cerita Jala Abilawa dan Wirarha Parwa
e. Udyagaparwa di antaranya berisi cerita Kresna Gugah
f. Bismaparwa berisi cerita Bisma Gugur dan lain-lain (Poerbatjaraka, 1952)

Raja-raja Jawa yang lain setelah Prabu Dharmawangsa Teguh, setelah raja Kediri, Majapahit, Demak, Kartasura, dan Surakarta, banyak menghasilkan karya-karya sastra, diantaranya lakon-lakon wayang, seperti misalnya, lakon Kresna Kembang di ambil dari Kitab Kresnayana; lakon Ciptoning dari Kitab Arjunawiwaha; lakon Dasarata Lahir diambil dari Kitab Sumanasantaka; Betara Gana Lahir diambil dari Smaradahana, dan lain sebagainya.

Judul-judul lakon yang bersumber dari serat-serat seperti yang telah disebutkan, dan diantaranya masih dipentaskan oleh para dalang sampai sekarang. Namun sampai kurun waktu tertentu, wujud lakon di dalam pakeliran yang meliputi teknis pakeliran, alur lakon, bangunan lakon maupun garap lakonnya, baru dapat memperoleh gambaran, setelah munculnya pakem pedalangan-pedalangan di awal tahun 1930-an untuk panduan para siswa pedalangan, yang diprakarsa oleh Keraton Surakarta, Yogyakarta dan Mangkunegaran. Wujud pakeliran pada setiap generasi, sebelum dan sesudah adanya pakem, selalu mengalami perubahan, baik bentuk maupun isinya.

Pada masa seputar kemerdekaan penyelenggaraan pertunjukan wayang terkait erat dengan kegiatan ritual, seperti suran, sedhekah bumi, sandranan dan semacamnya, maka lakon-lakon wayang yang beredar waktu itu – kecuali lakon-lakon lama yang telah ada – juga lakon-lakon ruwatan seperti Sudamala, Tudhungkala, Murwakala, Babat Wanamarta, Udan Mintaya dan lain-lain. Selain itu pertunjukan wayang juga digunakan untuk menyertai hajat yang berhubungan dengan daur hidup manusia, seperti mitoni, kelahiran, tetakan atau supitan, perkawinan, nyewu, dan sebagainya. Untuk hajat perkawinan lakon-lakon yang ditampilkan, adalah lakon-lakon raben, diantaranya Parta Krama, Wisanggeni Krama dan sejenisnya, juga untuk berbagai macam hajatan keluarga seringkali dipentaskan lakon jenis wahyu. Lakon-lakon wahyu ini, juga beredar di masyarakat pedalangan, misalnya, Makutharama, Purba Kayun, Trimanggala, Cangkir Gadhing, dan lain-lain.

Kemudian pada perkembangannya muncul lakon-lakon baru yang disebut lakon carangan, dan ketentuan-ketentuan tersebut masih berlaku dan dimainkan oleh para dalang hingga saat ini. Pada perkembangannya kemudian dari hasil wawancara diperoleh keterangan bahwa hampir semua dalang mengaku, pernah menyusun, menggubah dan atau mencipta lakon. Lahirnya lakon-lakon carangan ini merupakan ekspresi seniman dalang yang terpacu oleh faktor internal dan eksternal untuk memenuhi tuntutan jaman, karena lakon-lakon yang telah ada kemungkinan tidak lagi dapat menampung permasalahan-permasalahan yang ada di dalam masyarakatnya (Murtiyoso. 2006).

Penggolongan jenis lakon
Penggolongan jenis lakon wayang kulit purwa, dapat digolongkan menurut jenisnya, misalnya jenis wahyu, raben, lahir, mukswa dan lain-lain. Tujuan dari penggolongan jenis lakon yang dimaksudkan, adalah untuk memahami karakteristik lakon, yang sebelumnya (Murtiyoso. 2006) mengalami kesulitan dalam menggolongkan jenis lakon tersebut. Karena beragamnya lakon-lakon wayang yang diantaranya disebabkan adanya tumpang tindihnya alur, maka jenis lakon digolongkan berdasarkan judul-judul lakon dan peristiwa terpenting yang terjadi dalam suatu kelompok lakon. untuk mempermudah penggolongannya (Murtiyoso dan Suratno. 1992)

Penggolongan berdasarkan judul lakon dapat digolongkan menjadi jenis lahiran, raben, alap-alapan, gugur atau lena, mbangun, jumenengan, wahyu, nama tokoh, banjaran dan duta. Sedangkan penetapan jenis lakon berdasarkan peristiwa terpenting yang terjadi dalam suatu kelompok lakon, antara lain jenis paekan, kraman, asmara, wirid, ngenger, kilatbuwanan, perang ageng, dan boyong. Selanjutnya secara singkat akan diuraikan masing-masing jenis lakon yang digolongkan berdasarkan kedua criteria itu berikut ciri pokok dengan contohnya (Mutiyoso, dkk. 2004)

Penggolongan Berdasarkan Judul Lakon (Mutiyoso, dkk. 2004)
1. Jenis lahiran: ciri pokok lakon jenis lahiran adalah, bahwa dalam lakon ini terjadi kelakiran seorang tokoh wayang. Contoh: Setyaki Lahir, Abimanyu Lahir, Wisanggeni Lahir dan lain-lain.
2. Jenis raben: seperti halnya lakon jenis lahiran, di dalam lakon jenis raben atau krama ini terjadi perkawinan atau krama seorang tokoh wayang. Contoh: Parta Krama, Rabine Gathotkaca, Palasara Krama, Irawan Rabi, dan sejenisnya.
3. Jenis alap-alapan: dalam jenis alap-alapan ini, ceritanya terjadi perebutan putri raja diantara para satria atau raja dari berbagai tempat, misalnya, alap-alapan Sukesi, Alap-alapan Dursilawati, Alap-alapan Setyaboma, dan sejenisnya. Mirip dengan lakon alap-alapan ini adalah lakon dengan judul sayembara, misalnya, Sayembara Kasipura, Gandamana Sayembara, dan Sayembara Mantili.
4. Jenis gugur atau lena: dalam lakon jenis ini terdapat meninggalnya seorang tokoh, misalnya Abimanyu Gugur, Gathotkaca Gugur, Salya Gugur, Dasamuka Lena, Kangsa Lena dan lain-lain.
5. Jenis mbangun: ciri pokok lakon jenis mbangun adalah adanya kegiatan pembangunan suatu tempat, misalnya mBangun Taman Maerakaca, mBangun Candi Saptarengga, Semar mBangun Gedhongkencana, Semar mBangun Klampis Ireng dan lain-lain.
6. Jenis jumenengan: di dalam lakon jenis jumenengan, terjadi kegiatan atau peristiwa pengukuhan atau penetapan seorang tokoh menjadi raja, misalnya Jumenengan Parikesit, Jumenengan Puntadewa, Jumenengan Kakrasana dan sejenisnya.
7. Jenis wahyu: isi pokok lakon jenis wahyu adalah peristiwa pemberian anugerah (wahyu) dari dewa kepada tokoh wayang tertentu karena keberhasilan atau jasa tokoh tertentu ini kepada dewa. Contoh: Wahyu Eka Bawana, Wahyu Trimanggala, Wahyu Payung Tunggulnaga, dan sejenisnya.
8. Jenis nama tokoh: ciri lakon wayang jenis nama tokoh yang dimaksudkan di sini adalah pertunjukan lakon wayang yang diberi judul dengan hanya menyebut nama tokoh wayang, dan nama tokoh ini, biasanya nama tokoh utama dalam peristiwa lakon. Misalnya: Begawan Kilatbuwana, Begawan Lomana, Mayangkara, Begawan Ciptoning, Watugunung, Begawan Dwihastha dan sejenisnya.
9. Jenis banjaran: adalah penggabungan beberapa lakon yang menceritakan seorang tokoh dari lahir sampai mati dalam satu kesatuan pentas. Contoh: Banjaran Bima, Banjaran Karna, Banjaran Gatutkaca, dan sejenisnya.
10. Jenis duta: ciri lakon jenis duta adalah adanya seorang tokoh wayang yang mendapat tugas menjadi duta dari seorang raja agar dapat menyelesaikan suatu masalah. Contoh: Anoman Dhuta, Kresna Dhuta, Drupada Dhuta, dan sejenisnya.

Penggolongan Jenis Lakon berdasarkan Peristiwa Penting (Mutiyoso, dkk. 2004)
1. Jenis paekan: ciri lakon jenis paekan adalah adanya rencana secara licik seseorang atau kelompok tokoh wayang untuk mencelakakan tokoh wayang yang lain. Misalnya: Gandamana Luweng, Gatutkaca Sungging, Kresna Cupu, Sinta Ilang, dan sejenisnya.
2. Jenis kraman: ciri lakon jenis kraman adalah adanya peristiwa pemberontakan atau makar, baik secara terang-terangan maupun terselubung. Misalnya: Brajadhenta mBalela, Kangsa Adu Jago, dan Jagal Abilawa.
3. Jenis asmara: ciri lakon jenis asmara adalah adanya kisah pokok tentang seorang tokoh yang jatuh cinta dengan lawan jenisnya. Misalnya: Sumbadra Larung, Petruk Gandrung, Irawan Maling, dan sejenisnya.
4. Jenis wirid: ciri pokok lakon jenis wirid adalah mengisahkan seorang tokoh wayang yang mendambakan hakekat kehidupan yang sempurna. Contohnya Kunjarakarna, Ciptaning, Bimasuci dan sejenisnya.
5. Jenis ngenger: jenis lakon ngenger ini mengisahkan adanya seorang tokoh wayang yang ingin mengabdikan diri kepada suatu negara atau raja. Contoh: Sumantri Ngenger, Wibisana Suwita, dan Trigangga Suwita.
6. Jenis kilatbuwanan: yang digolongkan ke dalam jenis kilatbuwanan ini adalah lakon-lakon yang memiliki ciri-ciri alur cerita mirip lakon Kilatbuwana. Adapun ciri-ciri itu diantaranya adalah: adanya seorang pendeta di Astina yang sanggup membatalkan perang Baratayuda dengan sarana membunuh tokoh penting yang berpihak kepada Pandawa, seperti Kresna, Anoman, Semar beserta anak-anaknya. Tokoh-tokoh yang akan dibunuh ini selalu terhindar dari kematian, dan beralih rupa menjadi pendeta. Pendeta baru inilah yang dapat membuka kedok pendeta palsu di Astina tersebut menjadi tokoh asli yaitu Guru, Durga, Rahwana atau Kala. Contoh: Begawan Lomana, Begawan Warsitajati, Kresna Cupu dan sejenisnya.
7. Jenis perang ageng: jenis lakon perang ageng adalah mengisahkan adanya tragedi perang besar serta melibatkan tokoh-tokoh penting. Contohnya: Baratayuda (Pandawa melawan Kurawa), Pamuksa (Tremboko melawan Pandu), Guntarayana (Ciptoning melawan Niwatakawaca) Gojalisuta (Kresna melawan Bomanarakasura) dan sejenisnya.
8. Jenis boyong: ciri lakon boyong adalah mengisahkan adanya perpindahan seseorang atau kelompok tokoh wayang dari satu tempat ketempat lain. Contoh: Srimulih, Pendawa Boyong, Sinta Boyong, Semar Boyong dan sejenisnya.
Dikutip dari Disertasi Ismoerdijahwati Koeshandari Rahayu
(Tulisan ini diambil dari/sumber: http://wayangprabu.com/2013/03/27/sekilas-tentang-lakon-wayang/#more-13259 Klik laman Wayangprabu.cpm
Share:

0 komentar:

Main Menu